All I have to do is leave my heart on the grave

Start from the beginning
                                    

"Paman Song!" Aku memeluknya. Aku tak peduli apa pekerjaannya, tapi ia menyayangiku. Ketika ayahku dimakamkan 9 tahun lalu, ia adalah salah satu orang yang menghiburku.

"Apa kabar? Kau semakin cantik. Kapan kembali?"

"Semalam, Paman bagaimana?" Paman Song membawaku duduk di bangku. Selain ayah, Paman Song tahu segalanya tentang aku—aku yang mencintai Taehyung.

Pertama aku ke makam ayah untuk bercerita, Paman Song tanpa sengaja melewatiku dan mendengar ceritaku. Lalu, ia membuatku menceritakan semua yang aku rasakan pada Taehyung. Empat tahun tidak bertemu membuatku merindukannya, dan juga banyak cerita yang harus aku ceritakan padanya.

Paman Song menginterogasiku. Ia menanyakan segala hal tentang kuliahku. Aku menjawabnya dengan semangat, entahlah, aku butuh pengalihan sebenarnya. Paman Song juga bercerita tentang keluarganya. Bercerita juga soal si kecil Jaemin yang sekarang sudah kelas dua sekolah dasar.



"Jadi, kau masih bersamanya?" sebenarnya ini adalah pertanyaan yang ingin aku hindari. Tapi, dengan adanya Paman Song disini, setidaknya aku bisa berbagi.

"Ah, itu. Aku—aku tak tahu harus bilang apa. Empat tahun berjauhan dengannya membuatnya sudah memiliki seseorang dihatinya." Aku tersenyum pada Paman Song.

"Nak, aku turut berduka."

"Entahlah, sejak hari prom, ia menganggap tidak ada yang terjadi diantara kita. Padahal, percayalah Paman, itu adalah ciuman pertama miliku, dan juga miliknya." Aku menghela nafas. Paman Song masih memperhatikanku. "Saat di luar negeri, aku masih berkomunikasi dengannya—bahkan nyaris setiap hari. Kami punya jadwal setiap sabtu malam untuk video call. Tapi jadwal itu berubah saat awal semester enam. Sejak Taehyung bercerita soal adik tingkatnya yang bernama Sora dalam video call dan ia tampak sangat-sangat bahagia."

"Dan Sora itu kini jadi kekasihnya?" Aku mengangguk. Paman Song kembali memelukku. Aku menangis lagi.

"Kau tahu, Paman. Di hari itu, aku hampir menyatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi di hari yang sama, sebelum aku bilang apapun, ia bercerita soal wanita itu. Wanita yang sejak ia masuk universitas selalu menjadi atensinya. Wanita yang ternyata diam-diam juga menyukainya. Mereka sangat serasi. Taehyung yang sangat lelaki dan wanita itu sangat feminim. Berbeda sekali denganku yang memakai rok saja enggan."

Aku menyeka air mataku. Beberapa orang yang melintas menatapku. Mungkin mereka menganggap aku sedang bersedih dengan kematian seseorang. Padahal, aku sedang bersedih akan kematian cintaku yang semakin dekat.

"Aku tahu kau punya cerita lain. Bicaralah, aku akan mendengarkan."

"Se—sebenarnya, aku sedang menonton dengannya hari ini. Lalu, ia pergi saat film masih diputar, membuatku sendirian di dalam teater. Kekasihnya membutuhkannya. A—aku tak tahu harus marah atau kecewa. Jadi, aku kemari."

Paman Song mengusap punggungku. Mengatakan serangkaian kata yang bisa menenangkanku. Mengatakan kalau seharusnya aku sudah melupakannya sejak aku kuliah.

Dia benar. Aku seharusnya melupakannya. Seharusnya aku bisa menggaet satu lelaki kaukasoid yang berada di kampusku. Andai dulu aku tidak menolak ajakan Mark, Vernon dan Johnny saat mereka mengajakku berkencan, mungkin sekarang aku sudah menjadi kekasih salah satu dari mereka.

Kau sungguh bodoh, Jeon.

***

Aku pulang ke rumah sekitar pukul tujuh. Paman Song dengan baik hati mengantarkanku pulang—setelah aku bercerita panjang lebar juga kepada ayahku sampai petang. Setelah membuka pagar, aku melihat ke rumah Taehyung. Ada seorang wanita cantik di depan rumah Taehyung yang sepertinya baru datang juga.

Wanita itu menoleh kepadaku. Itu Seokjin, istri Namjoon. Mereka menikah dua bulan lalu. Yang jelas, aku tidak menghadiri pernikahannya. Seokjin melambaikan tangannya padaku. Aku membalasnya, dan mengajaknya berkenalan.

Kami berkenalan di halaman. Dibatasi oleh tembok yang menjadi batas antara rumahku dan Taehyung. Seokjin wanita yang sangat anggun. Aku tak tahu sihir apa yang Namjoon gunakan agar Seokjin mau dengannya. Namjoon itu ceroboh, juga perusak barang-barang di sekitarnya.

Seokjin mengajakku masuk, tapi aku menolak. Aku lelah sekali hari ini. Rasanya ingin mengubur diriku di dalam kolam renang di rumah Jimin. Aku jadi teringat Jimin—juga merindukannya. Omong-omong, Jimin masih bersama Yoongi sunbae. Aku iri pada betapa awetnya hubungan mereka.

Masuk ke rumah, ibuku menangis khawatir. Somi bilang kalau aku hilang, karena Taehyung tidak pulang bersamaku. Padahal aku hanya pergi ke makam ayah—tanpa mengabari siapapun. Aku juga lupa kalau ponselku habis baterai. Somi juga bilang kalau Taehyung sedang mencariku, begitu pula Wonwoo dan Mingyu.

Somi langsung menghubungi kakak dan Taehyung. Aku masih memeluk ibuku. Ibuku sudah sedikit tenang dan berkata, "Jungkookie, ibu takut kau hilang. Ibu takut kau lupa jalan pulang atau diculik sembarang orang jahat." Ya Tuhan, aku hanya pergi empat tahun ke luar negeri. Bahkan masih ingat jalan menuju ke rumah Bambam yang jauhnya 20 kilometer.

Aku makin mengeratkan pelukan pada ibuku. Aku juga meminta maaf padanya. Aku bilang kalau aku ke makam ayah, karena aku merindukannya. Ibuku malah makin menangis dan bilang kalau ia juga merindukan ayah.

Sepuluh menit kemudian, aku mendengar suara skuter Taehyung masuk ke halaman. Aku membuka pintu bersamaan dengan Taehyung yang turun dari motornya. Taehyung terlihat sangat frustasi. Ia menghampiriku dan langsung membawaku dalam dekapannya.

"Jung, maafkan aku. Maafkan aku yang meninggalkanmu di sinema dan membuat imo khawatir. Maafkan aku—aku sangat mengkhawatirkanmu. Ini tidak akan terjadi lagi." Gumamnya di pucuk kepalaku. Hatiku menghangat. Pelukan Taehyung adalah salah satu yang ku rindukan. Aku tidak mau melepasnya, dan makin mengeratkan pelukanku di pinggangnya. Biarkan aku egois untuk bertahan seperti ini untuk beberapa saat.





Biarkan aku egois kali ini, karena kuanggap ini adalah perpisahanku. Perpisahan akan perasaan cintaku padanya.

****

to be continue..


ʟᴀ ᴅᴏᴜʟᴇᴜʀ ᴇxǫᴜɪsᴇ ● taekookWhere stories live. Discover now