Explaination

28 3 0
                                    

Warning!
Typo everywhere!

❄❄❄❄

Tubuh Sophie menegang. Kata-kata itu membuatnya deja vu. Hingga tanpa sadar otaknya memutar memori 'itu'. Memori kelam yang dengan susah payah ia kubur di sisi tergelap dan terdalam dirinya. Saat ia selama bertahun-tahun berusaha mati-matian mengubur kenangan yang sama buruknya dengan neraka itu, orang di depannya malah dapat mengatakannya dengan ringan bahkan dengan wajah arogan tanpa rasa bersalah.

"Memangnya kakak siapa yang tau kalau saya sudah menyerah sebelum mencoba? Bukannya saya menyerah namun setelah mendengar syarat yang kakak ajukan sebelumnya, saya bisa menafsirkan kalau 99% kakak akan memberi saya syarat yang sama. Dengan kemungkinan 1%, saya tidak bisa berharap banyak." Emosi mulai terasa meluap-luap keluar dari dadanya. Sophie mulai merasa kesulitan untuk mengendalikan dirinya sendiri akibat berbagai perasaan yang saling berebut dominasi. Tangannya ia kepalkan erat-erat dengan lidah yang ia gigit sebagai upaya untuk mengontrol dirinya sendiri.

"Jadi daripada kakak membuang-buang waktu untuk memikirkan syarat untuk saya yang pastinya saya tidak bisa lakukan, lebih baik saya tidak meminta sama sekali. Lagipula tanda tangan yang saya kumpulkan sudah memenuhi syarat minimal. Jadi tanpa tanda tangan kakak pun saya sudah berada dalam zona aman."

Semua yang ada disana menganga. Lalu berubah membeku melihat wajah Sophie yang sangat dingin. Terlihat kilat kemarahan di wajahnya. Bahkan OSIS tergalak yang tak sengaja mendengar perkataannya pun menelan salivanya dengan susah payah. Samuel terpaku selama beberapa saat akibat perkataan gadis di depannya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, seorang Samuel Jontahan Artherford kehilangan kata-kata. Apalagi karena seorang perempuan. Beberapa saat setelahnya, pemuda tersebut tersadar lalu tersenyum tipis dan berdiri.

*plok plok plok*

Ia bertepuk tangan di depan Sophie. Tanpa terpengaruh tatapan dingin penuh kemarahan yang dilayangkan Sophie. Samuel berjalan mendekat dan berdiri menjulang tepat di depan Sophie.

"Ternyata lo pinter juga ya. Akhirnya gue nemu seseorang yang bisa gue kasi ttd gue yang berharga." Ujarnya sambil melipat tangan di dada. Kemudian ia mengulurkan tangannya.

"Siniin itu." Tunjuknya pada buku khusus tanda tangan yang ada di tangan Sophie.

"Gak perlu kak. Makasih." Balas Sophie galak. Namun Samuel tidak peduli. Dengan cepat ia merebut kertas tersebut dan membubuhkan tanda tangan pada kolom kedua tempat nama dan jabatannya tercantum. Setelah selesai, ia mengembalikan buku tersebut pada pemiliknya yang setia memandangnya penuh kebencian.

"Gaada niat bilang makasi?"

"Terima kasih kak!" Meski kemarahan masih Sophie rasakan, demi menjaga kesopanan dengan berat hati ia mengucapkan terima kasih pada sang kakak kelas

"Gue minta maaf soal kata-kata gua tadi. Dan ada hal yang harus lo tau. Je vous aime depuis la première fois que nous nous sommes rencontrés."

Selepas mengatakan beberapa patah kata dalam bahasa asing tersebut, Samuel kemudian berlalu dari hadapan Sophie dan menghilang entah kemana. Meninggalkan Sophie yang memandangnya bingung.

>>>>>>

Setelah insiden dramatis akibat Samuel dan istirahat, peserta MPLS dikumpulkan kembali di lapangan. Karena sinar matahari yang menyorot kian terik, para peserta jadi banyak mengeluh dan membuat suasana menjadi gaduh. 

"WOI DIEM!" Teriakan Misa, salah satu OSIS yang ditakuti karena kegalakan dan kesensiannya menggema. Seketika membuat para siswa baru disana terdiam seribu bahasa. Lalu Kyan, sang Ketua OSIS melangkah kedepan dengan microphone di tangannya.

The Wild CardWhere stories live. Discover now