Seokmin - Rewind [7]

4K 669 38
                                    

Aku baru saja membiarkan Seokmin pergi menemui Yuna di kafe dekat tempat kerjanya. Oh–tentu Seokmin awalnya menolak dan bersikeras membiarkan cewek itu menunggu di sana entah sampai kapan. Tapi, aku memaksa.

Oh–benar. Aku yang memaksa. Aku nggak mau dia bersikap pengecut dengan membiarkan orang lain–ralat, seorang cewek–menunggu dalam ketidakpastian. Seokmin mengiyakan, sempat mengajakku ikut–yang tentu saja kutolak. Aku nggak mau menyaksikan apa pun yang akan terjadi di antara mereka nanti, aku cukup percaya Seokmin. Iya kan?

"Sepupu ipar ke mana tadi?" tanya Sam yang muncul di dapur saat aku tengah mengisi ulang air minum dari dispenser. "Buru-buru banget kayaknya sampai hampir kepentok pintu."

"Pergi ketemu temennya," jawabku. "Kepentok pintu?"

"Iya, lost. Papasan sama aku tadi, aku baru balik dan sepupu ipar mau keluar. Kayaknya kaget terus hampir nabrak pintu–clumsy."

"Dari dulu juga begitu," kataku sambil tertawa. "Clumsy."

Kepalaku otomatis memutar kembali kenangan lama yang didominasi memori masa kuliah. Bagaimana Seokmin pernah mengajukan diri sebagai volunteer untuk menjadi maskot fakultas ketika orientasi mahasiswa baru; bagaimana Seokmin pernah berlari menuruni gedung pusat kegiatan mahasiswa karena jadi buron adik tingkat; bagaimana dia terpeleset di depan kamar mandi karena 'dihantui' Boo Seungkwan–dan masih banyak lainnya.

Lee Seokmin itu, nggak pernah absen memamerkan senyum dan tawanya pada setiap orang yang lewat. Siapa pun akan mengira dia orang yang selalu bahagia–oh, ya ampun, dia juga pernah mengajukan diri sebagai volunteer untuk menemaniku menjalani hukuman drop out kelas karena lupa membawa tugas.

Hari itu, adalah pertama kalinya aku ... jatuh cinta.

_____

"Seokmin, pulang?"

"Iya–pulang. Kenapa? Mau bareng?"

"Umm–nggak, sih. Aku bawa mobil. Justru aku yang mau tanya, kamu mau aku anterin pulang nggak? Ya, hitung-hitung ucapan terima kasih karena tadi udah nemenin aku drop out kelas," aku menawarkan sedikit malu-malu dan sukses membuat Seokmin berhenti merapikan isi tas–menatapku satu detik kemudian.

"Aku kost–kamu nggak tahu ya?" Dia tertawa. "Di belakang kampus ini. Jalan lima menit juga sampai."

Aku mengernyit. "Kok tadi nawarin aku bareng?"

"Bareng sampai depan pintu kelas maksudnya." Dia tertawa–lagi. "Eh, lain kali, kalau minggu sebelumnya nggak berangkat, jangan lupa tanya tugas di grup kelas. Oke? Biar nggak disuruh keluar lagi kayak tadi. Kamu udah nggak bisa dapat nilai A tuh di kelas beliau."

"Iya, aku tahu." Aku mengulas senyum tipis–sepasang mataku mengikuti gerakan tangan Seokmin yang baru saja menyandang tas ransel hitam miliknya. "Kamu gimana? Kamu harusnya masih bisa dapat A. Kamu ngerjain tugas tadi."

"Nggak apa-apa. Indeks prestasi kumulatifku masih aman–masih bisa cum laude," candanya. Dia berjalan menuju pintu, aku menjajari langkahnya. "Tapi, kalau misal kamu ngerasa bersalah–boleh banget traktir aku nasi goreng di kantin, yang paling murah dan minum air putih juga nggak apa-apa."

"Kamu mau nasi goreng?"

Dia berhenti mendadak dan menatapku terkejut. "Eh, nggak. Jangan dianggap serius, aku cuma bercanda–oke?"

"Uh–oke."

"Oke." Dia tersenyum–matanya menatap lurus ke arahku, sukses membuatku salah tingkah sampai belingsatan mencari objek lain untuk ditatap. "Kalau gitu, aku duluan. Kamu langsung pulang sebelum jalanan macet–nanti update di Whatsapp sambil marah-marah kan jadi menebar negative vibes."

"Hah?"

"Jangan keseringan mikir jelek dan berprasangka buruk sama orang–pikiran dan prasangka itu nanti baliknya ke kamu," jawab Seokmin sebelum menepuk lengan kiriku lembut. "Sampai ketemu besok pagi. Kelas jam delapan, jangan sampai terlambat, jangan lupa kerjain tugas. Kalau perlu, nanti aku kirim daftar tugasnya."

"O-oke?"

"Hati-hati," ujarnya sebelum berbalik dan setengah berlari menyusuri lorong gedung perkuliahan–meninggalkan aku sendiri yang masih sibuk memikirkan banyak hal. Tentang sepasang mata beningnya, hidung mancungnya, tawa manisnya, suara lembutnya, dan ... perhatiannya?

"Kamu juga hati-hati, Seokmin."

_____

Aku menghela napas panjang begitu ingatan tadi selesai berputar di kepalaku. Kalau dipikir dan dirasakan lagi, Seokmin cukup banyak berubah ke arah yang lebih baik–dia masih sering bercanda, tapi lebih memerhatikan situasi dan kondisi.

"Kamu mau nggak kalau liburan lokal?" tanya mama yang tiba-tiba saja muncul di ruang tengah dan meletakkan sebuah brosur di atas kakiku. "Ini ada tiket promo nih buat pasangan pengantin baru katanya."

"Ih, mama mah dikit-dikit tergoda sama promo," kataku sambil mengangkat brosur tadi dengan tangan kanan dan membacanya sekilas. "Mama sama papa aja deh yang berangkat."

"Kan dibilang buat pengantin baru. Mama sama papa baru dari mana? Dari Hong Kong?"

"Ya kan emang kemarin baru pulang dari Hong Kong," jawabku sambil menjulurkan lidah. "Aku belum lihat jadwal Seokmin lagi, Ma. Gampang, lah, nanti aku kabarin mama lagi kalau mau pergi."

"Sayang," panggil mama yang tiba-tiba serius. "Kamu harus banget ya pindah ke sana? Nggak mau temenin mama aja gitu di rumah? Nanti kalau mau kamar sebelahmu yang sekarang ditempatin Yena sama Yuqi temboknya dijebol aja biar jadi kamar kalian–dibuat seukuran mini apartemen juga nggak apa-apa deh. Dikasih mini-bar, atau apa deh, kamu mau nambahin apa."

"Jauh dari kantor Seokmin, Ma."

"Kan dia bawa mobil, Sayang."

Aku mengembuskan napas panjang, meraih tangan mama dan menggenggamnya lembut. "Ma, aku nggak tahu dan memang nggak pernah tanya sebelumnya soal ini sama mama dan papa. Tapi, pernah nggak sih, kalian kepikiran soal perasaan Seokmin? Dia bukan papa, atau mama, atau aku yang memang dari kecil serba berkecukupan. Dia bahkan–istilah kasarnya–dibuang sama orang tuanya dan besar di tempat itu. Dia harus kerja keras buat sampai di titik ini, dalam hati kecilnya–dia pasti mau semua kerja kerasnya dihargai. Seokmin nggak pernah bilang, tapi ... aku rasa tawaran tadi bakal melukai harga dirinya."

"Seokmin udah berusaha keras ngumpulin uang buat beli rumah, beli mobil, dan lain-lain–semua itu aku yakin banget pasti dia lakuin buat aku juga. Dia sayang aku–setelah apa yang aku dapat dari mama dan papa sejak kecil, dia pasti nggak mau aku susah dan ngerasa kekurangan waktu sama dia. Dia pasti mau aku tetap nyaman gimana pun caranya. Kalau mama bilang gitu tadi–mungkin dia akan nangkapnya lain. Dia pasti kepikiran, mama sama papa nggak percaya kalau dia bisa bikin aku bahagia. Aku nggak mau bikin dia down."

Mama melepaskan tangannya dari genggamanku–mengalihkannya untuk mengusap kedua pipiku. Dan, aku baru sadar kalau aku mengeluarkan kata-kata tadi sambil bercucuran air mata. Oh, bukan menangis yang sampai tersedu-sedu, sih–cuma mengalir deras.

"Maafin mama, Sayang," kata mama sebelum akhirnya menarik aku ke dalam pelukannya. "Mama nggak kepikiran sampai sana. Mama tahu Seokmin anak baik dan mama percaya dia akan jaga kamu, bikin kamu nyaman, dan bikin kamu bahagia dengan caranya sendiri."

Aku mengulas senyum tipis, membalas pelukan mama jauh lebih erat. "Makasih, Mama. Aku tahu mama dan papa orang baik. Pokoknya terima kasih banyak karena mama dan papa nggak pernah maksa aku untuk pilih ini dan itu–bahkan mama sama papa nggak keberatan sama sekali buat nerima Seokmin meskipun latar belakangnya beda dari kita–makasih banyak, Mama."

Malam itu, aku sibuk menghabiskan waktu untuk bercanda dengan mama–menikmati hari terakhir di rumah ini sebelum pindah ke rumah baru dengan Seokmin besok pagi. Kami sibuk memanggil kembali memori-memori masa kecilku, mulai dari yang menggemaskan sampai yang super memalukan–seperti ketahuan berenang tanpa baju oleh Lucas yang tiba-tiba saja menceburkan diri ke dalam kolam begitu datang dari Hong Kong. Kami sibuk tertawa sampai aku lupa kalau suamiku pergi menemui cewek lain.

Dan baru pulang keesokan harinya, pukul lima. 

_____

Ngapain kamu, Mas, ketemu Yuna sampai jam lima pagi? :((

Seventeen Imagine 2.0Où les histoires vivent. Découvrez maintenant