Empat

19.1K 1.8K 25
                                    

It's a losing point of view
When there's a wistful silence, in an empty room..

(Sam Smith_In the lonely hour)

•°•

Mejanya berantakan.
Beberapa design bangunan dan gambar kerja yang baru selesai ia periksa masih tergeletak disitu. Layar laptopnya menyala. Rokok, korek, dan asbak bekas abu rokok juga ada disana.

Tapi Tama tidak memedulikannya. Tidak, sampai ia menatap bayangan bergerak di ambang pintu ruang kerjanya yang terbuka.

Ia mendongak, dan melihat bahwa beberapa orang muncul disana.
Indra Gunawan, pengacara keluarga Kuncoro, ditemani Nickolas Aditama dan istrinya, Brenda. Dan satu orang lagi yang tidak ia sangka akan ikut dalam rombongan itu. Bryna.

"Hai, Tam. Keberatan kalau kami mengganggu sebentar?" Indra mulai berkata.

Keberatan, sebenarnya. Dia tidak ingin diganggu dengan urusan penuh drama yang sepertinya akan mereka suguhkan. Tapi ia mengangguk juga akhirnya.

Di ruangan 4x5 meter itu ada semua yang Tama butuhkan untuk bekerja dengan nyaman. Dua sisi dinding dengan panel kayu dan dua sisi lainnya dicat sewarna gading. Dua jendela besar dan satu lemari buku lengkap dengan kursi berpunggung tinggi yang nyaman.
Hanya saja, tidak ada kursi untuk mengakomodasi semua orang diruangan itu. Dia tidak mendesign ruangannya untuk menerima banyak tamu, jujur saja. Hanya ada dua arm chair dihadapannya, yang langsung di duduki Indra dan Nicko tanpa permisi.

Sementara Brenda memilih duduk di kursi baca sambil menyilangkan kaki, Bryna harus rela berdiri bersandar di dekat jendela yang berada di sebelah kiri meja Tama.

"Kami kesini untuk membahas tentang hal yang saya utarakan kemarin di telepon." Indra berkata lagi.

Tama mengangguk.
Yah, dia sudah tahu sejak lama sebenarnya. Sudah menjadi rahasia umum juga. Tapi ia tidak yakin apakah anak-anak Kuncoro tahu itu.

Kalaupun mereka tahu, hal itu rupanya sama sekali tidak berpengaruh banyak dengan gaya berpakaian mereka. Mereka spertinya tidak akan mengubahnya.
Keduanya masih mengenakan tas branded, yang meskipun Tama sendiri tidak tahu persis apakah itu milik Luis Vuitton, Hermes atau Chanel atau yang lain, tapi satu hal yang ia yakini adalah harga tas itu pasti puluhan juta.

Brenda mengenakan dress hijau selutut dan cardigan dengan warna senada. Sedangkan Bryna lebih nyaman dengan jeans hitam dan blazer sepanjang siku. Berdiri penuh gaga dengan sepatu hitam high heelsnya, dia tampak seperti model katalog majalah fashion.

Dengan cepat Tama mengalihkan pandangannya dari Bryna. Mengerjapkan mata dua kali untuk membersihkan pandangannya. Seolah memandang Bryna terlalu lama bisa merusak matanya.

"Kami benar-benar bergantung pada Karya Utama sekarang." Om Indra melanjutkan. "Kamu tahu bagaimana kondisinya. Untuk itu, Brenda dan Bryna mengajukan diri untuk membantu dalam prosesnya."

Tama mendengus.
Ya, membantu. Tentu saja.

"Adakah salah satu dari mereka punya pengalaman langsung terkait konstruksi? Ada yang memiliki ilmu tentang itu? Atau paling tidak, tahu dan memahaminya?"

Tentu saja tidak. Brenda kuliah jurusan pertanian, dan setaunya, Bryna bekerja sebagai Web Programmer, jadi dia yakin keduanya tidak tahu apapun tentang konstruksi.
Ia lalu menggeleng sinis.

"Mereka tidak dibutuhkan disini, Om. Saya rasa Om tahu pasti tentang hal itu."

"Dibutuhkan atau tidak, sayangnya ini perusahaan keluarga kami. Jadi kami berhak ada disini kalau kami mau." Bryna bersuara dengan nada bermusuhan.

Nothing Last Forever (Hate-Love) ✔Where stories live. Discover now