Bab 5. Iklan Jebakan

441 29 0
                                    

   Kegiatan pagi itu agak berlebihan bagi kesehatanku, dan aku merasa kelelahan di siang harinya. Setelah Holmes pergi menonton konser, aku membaringkan diri di sofa dan berusaha tidur selama satu-dua jam. Usaha yang sia-sia. Pikiranku terlalu aktif akibat semua kejadian yang telah berlangsung dan segala keanehan yang meliputinya. Setiap kali memejamkan mata, aku melihat ekspresi korban yang mirip kera. Begitu mengerikan kesan yang ditimbulkan wajah tersebut sehingga rasanya aku ingin mengucapkan terima kasih pada orang yang telah mengenyahkan korban dari dunia ini. Seumur hidup, belum pernah aku melihat wajah yang lebih kejam daripada wajah Enoch J. Drebber. Sekalipun begitu, aku tetap beranggapan bahwa keadilan harus ditegakkan. Kondisi fisik korban tak boleh menjadi bahan pertimbangan di mata hukum.

   Semakin kupikirkan, aku semakin meragukan hipotesis temanku bahwa pria tersebut telah diracuni. Aku ingat bagaimana Holmes mengendus pria itu, dan mungkin mendeteksi sesuatu menimbulkan gagasan tersebut. Tapi kalau bukan racun, apa penyebab kematian pria itu? Tak ada luka atau bekas cekikan. Dan lagi, darah siapa yang berceceran di lantai? Tidak ada tanda-tanda perkelahian, korban pun tidak memiliki senjata yang mungkin digunakannya untuk melukai lawan.
Selama pertanyaan-pertanyaan tersebut belum terjawab, aku jadi sulit tidur.

   Holmes pulang terlambat, sehingga aku menduga ia bukan hanya menonton konser. Makan malam telah siap di meja ketika ia tiba.

   "Luar biasa," katanya sambil duduk. "Kauingat apa kata Darwin tentang musik? Dia mengklaim bahwa kemampuan untuk menghasilkan dan menikmati musik sudah ada pada manusia lama sebelum mereka bisa berbicara. Mungkin itu sebabnya kita secara tak sadar begitu dipengaruhi
musik. Ada kenangan samar dalam jiwa kita akan abad-abad ketika dunia masih dalam tahap kanak-kanak."

   "Itu gagasan yang berlebihan," kataku.

   "Gagasan seseorang haruslah sebesar alam, kalau ia ingin menafsirkan alam itu," tukas Holmes. "Ada masalah apa? Kau tampak murung. Kasus lauriston Gardens ini mengganggumu, ya?"

   "Sejujurnya, ya. Aku seharusnya lebih mampu menghadapinya setelah pengalamanku di Afghanistan. Aku sudah melihat rekan-rekanku dicincang di Maiwand tanpa kehilangan keberanianku."

   "Bisa kupahami. Ada misteri dalam hal ini yang memicu imajinasi. Jika tak ada imajinasi, tak ada ketakutan. Kau sudah membaca koran sore?"

   "Belum."

   "Laporan mengenai kasus itu cukup bagus. Tapi tidak menyinggung fakta bahwa sewaktu korban diangkat, ada cincin pernikahan wanita yang jatuh ke lantai. Memang sebaiknya begitu."

   "Kenapa?"

   "Lihat iklan ini," jawab Holmes. "Aku mengirimkannya ke setiap koran tadi pagi setelah mengetahui kasus ini."

   Holmes melemparkan koran ke arahku, dan aku melirik kolom yang ditunjukkannya. "Pagi ini di Brixton Road," demikian bunyi iklan itu, "ditemukan sebentuk cincin kawin. Cincin ini ditemukan tepatnya di jalan antara White Hart Tavern dan Holland Grove. Hubungi Dr. Watson, Baker Street No. 22IB, antara pukul delapan dan sembilan malam."

   "Maaf karena aku menggunakan namamu," kata Holmes. "Kalau kugunakan namaku sendiri, pasti ada orang iseng yang mengenalinya, dan ingin ikut campur dalam masalah ini."

   "Tak apa-apa," jawabku. "Tapi seandainya ada yang datang, aku tidak memiliki cincinnya."

   "Oh, ya, ada." Holmes memberikan sebuah cincin kepadaku. "Cukup bagus, kan? Sangat mirip."

   "Menurutmu, siapa yang akan menanggapi iklan ini?"

   "Tentu saja pria bermantel cokelat dengan sepatu berujung persegi. Kalau bukan dia sendiri yang datang, pasti temannya."

Sherlock Holmes : A Study In ScarletWhere stories live. Discover now