Jeonghan - Escape [8]

4.1K 656 91
                                    

Aku 'mengusir' Jeonghan dari dapur setelah susah payah memintanya berdiri dan berhenti menangis. Aku tahu aku sudah dikecewakan dan dibohongi. Tapi kurasa nggak selayaknya sebagai manusia berlutut di hadapan manusia lain. Ini jaman modern–dan Jeonghan bukan sekadar manusia. Dia laki-laki. Dia suamiku–yang sudah seharusnya kuhormati ... meskipun untuk yang satu ini rasanya berat.

Cheonsa yang belum seratus persen sehat rupanya enggak sanggup menghabiskan makan malamnya. Putriku yang cantik itu hanya makan tiga sendok dan malah merengek minta susu. Aku memberinya susu formula dalam botol dan sekarang dia sudah terlelap–di kamar utama. Aku sengaja 'meletakkan'-nya di sana, terpisah dari Kenji. Sebuah trik jitu untuk menghindarkanku dari tidur bersama Jeonghan malam ini.

Aku belum sanggup.

Tepatnya, hatiku yang belum sanggup.

"Tolong jangan benci Kenji," adalah kalimat pertama yang terlontar dari mulutnya begitu aku muncul di ruang tengah. Aku sudah berjanji untuk menemuinya tadi. Dan janji tetaplah janji–meskipun berada di ruangan yang sama dengannya saat ini terasa begitu berat. Tapi, aku ingat pesan Chorim tadi. Katanya, both of you need to talk.

"Aku enggak benci Kenji, Han. Aku tahu dia nggak salah apa-apa. Tapi dia buat aku ingat kalau ayahnya luar biasa mengecewakan–dan itu yang buat aku sakit."

Jeonghan menghela napas berat, mengusap wajahnya frustrasi, dan aku masih menjaga jarak aman supaya dia nggak bisa mendekat untuk menyentuhku. Aku berada di seberang dan kami dipisahkan oleh selembar karpet berukuran tiga kali satu meter berwarna hitam.

"Aku juga enggak tahu kalau udah ada Kenji hari itu–waktu Bona memutuskan pergi."

"Seandainya kamu tahu, kamu enggak akan terima perjodohan kita, Han? Kamu akan kejar dia sampai dapat?"

"Bukan itu maksudku," jawab Jeonghan yang mulai kelihatan nggak nyaman. "Aku–"

"Berapa kali, Han?" potongku cepat, nggak mau mendengar basa-basi dan pembelaan lainnya. "Berapa kali tepatnya kamu ketemu Bona di belakangku dan sejak kapan?"

Jeonghan menatapku sebentar, seolah bimbang jawaban apa yang harus dia berikan, angka berapa yang harus dia sebutkan. "Mungkin ... delapan atau sembilan kali. Sejak ... dua bulan lalu?"

Aku tertawa pelan–sarkas, jelas. "Bukan angka yang sedikit. Dilihat dari rentang waktu dan jumlah pertemuan kalian ... kamu rajin ya? Udah kayak anak SMA yang 'apel' seminggu sekali. Kayaknya memang aku yang bodoh karena nggak menyadari atau curiga sekalipun. Selamat, Han. Kamu berhasil."

"Bona sakit. Aku ketemu dia di rumah sakit. Bukan di tempat lain."

"Aku nggak peduli," ujarku sambil menggelengkan kepala lamat-lamat. "Yang namanya cheating tetap cheating. Di mana pun tempatnya, bahkan di pinggir jalan sekalipun."

"Aku nggak bisa bilang karena aku jaga perasaanmu, tolong ngerti aku."

"Enggak punya alasan yang lebih basi apa?" tanyaku. "Bagian mana, sih, Han, yang kamu sebut-sebut jaga perasaaanku? Sampai kapan kamu sebenernya berniat buat diam aja? Kalau Lila nggak bilang–kamu masih akan diam kan?"

Jeonghan menyandarkan tubuhnya ke badan sofa dan wajahnya memerah. Bukan malu–dia marah. Aku tahu dia menahan marah dan mati-matian menahan agar nggak memaki apalagi sampai mengayunkan tangannya. Hampir tiga tahun menikah, aku hapal dia adalah tipikal orang yang lebih suka memendam perasaan dan pikirannya. Tapi ada saat-saat tertentu di mana kepala dan hatinya overload dan dia meledak. Sekarang ini salah satunya.

"Aku bukan malaikat, Han," kataku yang ikut menyandarkan tubuh, namun masih menjaga tatapanku di matanya. "Aku enggak bisa jagain anak orang–apalagi anakmu ... sama perempuan lain. Aku mungkin bisa maafin kamu setelah semua ini. Tapi untuk hidup sama Kenji, aku nggak bisa. Aku nggak benci dia. Aku cuma ... nggak bisa."

Seventeen Imagine 2.0Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz