Permen Kapas

1.8K 196 1
                                    

"Halo? Rea?"

"Ya, Kavi?"

"Kamu suka permen kapas, nggak?"

Selesai kamu bertanya begitu, Kavi, jantungku mulai berdebar. Diam-diam aku menebak penuh ke-GR-an, apa kamu mau menggombal?

Ah, tapi kan kamu tidak suka menggombal, ya. Atau kamu mau membelikanku banyak permen kapas?

"Halo?"

Suaramu kembali masuk ke telinga, membuyarkanku yang tengah berspekulasi untuk apa kamu bertanya aku menyukai permen kapas atau tidak.

"Masih nyambung, kok," ujarmu pelan dari balik telepon.

Aku tersenyum, pasti kamu baru saja menjauhkan ponselmu dari telinga untuk melihat sambungan telepon denganku kan, Kavi?

"Hahahaha." Aku tertawa begitu saja, pasti kedua alis tebal yang menaungi mata indah favoritku itu tengah berkerut dan hampir menyatu. "Aku di sini, Kavi."

"Kok, diem, Re? Kan aku nanya, kamu suka permen kapas apa nggak."

Aku menimbang-nimbang sebelum menjawab, "Nggak suka."

"Yah, nggak suka, ya ...."

Mendengarmu berucap lesu begitu, aku yang tengah berbaring di atas tempat tidur ini langsung beringsut duduk. "Kenapa?"

"Jadi, aku beli banyak permen kapas buat keponakanku. Eh, belum-belum, aku udah disemprot dan dimarahin duluan sama Mamanya, katanya 'Kavi! Kamu mau bikin anakku ompong, ya?!'"

Aku terbahak-bahak mendengar kamu menirukan suara kakak perempuanmu, Kavi!

Astaga, kamu lucu sekali. Pintu kamarku sampai-sampai digedor Ibuku, kamu tahu? Katanya, rahangku tak akan lagi bisa menutup kalau aku tak mau berhenti tertawa sekarang juga.

Maka, cepat-cepat aku menghentikan tawaku. Ucapan seorang ibu itu doa, kan, Kavi? Aku tak mau rahangku terus terbuka. Nanti aku makin mirip kudanil!

Aku mendengarmu mendengus dari seberang, "Puas, ketawanya?"

Kali ini, aku hanya terkekeh, sembari berupaya menormalkan kembali detak jantungku yang selalu berdebar tak karuan kala mendengar suaramu.

"Terus, terus, permen kapasnya kamu ke manain?"

"Ya ini, ada, kutaruh di atas kasur."

"Terus kenapa kamu nanya aku suka permen kapas apa nggak?"

Kavi, aku dengar kamu berdecak. Atau itu suara cicak yang sedang mendekat ke arahmu untuk mencuri dengar obrolan kita? Dasar cicak penguping! Atau mungkin cicak itu sebenarnya mata-mata yang dipasang perempuan lain untuk mengawasi kamu?

"Tadinya, kalo kamu suka, aku mau kasih ke kamu aja," jawabmu, menghentikan pemikiran-pemikiran konyolku.

"Aku suka, kok!" seruku dengan senyum lebar, sementara tanganku bergerak, meraih guling untuk kudekap.

"Katanya tadi nggak suka?"

Biar kutebak, pasti keningmu kini berkerut. Aku benar tidak, Kavi?

Aku tertawa. "Daripada mubazir?" alibiku. Padahal, aku hanya ingin mulai menyukai sesuatu dari apa yang ingin kamu suguhkan, Kavi.

"Oke, besok kubawa ke kampus, ya. Atau mau kamu aja yang ambil ke rumahku?"

"Biar aku aja yang ambil ke rumahmu, gimana?"

Sekalian, kuambil hati Ibumu terlebih dahulu sebelum aku berhasil memiliki hatimu.

Bagaimana, Kavi? Boleh?

"Oh, oke."

Yes.

"Jangan tidur malem-malem, Kavi."

"Iya, nanti aku tidur subuh-subuh aja ya, Re?"

"Kavi!"

"Hahaha, udah, pulsaku nanti habis. Ngobrol sama kamu nggak akan pernah beres."

"Tapi kamu seneng nggak sih, ngobrol sama aku?"

"Ya, seneng."

"Kavi, kamu tau nggak, sekarang aku lagi ada di mana?"

"Di ... rumah?" tanyamu ragu-ragu.

Aku tersenyum, lalu menggeleng. "Aku di langit kedelapan, Kavi."

"Wah, aku lagi ngobrol sama alien."

"Hahahaha." Aku tertawa, soalnya kamu lucu sekali. Atau lucu dua kali? Ah, kamu sih lucunya berkali-kali!

"Dasar, aneh," katamu bercanda. (Aku tahu kamu bercanda karena kamu tertawa.)

Aku masih tertawa, sampai kamu memutus sambungan telepon.

Kita sudah tak lagi bicara, Kavi. Tetapi alien yang tinggal di langit kedelapan ini masih menempelkan ponselnya di telinga. Sambil tersenyum. Sambil tertawa. Sambil menggigit-gigit ujung gulingnya. Sambil menggerak-gerakkan kakinya. Sambil merindukan kamu, tentunya.

*****

Aku dan Kavi [1/3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang