1| Two Clumsy People

105 16 2
                                    

📚

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

📚

"Es kopi cappucino-nya satu ukuran sedang, ya."

"Oke. Tunggu bentar ya, Han."

Pukul sembilan lewat 25 menit, kafetaria kampus semakin padat oleh mahasiswa maupun mahasiswi. Hari ini UTS telah berakhir. Waktunya untuk merileks-kan pikiran setelah seminggu lamanya dibuat penat oleh soal-soal ujian.

Hana Sasmita, gadis berambut sebahu itu masih menunggu pesanan es kopinya. Sesekali ia menguap dan mengucek matanya. Sebab kemarin ia belajar sampai larut, untuk meringkas materi yang diujikan.

"Kenapa, Han? Lo ngantuk?"

Mas Jefri --anak pemilik kafetaria-- memang sudah hafal dengan Hana. Hampir setiap hari gadis bertubuh mungil itu memesan kopi yang sama. Kopi cappucino.

Umurnya lebih tua setahun dari Hana. Lulusan Smk jurusan komputer. Setiap harinya ia membantu ibu berjualan di kafetaria bersama satu pegawai lain --bu Indah.
Selain membantu ibunya, Mas Jefri juga mempunyai pekerjaan sampingan sebagai seorang desain grafis.

"Iya, Mas. Kemarin begadang."

"Jangan keseringan begadang, lho. Nanti kulitnya cepat keriputan."

Mas Jefri menyodorkan segelas kopi cappucino ukuran sedang pada Hana. Disusul Hana yang meletakkan beberapa lembar uang di meja.

"Iya. Makasih, mas."

Hana berjalan pelan sembari mengedarkan pandangan. Mencari tempat duduk yang kosong. Namun, nyatanya nihil. Semua bangku telah terisi penuh. Akhirnya, ia hanya berdiri mematung di dekat kasir. Melihat ke seisi kafetaria yang tengah padat-padatnya.

Beberapa pasang mata menatap Hana dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Namun, Hana bersikap tak acuh dan berharap ada yang segera mengosongkan bangku.

Beruntungnya, segerombol orang di meja paling ujung telah pergi. Sehingga Hana bisa menempatinya sendirian dan menikmati segelas es kopi yang sudah menarik perhatian tenggorokannya.

Hana merogoh tasnya, mengambil beberapa buku dan alat tulis di sana. Lalu, meletakkannya dengan rapi di atas meja. Buku pertama bersampul biru, sedangkan buku kedua bersampul putih. Keduanya sama-sama buku diary.

Bukan tanpa alasan Hana selalu menulis diary. Alasan yang seratus persen berbeda dari kebanyakan orang, yaitu karena kemampuannya untuk mengingat sesuatu itu buruk. Ia bahkan lupa akan sesuatu yang dilihatnya ataupun didengarnya 30 menit yang lalu. Lain cerita jika ia menulisnya, maka akan lebih mudah diingat.

"Membeli kopi. Check." Hana membubuhkan tanda centang pada to do list nya. "Lalu, menulis diary. Check. Selanjutnya baca artikel. Kira-kira artikel apa ya?" Gadis itu mengetuk-ngetuk bolpennya ke meja pelan.

"Anu.... Permisi."

Suara rendah itu berhasil menarik perhatian Hana. Seorang pemuda berkulit putih dan rambut ikal tengah berdiri membawa nampan.
Pandangannya menunduk selama Hana menatapnya.

"Ak-aku boleh duduk di sini?" Tanya pemuda itu kikuk.

Hana mengangguk,"boleh."

Dengan segera pemuda itu menaruh nampan di meja. Lalu, menarik kursi dan mendudukinya.

Hana masih menatap lekat pemuda itu saat ia menangkupkan kedua telapak tangannya untuk berdoa. Pandangan mereka bertemu sesaat setelah pemuda itu mendongakkan wajahnya. Tetapi pemuda itu langsung kembali menunduk dan menyantap makanannya. Sedangkan Hana tak acuh, tak berniat mengajak bicara. Keduanya larut dalam aktivitas masing-masing.

Segelas kopi yang dipesan Hana telah habis, menyisakan danau kecil melingkar di atas meja berpelitur itu. Pemuda di seberang bangku juga telah selesai dari aktivitas santap menyantapnya. Hana kembali memperhatikan pemuda kikuk di seberangnya. Jemarinya yang indah dan panjang itu merogoh sesuatu di saku bajunya. Sebuah sapu tangan warna cream dengan border warna emas ditepinya.

"Tolong jangan melihatku seperti itu." Pemuda itu masih menunduk. Tapi tahu akan Hana yang terus memperhatikannya.

"Tolong jangan salah paham." Hana menimpali.

Pemuda ikal itu mendongakkan wajahnya, namun pandangannya masih saja menatap bawah.

"Emmm.... Kau suka menulis diary?"

"Iya, kenapa?"

"Menurutku itu unik." Pemuda ikal itu tersenyum bersamaan dengan munculnya semburat merah di kedua pipinya.

"Kupikir kau mau menertawaiku." Hana menutup bukunya dan merapikan alat tulis di atas meja.

"Mengapa tidak pakai smartphone atau komputer. Bukannya lebih praktis?"

"Sensasinya berbeda," jawab Hana singkat.

"Oh."

Hana memasukkan buku-buku dan alat tulis ke dalam tas dengan rapi. Lalu, berkutat pada ponsel untuk mencari artikel di sana.

Pemuda itu menatap lekat Hana yang kini sibuk pada ponselnya. Mulutnya bergerak ingin mengatakan sesuatu. Namun, ia mengurungkan niatnya. Baru setelah Hana mengalihkan pandangan dari ponsel, ia mulai angkat bicara.

"A-anu.... Apa kau tidak mengenaliku?" pemuda itu menundukkan wajahnya. Tetapi, Hana masih dapat melihat wajah pemuda kikuk itu yang kembali bersemu kemerahan.

Dia kenapa?

"Maaf. Memangnya kita pernah berkenalan?" Kening Hana mengernyit.

"Ak-aku.... Aku ini sering sekelas denganmu. Biasanya aku duduk paling belakang."

Hana kembali mengingat-ingat bagaimana suasana di kelas, wajah-wajah di sekitarnya, tapi tidak satupun diingatnya. Sekali lagi, ingatannya buruk. Seburuk Patrick di serial spongebob

"Ingatanku buruk, aku juga tidak menulis tentang orang-orang di sekitarku. Jadi, aku tidak ingat."

"Oiiii.... Hana." Teriakan seorang gadis menggema di antara pengunjung kafetaria. Wajahnya setengah kesal berkat Hana mengabaikan pesan singkat yang dikirimnya.

"Ada apa, Win?" Tanya Hana polos.

"Gue nyariin lo dari tadi. Di-whatsapp juga gak dibales, padahal udah dibaca. Ehhh.... Tau taunya malah berduaan ama cowok di sini," gerutu Windy. "Lo pasti lupa, kan. Kalo lo mau nemenin gue cari buku referensi?" imbuh Windy sambil menatap Hana gemas.

Ini bukan kali pertama Hana lupa akan janjinya. Bukan karena seorang pembual, tentu saja karena Hana lupa mencatat.

"Maaf ... Maaf aku lupa mencatatnya." ucap Hana. "Tapi, siapa juga yang berduaan? Tadi semua meja penuh, jadi dia duduk di sini." Hana menatap pemuda itu yang semakin menunduk dalam.

"Ya sudah, yuk pergi." Ajak Hana segera setelah melihat pemuda berambut ikal itu menampakkan ekspresi tidak nyaman.

Kini, pemuda berambut ikal itu melihat Hana dan Windy yang pergi ke arah pintu lewat sudut matanya. Menyisakan seonggok rasa penasaran tentang Hana. Otaknya berdialog sendiri, memperdebatkan sesuatu yang bergejolak sana-sini.

"Dia benar-benar tidak mengenaliku?"

"Apa dia benar-benar gadis yang waktu itu?"

Sepenggal pertanyaan-pertanyaan yang menghinggapi kepalanya itu membuatnya meremas rambut dan menghanyutkan pikirannya dalam diam.

Find Me In Your Old DiaryWhere stories live. Discover now