Jeonghan - Escape [8]

Start from the beginning
                                    

"Aku nggak bisa taruh dia di panti asuhan. Dia punya aku, dia punya ayahnya. Dan semua ini bukan salahnya. Dia nggak minta–"

"Kamu bisa pilih, Han. Lepas Kenji atau aku dan Sa-yii."

Kedua mata Jeonghan sontak melebar dan badannya menegang. Dia menarik tubuhnya dari sandaran sofa dan kini duduk tegak–menatapku. "Kamu nggak bisa gini. Kamu nggak bisa menempatkan aku di antara dua pilihan itu, Sayang."

Aku menghela napas panjang–jengah. "Kamu bisa lakuin apa aja sesuka hatimu, kenapa aku nggak bisa? Dan, mungkin memang aku yang menempatkan kamu di antara dua pilihan itu, Han. Tapi kamu adalah orang yang menciptakannya."

"Aku nggak bisa ..."

Sial.

Sial.

Sial.

Hatiku langsung terasa nyeri begitu Jeonghan dengan jujur mengungkapkan bahwa dia enggak bisa memilih untuk melepas Kenji dan melanjutkan hidupnya denganku. Untung saja air mataku sudah terkuras habis seharian tadi–aku nggak bisa menangis sekarang.

"Kalau gitu ... aku akan urus semuanya."

"Apa?"

"Kamu enggak bisa lepas Kenji. Kamu enggak bisa pilih aku dan Sa-yii. Jadi biar aku yang pilih. Aku yang bakal pergi, Han, biar kamu bisa hidup berdua dengan tenang sama Kenji. Aku dan Sa-yii juga akan pergi sejauh mungkin. Dari awal–"

"Tolong ... jangan gini. Kamu lagi marah, kamu lagi kecewa, kamu lagi sedih. Keputusan kamu enggak dibuat dengan logis. Kita bahas ini nanti ya? Ya? Please?"

"Keputusanku, dan tawaranku enggak akan berubah sampai kapanpun, Han. Kamu bisa jawab dalam waktu satu minggu. Selama itu, aku akan tinggal di rumah mama. Kamu bisa pakai rumah ini sama Kenji."

"Aku nggak mau." Jeonghan menggeleng. "Tolong aku ... sekali aja. Aku janji ini yang terakhir."

"Kamu sadar kalau permintaanmu ini–meskipun yang terakhir–akan memengaruhi hidupku sampai mati?"

"Sayang ..."

"Dan tolong berhenti panggil aku dengan kata itu, Han. Aku enggak percaya kamu masih sayang aku."

_____

Yoon Jeonghan sialan.

Kenapa dia terus bersikeras mempertahankan Kenji? Lagipula, Bona bukan perempuan sebatang kara yang enggak punya siapa-siapa. Kenapa enggak menyerahkan Kenji pada neneknya atau pamannya atau bibinya atau siapapun yang berhubungan dengan Bona? Kenapa juga harus Jeonghan? Kenapa?

Aku enggak bisa.

Aku bukan tipikal perempuan yang mudah berpindah hati. Sebelum bertemu dan dikenalkan pada Yoon Jeonghan–aku sudah sangat lama sendirian. Maksudnya ... nggak menjalin hubungan romantis dengan siapapun.

Aku pernah memercayakan hatiku pada seseorang dan berujung dikecewakan. Rasanya sakit, ketika tahu you're not the only one. Aku kesusahan membangun kepercayaan dan memutuskan untuk hidup sendirian–selamanya. Jangankan menikah, pacaran saja nggak pernah kupikirkan sebelumnya.

Kemudian, semua berjalan terlalu cepat. Di kantor > mama menelepon > ijin pulang lebih awal > makan malam > Yoon Jeonghan > menikah > hidup bersama > 'kecelakaan' > Yoon Cheonsa. Selanjutnya, yang kubayangkan adalah seperti ending dalam dongeng:

Happily ever after.

Sialnya, bukan seperti itu. Setelah Yoon Cheonsa, yang muncul adalah Kim Bona dan Yoon Kenji.

TUNGGU SEBENTAR.

Aku nggak pernah mendengar Jeonghan menyebut nama lengkap Kenji. Apa anak itu menggunakan marganya? Atau Bona? Atau ... nggak bermarga? Oh ... nggak mungkin. Pasti Kenji mengunakan marga Yoon di depan namanya. Kan, Bona juga tahu kalau Jeonghan ayahnya.

Oh, astaga. Sebentar. Aku benar-benar penasaran.

"Mau ke mana?"

Aku nyaris terjungkal karena berjalan mundur ke belakang dan menabrak kusen pintu kamar–terkejut dengan pertanyaan yang terlontar dari bibir Jeonghan. Dia belum tidur ... dan ada Kenji yang tertidur di pangkuannya.

Ish, Cheonsa pasti iri setengah mati kalau melihat ayahnya seperti ini pada anak lain.

"Dia bangun?"

Bukannya menjawab, aku malah balik bertanya karena penasaran. Aku belum tidur setelah ribut-ribut dengan Jeonghan tadi dan nggak mendengar apapun. Tanda-tanda Kenji bangun? Aku nggak dengar. Jadi ... kenapa mereka berdua ada di ruang TV dengan posisi seperti ini?

Jeonghan mengangguk. "Badannya panas lagi dan dia ngigau. Aku udah cari fever plast punya Sa-yii di kotak P3K tapi nggak ada. Jadi, aku kompres pakai handuk kecil. Nggak apa-apa, kan? Kamu juga kompres aku begini kemarin."

Ups.

Fever plast milik Cheonsa kubawa masuk ke dalam kamar utama karena putriku itu juga belum sembuh. Mataku melirik Kenji sekilas dan aku bisa melihat bibirnya pucat. Astaga ... sebenarnya aku kasihan dengan anak ini. Tapi ... kenapa harus seperti ini ....

"Bawa aja ke dokter kalau panasnya tinggi. Udah ditermo?"

Jeonghan mengangguk lagi, tangannya mengusap rambut Kenji dengan lembut. Menyibakkan rambutnya untuk memaksimalkan kompresnya. "Kunci mobilnya ... ada di kamarmu."

Astaga.

Aku sempat linglung beberapa detik–semacam nggak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya. Aku benci Jeonghan dan hatiku masih terlalu sakit dibuatnya. Tapi Kenji ... rasanya masih terlalu kecil untuk kusalahi. Dan ... meskipun bukan sayang, sepertinya aku masih punya sisa-sisa rasa kemanusiaan.

"Aku antar, Han. Sebentar," kataku sebelum berbalik–kembali masuk kamar untuk mengenakan long coat, mengambil kunci, dan menggendong Cheonsa yang sudah tidur. Aku nggak mungkin meninggalkan dia sendirian di rumah. Jadi ... apa boleh buat?

Cheonsa berada di tengah-tengah when it comes to sleep. Maksudnya, dia bukan tipikal yang susah dibangunkan seperti ayahnya, atau terlalu peka dengan gangguan sepertiku. Jadi, dia cuma mengulet kecil waktu aku memindahkannya ke dalam gendongan.

Sepertinya, begitu aku mengatakan bersedia mengantar Jeonghan dan Kenji ke rumah sakit, Jeonghan juga langsung bergegas. Di luar kamar, aku bisa melihat dia sudah mengenakan hoodie berwarna hijau tua sementara Kenji tertidur lemas dengan kepala bersandar di pundaknya–dan aku bengong sebentar.

Karena Jeonghan baru saja mendekatkan wajahnya untuk mencium pipiku sekilas.

"Makasih. Nanti kita bicara lagi dan aku janji semuanya bakal selesai tanpa ada satupun dari kita yang merasa dirugikan," katanya sebelum mengulurkan tangannya yang bebas untuk mengusap kepala Cheonsa dengan lembut. "Sa-yii, maafin ayah ya, malam-malam gini harus bawa kamu keluar."

Hatiku ... mengalami kebingungan dalam mencerna beberapa kejadian barusan. Terkejut, kesal, menghangat–semuanya berganti dalam waktu yang sangat cepat. Dan omong-omong soal hangat, aku menarik kembali kunci mobil yang nyaris jatuh ke tangan Jeonghan.

"Han, kamu juga masih sakit–pipi sama bibirmu panas," kataku sebelum menelan ludah susah payah. "Biar aku aja yang bawa mobil, kamu sama Kenji di kursi depan–di sampingku. Sa-yii ... kayaknya dia enggak apa-apa begini."

_____

Seventeen Imagine 2.0Where stories live. Discover now