Please Don't Come

59 6 50
                                    

Masih terngiang jelas perkataan Jinan, bahwa kali ini formasi reuni SMA Boulevard bakal lengkap. Itu artinya dia juga akan datang. Genandra Pradipta. Lelaki pengecut dengan ribuan fans semasa sekolah. Jika harus memilih, lebih baik menghadapi murid yang nakal daripada menghadapi Genandra secara langsung.

"Ini dress yang gak sengaja gue liat pas lagi ke butik nyokap kemarin. Gue jadi keinget sama lo, akhirnya gue beliin deh buat lo. Jangan lupa dipake. Oh iya, pilih sepatu yang warnanya cocok sama dressnya. Jangan jadi fashion terorist."

Entah apa yang membuat Jinan tampak bersemangat mengajakku ke reuni tersebut. Biasanya jika aku sudah bilang "tidak" atau "diusahakan", dia tidak akan memaksa seperti kemarin.

Akhirnya sebentar lagi pukul 7 malam, dengan balutan dress berwarna pink muda yang orang – orang bilang bahwa itu adalah dress model sabrina, dress bagi si bahu indah. Rasanya kurang percaya diri memakai gaun ini, apalagi ditambah panjangnya yang hanya sebatas lutut, di atas lutut malahan dengan dipadukan high heels polos berwarna senada.

"Stella.." panggil Jinan heboh sesaat dia turun dari mobil. Dia memakai mini dress yang simpel namun terlihat elegan. Warnanya biru muda cocok sekali dipadupadankan dengan kulitnya yang putih. Jinan langsung memeluk dan membawaku masuk ke mobilnya.

Di dalam perjalanan, Jinan banyak bercerita tentang pekerjaannya, tentang pacarnya, tentang keluarganya, sesekali kita membahas kekonyolan di masa lampau. Di mana aku selalu tertidur saat guru mengajar namun sekarang justru aku menjadi guru membuat seisi kelas heran tidak percaya.

"Kata Dirga, hari ini semua kelas bakal dateng. Terus nih, La, kita gak perlu bayarin tagihan sewa tempat sama makanannya karena ternyata ada yang sukarela nawarin diri mau ngebayar."

"Siapa nan?" tanyaku harap – harap cemas. Entah kenapa pikiran langsung tertuju ke Genandra.

"Genandra, ah gue penasaran gimana keadaan dia sekarang. Pasti udah sukses deh. Tambah ganteng gak ya? Mau gue gebet." Tanpa sadar tali tas sudah menjadi korban pertamaku. Hanya mendengar namanya diucapkan membuat tubuh ini ingin kembali tidur saja. Untungnya cengkraman di tas tidak terlalu kuat sehingga tas masih selamat dan bisa digunakan.

"Hush, inget tunangan." Jawabku dengan nada yang cukup aneh karena agak bergetar. Semoga Jinan tidak merasakan.

Perjalanan yang panjang dan melelahkan akhirnya terlewati. Gedung yang menjadi tempat reuni cukup besar, ah tidak, bahkan terasa lebih dari cukup untuk menampung seisi kelas saja. Makanan di sediakan di tengah – tengah sedangkan di paling ujung ada panggung yang cukup megah.

Acara belum dimulai, Jinan sedang ada di toilet dan aku sedang menatap surga buah – buahan di depan. Langsung saja ku ambil piring kecil dan garpu kemudian mata tertuju kepada strawberry yang kelihatannya segar. Tanpa pikir panjang strawberry tersebut langsung berpindah ke piring.

"Masih suka strawberry, Ris?

Aku berhenti mengunyah. Hanya satu orang yang memanggilku Ris. Dengan dibalut jas hitam, dia mengambil piring, garpu dan beberapa potong buah pepaya.

"If I still like papaya." Lanjutnya.

Masih berdiri mematung dan tidak tahu kenapa respon tubuh ini sangat lambat, apakah karena suaranya yang bertambah berat dan matang atau karena tangannya yang bertambah besar seolah mengajak untuk menggenggamnya.

"Ris?" dia memanggil dengan suara lembut. Sekali, dua kali aku tidak menjawab. Sampai akhirnya ketiga kali aku sadar bahwa aku masih menyukainya.

"Ya? Siapa?" tanyaku bodoh, dia terseyum lembut menampakan senyuman di matanya lalu mengulurkan tangannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 25, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

UnalteredWhere stories live. Discover now