Bryna mengerjapkan matanya, menahan air mata yang nyaris tumpah.

Tama mendengus, "Kuharap kamu tidak mempercayainya Bry. Kamu tahu adikmu lebih baik dari siapapun, kukira. Kamu seharusnya tahu. Atau paling tidak mencari tahu sebelum mempercayai Brenda dan menghancurkan semuanya. Kenapa kamu tidak curiga saat itu? Kenapa menelan mentah-mentah omongan Brenda? Bodoh!"

Tama melepas cengkeramannya, sadar bahwa dia mencengkeram Bryna sedikit terlalu keras, dan Bryna menggosok bekasnya sesudahnya.

"Sorry." Kata Tama datar. "Jangan pergi." Ulangnya.

Bryna menggeleng sedih.
"Tidak ada alasan bagiku untuk tetap tinggal Tam."

"Dengar Bry, aku sudah mengatakan padamu bahwa aku menyukaimu. Dan aku bukan jenis orang yang akan mengulang-ulang hal yang sama berkali-kali. Jadi dengarkan ini baik-baik."

Tama menundukkan kepalanya, bertatapan langsung dengan mata Bryna dengan jarak yang nyaris tidak ada. Ia menekankan setiap kata, seolah tidak ingin Bryna melewatkan satu katapun.

"Aku menginginkanmu, dan aku tidak akan menyerah untuk mendapatkanmu."

"Kamu menginginkanku?" Tanya Bryna dingin.

"Ya, dan bohong kalau kamu tidak merasakannya." Sahut Tama ketus.

"Aku tidak mengerti. Kamu menginginkanku untuk apa tepatnya, Tam? Sebagai penghias ranjangmu? Sebagai orang yang selalu tersedia kapanpun kamu ingin bercinta?" Suara Bryna makin mendingin, ia menatap Tama dengan kekecewaan yang tidak dapat ia sembunyikan.

"Apa yang kamu bicarakan?"

"Mungkin kamu bisa dengan mudah mendapatkan orang lain untuk itu. Tapi bukan aku. Aku tidak bisa."

"Aku tidak menginginkan orang lain."

"Kenapa? Bukankah kamu selalu menggunakan wanita seperti tissue sekali pakai? Jadi, kenapa ini harus berbeda denganku?"

Tissue sekali pakai? Serendah itu dia menilai Tama? Ia bahkan tidak menggunakan Bryna. Dia membutuhkannya.

"Kamu bukan orang lain." Jawabnya jujur.

"Jelas."

Tama mencoba mengabaikan sarkasme dalam suara Bryna, dan melanjutkan.
"Dan kalau kamu menghitung dengan benar, kita sudah lebih dari sekali kan? Tidakkah itu mematahkan teorimu tentang 'sekali pakai'?"

Pipi Bryna memerah, tapi Tama yakin, egonya terlalu tinggi untuk mengakui kesalahannya.

"Aku harus pergi sekarang, Tam."

"Begitu saja?"

Bryna berdecak.
"Jadi apa? Jelas-jelas kita tidak menemukan jalan keluar disini. Dan Sean sudah berisik dari tadi! Aku pusing!"

"Sialan, Bry! Apakah egomu menginginkanku berlutut untuk memohon padamu?"

Bryna hanya menggeleng sedikit.

"Kamu tahu tatto apa ini?"
Tama merentangkan tangannya, membiarkan Bryna melihat rajaman di tubuhnya dengan bebas.

"Phoenix?"

"Ya, aku sudah mengatakan padamu malam itu. Tapi tidakkah kamu tahu alasan kenapa aku menempatkan phoenix disini?"

Bryna menggeleng.

"Meskipun mati, phoenix bisa lahir lagi dari abunya sendiri."

"Fawkes." Sahut Bryna yang entah kenapa nyengir.

"Sorry?"

"Fawkes. Burung phoenix milik Dumbledore. Harry potter?"

Tama tidak mengerti apa yang dikatakan Bryna, tapi dia tidak peduli.

"Seperti mitos tentang Phoenix, seperti itu juga perasaanku padamu, Bry. Kupikir itu sudah mati dan hilang. Tapi tidak. Itu tetap bangkit dan masih tetap ada."

Bibir Bryna terbuka, mungkin terkejut dengan kalimat Tama.
Dan Tama sendiri tidak percaya bahwa bibirnya bisa mengeluarkan kata-kata selembut itu.

"Aku tidak mengerti, Tam."

"Aku juga tidak, sialan. Hanya tetaplah disini. Jangan pergi."

"Tama.."

Bryna membiarkan kalimatnya menggantung. Alih-alih melanjutkan langkahnya menaiki tangga ke lantai atas, Bryna berbalik arah dan nyaris berlari keluar dari rumah Tama.

"Kemana kamu?" Tama berteriak.

"Pulang!"

Pulang? Dan mengabaikan pengakuan Tama begitu saja?
Benar-benar brengsek.

Terlalu marah, Tama hanya bisa menanggapi dengan, "Baju?"

Bryna berhenti, tapi Tama tidak berniat mendekatkan jarak menganga diantara mereka.

"Kamu bisa membuang milikku, terserah. Dan kalau kamu keberatan pakaianmu kupakai, aku bisa melepasnya sekarang juga." Jawab Bryna, menantang.

Dari tengah tangga, Tama menatap kearah Bryna. Mengamati kaus kebesaran dan juga celananya yang dipakai Bryna dan membayangkan bagaimana Bryna melucuti pakaian dihadapannya dan berdiri telanjang disana.

Lidahnya gatal untuk menyuruh wanita itu melepas pakaiannya sekarang juga. Tidak masalah kan? Toh dia duluan yang menawarkan ini.

"Pulang sana. Laki-laki brengsek diluar itu benar-benar bajingan! Dia bisa membangunkan seisi komplek dengan klaksonnya yang sialan itu."

Bryna tidak mengatakan apa-apa lagi setelahnya. Dia keluar begitu saja dari rumahnya bahkan tanpa berbalik.

Brengsek!

Bisa-bisanya dia jatuh cinta pada wanita seperti itu.

Tunggu dulu, jatuh cinta?

Sialan.

Benar-benar sialan.

•°•

Note :

Sedikiiit lagiii..

Sabar gengs..

Btw, thank's, utk yang mampir & baca cerita ini.
Readersnya nambah trs, alhmdulillah, terimakasiiih..

Regrads, ulphafa.

Nothing Last Forever (Hate-Love) ✔Where stories live. Discover now