Ch. 22

972 160 7
                                    

            Grace terbangun dari mimpi singkatnya. Pipinya basah oleh air matanya sendiri. Semuanya terasa seperti mimpi. Seakan-akan itu semua hanya sebuah figmen dari imajinasinya liarnya sendiri. Tapi, lebih dari siapapun, Grace tahu apa yang ada di mimpinya bukan sekedar mimpi belaka. Ini pertanda.

Ada sesuatu yang harus diselesaikannya.

...

"Profesor Snape!" Grace mengetuk pintu ruangan pribadi Snape sekuat tenaga, setengah menangis. "Profesor!"

Gagang pintu terbuka kasar. Disana, berdiri Snape dengan rambutnya yang setengah berantakkan. Sebelumnya, Snape sempat menggerutu kesal dan bersumpah akan mengutuk siapapun yang cukup gila untuk mengganggunya di tengah malam seperti ini, tetapi ketika dia berhasil mengenali suara gadis kecil itu, entah kenapa kedua kakinya membawanya ke arah pintu, dan membukanya. Dan bukan mengutuk dan mengusir si gadis seperti rencana awalnya, Snape malah bertanya kepadanya. Suaranya berat dan serak, setengah mengantuk, meskipun ada kekhawatiran disana yang berhasil ditutupi desisannya itu. "Mau apa kau malam-malam seperti ini? Kau sudah gila, Potter?"

Grace mengangkat kepalanya. Matanya berair. Untuk beberapa saat, Snape hanya berdiri membeku disana. Biasanya, tangisan dari para murid-muridnya hanya membuatnya mendengus kesal. Tapi ini... ini berbeda. Snape tak tahu apa, tapi dia merasa ada sesuatu yang familiar. Terasa dekat, namun jauh di saat yang bersamaan.

Lily.

Snape tak tahu apa yang melandanya saat itu. Demi Merlin, bahkan Snape kesulitan untuk merangkai kata-katanya sendiri. Semuanya terasa tertahan di tenggorokkannya. Yang dia tahu, amarahnya mereda dan tanpa sadar, ekspresi wajahnya melembut.

"Masuk," itu saja yang bisa diucapkannya. "Kalau kau mau menangis, masuk. Setidaknya, jangan ganggu tidur yang lain, Potter."

...

Ini bukan pertama kalinya Grace menangis di hadapan Snape. Tapi ini jelas pertama kalinya Snape membiarkan seorang murid masuk ke ruangannya selain untuk detensi, apalagi di jam tengah malam seperti ini.

Snape lalu beranjak dari kursinya, memunggungi Grace yang sedang duduk di sofa. Mereka berdua sama-sama diam, sampai Snape kembali dan meletakkan secangkir teh hangat di hadapan Grace.

Aroma melati samar-samar tercium. Teh melati pemberiannya. Sebelum Grace bisa mengatakan apa-apa, Snape langsung menyelanya.

"Minum," ucap Snape dingin. Kedua matanya dipejamkan. Snape sempat menghela napasnya. "Potter, aku harap kau menggunakan otak burungmu itu. Siapa yang cukup gila untuk datang ke ruangan pribadi seorang profesor semalam ini? Terlebih lagi, ke ruanganku?"

Tangan kanan Grace mengusap bekas air mata di pipinya, meneguk teh hangat beraroma melati kesukaannya. Baru setelah cangkir yang digenggamnya tak lagi penuh, dia berani menatap Snape. Matanya masih sembab, namun ada api yang membara di kedua mata cokelatnya. Semerah rambutnya. "Profesor, aku ingin kau membantuku."

Mendengar itu, Snape mendengus kesal. Gila, pikirnya. Mana ada murid yang berani meminta tolongnya? Selama ini murid memohon dan pilihan antara ya atau tidak ada di tangannya sendiri. "Kau benar-benar—"

"Profesor," Grace menyela. Jemarinya bergetar, tetapi dia masih sanggup untuk membalas tatapan Snape yang mengintimidasinya. "Aku rasa aku bukan Grace."

"Berhenti berhalusinasi," hardik Snape. "Kalau bukan Grace Potter—anak dari bedebah sialan, siapa lagi?"

"Mungkin, hanya mungkin." Grace berbisik pelan, hampir tak terdengar. "Mungkin aku seseorang yang kau dulu kenal, Profesor."

...

"Kau butuh bantuanku untuk membuat ramuan Draught of Living Death?" suara rendah Snape terdengar sangat, sangat berbahaya. Jauh lebih rendah dibanding biasanya. "Apakah kau, Potter, tahu konsekuensinya?"

"Aku tahu, Profesor."

Mendengar jawaban Grace, Snape menggeram. Dia benci sikap arogan itu. Dia benci kalau saat ini bocah yang ada di hadapannya tak tahu apa-apa tentang ramuan Draught of Living Death. Bukan rahasia lagi kalau ramuan itu mematikan. Bila salah dosis sedikit saja, maka ramuan itu akan menidurkan siapapun yang meminumnya untuk selamanya. Tetapi, dibalik segala fakta yang menakutkan, ada desas-desus yang beredar di kalangan para penyihir. Kalau ramuan Draught of Living Death akan mempertemukanmu kembali dengan yang sudah tiada.

Tak sedikit yang mencoba untuk membuktikan rumor itu. Ribuan orang telah meminum Draught of Living Death dengan berbagai alasan—entah untuk bertemu kembali dengan orang yang disayanginya, atau memperoleh ketenaran dari keberanian yang bodoh untuk mencoba. Namun, sayangnya, tak ada satupun yang berhasil kembali hidup. Semuanya hanya tertidur pulas, menunggu kematiannya dengan diam.

Sekarang Snape hanya bisa menatap Grace tajam. Dia penasaran, apakah bocah ini benar-benar tahu betapa berbahayanya ramuan itu?

"Kau bisa mati, Potter," ucap Snape serius, namun tetap berusaha tenang seperti biasa. Snape menganggap kalau Grace tahu akibat dari ramuan berbahaya itu, Grace akan membatalkan permintaannya tadi. Dan Snape harus mengaku, kalau dia ingin melihat reaksi Grace. Dia ingin tahu reaksi apa yang diterimanya ketika Grace sadar kalau segala yang ada di dunia ini tak selamanya manis. Ada pengorbanan untuk setiap aksi, dan tak selamanya pengorbanan membuahkan hasil. Kadang, pengorbanan malah membawa pengorbanan lagi, penyesalan, dan kekecewaan.

Ironis, Grace hanya tersenyum ke arah Snape. "Aku tahu, Profesor," ulanganya lagi, penuh resolusi. Grace tak merasa takut atau mundur sedikitpun, berkontradiksi dengan ekspektasi Snape.

Snape sempat tertegun. Merasa marah dan kaget secara bersamaan. Dia benci keberanian yang ditunjukkan Grace. Keberanian Grace mau tak mau mengingatkannya pada seseorang yang dicintainya, dan Snape kesal untuk tanpa sadar menemukan keberadaan Grace di dalam ibunya. "Beritahu aku, Potter, untuk apa kau gunakan ramuan itu?"

Grace menarik napasnya, berusaha untuk tetap tegar. Setiap kali dia mengingat James, maka rasanya ia akan menangis. Seakan-akan luka atas kematian James di hatinya masih segar. "Akhir-akhir ini, aku selalu bermimpi tentang... seseorang, Profesor. Aku hanya bisa bertemu dengannya lewat mimpi, dan aku rasa Profesor, dia berusaha... untuk memberitahuku sesuatu hal yang sangat..." Jemari Grace mulai bergetar. Perasaannya meluap-luap. James, bagaimana dia bisa melupakannya? "Penting."

"Seseorang?" Snape menaikkan alis matanya. "Siapa dia?"

Entah kenapa, untuk menjawab pertanyaan Snape, Grace merasa bersalah. Ada yang mengganjal di hatinya. "James Potter... 'Pap."

Tak terduga, Snape malah tertawa. Tapi, tawanya terdengar pahit, penuh kebencian. Snape lalu berjalan mendekat ke arah Grace. Mata sehitam arangnya itu terlihat tenang sekaligus menakutkan. Penuh dengan emosi yang terperangkap di dalamnya. "Beritahu aku, Potter." Suara Snape terdengar semakin mengerikan. "Kenapa aku harus membantumu? Kau bukan siapa-siapa bagiku, Potter, selain bocah arogan yang tak tahu diri."

Pernyataan Snape itu menjadi bukti untuk Grace kalau dia tak lain hanya salah satu dari sekian banyak murid yang dibenci Snape. Snape tak perlu memperjelas kenyataan itu. Grace sudah tahu. Dan dia sudah lelah untuk berharap.

Meskipun begitu, perkataan Snape selalu membuat dada Grace terasa sesak. Jauh lebih sesak dibanding sebelumnya. Sebuah isakkan sempat keluar dari mulutnya dan seketika, perutnya terasa terbakar.

Sensasi panas yang membara itu perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya. Perih. Seperti tertusuk ribuan jarum di saat yang bersamaan. Tubuhnya menggigil hebat. Setetes, dua tetes darah mulai berjatuhan dari mulutnya.

Snape dengan sigap langsung menggenggam erat lengan Grace, menopang tubuh Grace yang hampir jatuh. Kepala Grace lalu disenderkan Snape ke bahunya sendiri, sebuah aksi yang tak pernah bisa dibayangkan dari seorang Snape.

Di antara kesadarannya yang semakin pudar dan rasa sakit yang menyiksa, Grace samar-samar mendengar Snape meneriakki namanya. Nama yang rindu didengar Grace.

Lily.

...

Always.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang