ESCAPE

7 1 0
                                    

Aku terus berlari menjauh dari keberadaan pak devon. Remuknya hatiku melumpuhkan kedua kaki ku secara perlahan. Menyesakkan dadaku mendadak. Kenapa?

Gemuruh amarah badai sudah mulai memenuhi langit yang semakin abu-abu. Aku terus saja melangkahkan kaki ku, tak peduli apa yang melintasiku. Aku ingin segera menjauh. Mengasingkan diri.

Rintikan tangisan langit pun mulai menjatuhi ubun-ubun ku hingga membuatku basah kuyup. Tetap saja. Tak ada yang bisa menghentikanku kali ini. Tidak ada.

Aku terus berlari. Pulang. Aku ingin memeluk grandma. Sangat ingin.

Heels yang kupakai mulai melukai kedua kaki ku. Entah kenapa aku tidak merasa sakit. Aku hanya merasa sesak yang begitu dahsyatnya. Bahkan tak bisa hilang meskipun aku berulangkali menghembuskan nafas.

Tibalah, aku didepan gerbang rumah. Aku berhenti menatap rumahku itu. Rumah masa kecil yang tetap berdiri kokoh. Aku mengingat masa-masa dimana papa pergi selama-lamanya. Aku sangat sadar. Papa gak akan kembali. Aku sangat tau. Mama bakal ninggalin aku juga.

Aku terus mengenang. Terus saja menangis. Aku ingat saat mama menyerahkan aku ke grandma dan grandpa. Melihat mama menikah dengan laki-laki lain. Bahagia tanpa aku. Rasanya paru-paruku sudah tak ingin menampung oksigen.

Sejak itu, sejak mama memutuskan untuk meninggalkanku, aku mulai melampiaskan segala amarah dan kesedihanku pada makanan. Saat itu juga, aku jadi Maggie si gendut yang selalu jadi bahan utama pem bully an di sekolah. Bahkan sampai saat ini. Oleh Noah Peterson.

Aku gak mau kembali. Aku gak mau masuk ke dunia itu lagi. Itu yang bikin pak devon gak suka sama aku. Itu juga yang bikin dia jijik sama aku. Aku gendut. Iya. Itu alasannya!

Aku berlari menjauhi rumah itu dan bergegas menuju suatu tempat yang sudah pasti aku tau akan ku tuju saat aku berada di posisi ini.

Menerjang hujan yang tak mau berhenti. Aku terus melangkahkan kedua kaki ku dengan cepat. Terus. Terus. Terus melangkah. Bahkan aku tidak bisa merasakan kedua kaki ku yang sedang menapak diatas bumi.

Aku menghentikan lajuan kedua kaki ku didepan rumah sederhana berdinding putih. Aku melangkahkan kaki ku masuk ke dalam halaman rumah itu dan mulai mengetuk pintu yang berdiri di antara jendela berwarna putih.

Aku memeluk diriku sendiri sambil menahan pecahan tangisan yang rasanya sudah ingin meledak-ledak. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka lebar. Menunjukkan sesosok wanita berkulit putih yang tinggi berdiri dibaliknya.

"Dina?" sapaku.
"Maggie?" sahutnya terkejut.
"aku...."
"ada apa?" kedua tangannya mulai menggenggam kedua lenganku. "kamu basah kuyup gini. masuk masuk." dia mendampingiku memasuki rumahnya.

Aku berdiri mematung di antara sofa yang menghadapku. Dina menutup pintu rumahnya dan segera bergegas menghampiriku yang mematung.

"astaga, Mag! ada apa?" ucapnya sembari menatapku dari atas hingga bawah.
"maaf kalo aku ngerepotin kamu, aku bingung mau kemana."
"enggak, kamu sama sekali gak ngerepotin kok. bentar, aku ambilin baju ganti ya?" Dina meninggalkanku menggantung baju kuyup diatas tubuhku.

Aku tetap saja mematung. Bukan bodoh. Tapi mengingat apa saja yang terjadi hari ini. Hari ini memang sangat-sangat buruk. Kenapa harus hari ini? Aku masih sangat mencintai pak devon. Kenapa harus aku yang tersakiti?

Suara langkah kaki dina mulai menggema di dalam ruangan. Dia menghampiriku. Dia mengulurkan tangannya dan memberiku daster merah tua yang banyak sekali motifnya.

"ini, kamu pake ini dulu ya sementara. ini baju mamaku yang ketinggalan disini waktu nginep kemaren." jelasnya sambil aku menerima baju itu.
"makasih, din. aku ganti dulu."
"iya."

aku langsung melangkahkan kedua kaki ku menuju kamar mandi yang menunggu kehadiranku di samping ruang tamu dirumah ini.

Tak butuh banyak waktu untuk mengganti pakaianku. Aku keluar dari kamar mandi memakai baju merah tua milik mamanya dina. sangat cocok.

Aku duduk disamping dina yang sudah daritadi menungguku. Dia terus saja menatapku. Seakan-akan dia sudah tau apa yang terjadi hari ini.

"ada apa?" suaranya memecahkan keheningan ruangan.
"gak papa."
"gak mungkin. aku tau kamu udah lama, Mag! udah dari SMA. jelasin sekarang." paksanya sambil menatapku.
"aku capek! aku capek jadi gendut! aku jelek! aku mau jadi cantik! kenapa aku gak bisa jadi kayak kamu yang tinggi, putih, kurus. Aku juga pengen ngerasain gimana rasanya dihargai sama laki-laki!" amarahku memuncak sampai ke ubun-ubunku.
"siapa yang bilang kamu gak cantik?"
"banyak, din! jangan lagi kamu bikin aku seneng dengan ngomong kalo aku cantik no matter what! itu omong kosong yang selalu aja kamu ucapin biar aku seneng!" tangisku pecah seketika. Jujur, aku sudah tidak sanggup.
"kamu emang cantik. kamu aja yang gak bisa lihat itu. cuma orang-orang tertentu aja yang bisa lihat itu. kamu gak perlu punya wajah cantik, kamu itu baik. itu udah sangat cukup, Mag." jelasnya. nada suaranya sudah bisa kubaca. ini hanya metode penenangan Maggie.
"udah cukup! aku gak mau kayak gini terus! aku gak mau pulang ke rumah grandma!"
"what?"
"kamu mau nolongin aku kan, din?"
"nolongin apa?"
"aku boleh kan tinggal disini. sementara waktu aja. sampe aku berangkat ke Korea."
"korea?"
"iya, aku pesen tiket secepatnya."
"mau ngapain kamu?"
"please, just say yes! I know you're my best best friend."
" Mag, ini gak bener. kamu mau oplas?" tegasnya sambil menatapku dalam-dalam.
"iya, ini udah keputusan akhirku."
"kamu gila? efek sampingnya bakalan banyak banget! gak aku gak ijinin kamu. aku bakal telpon grandma sekarang." Dina berdiri mengambil ponselnya dan mulai mencari-cari.
"stop! kalo kamu masih telpon grandma, aku bakal lebih nekat!" aku mengambil gunting yang tergeletak diatas meja kaca yang menghadapku.
"Mag, omygod! gila ya kamu?"
"please, let me do it!"
"Mag..."
"please."

Tatapannya melemah dan meleleh padaku. Dina meletakkan ponselnya diatas meja dan kembali duduk bersamaku. Dina terus menatapku sebal.

"ok." ucapnya.
"thank you so much." aku memeluknya dengan erat. "I love this guy so much. just let me do this. I want to make him mine."
"ok." Dina menepuk-nepuk punggungku dengan lembut.
"jangan bilang ke grandma kalo aku ke korea ya? jangan bilang kalo aku oplas. Grandma bisa marah besar."
"kamu dapet biayanya darimana?"
"gaji kerjaku selama ini, uang saku dari grandma, dan uang peninggalan grandpa buat aku. kayaknya cukup. we never know until we try it, right?"

Dina terus menganggukan kepalanya padaku. Seakan pasrah dengan keadaan. Aku tau dia khawatir. Tapi aku juga sangat membutuhkan ini. Aku ingin pak devon. Aku ingin devon. Devon Mahendra.

THE MATTERS OF BEAUTYWhere stories live. Discover now