Dua puluh Sembilan

Start from the beginning
                                    

Tanpa berpikir panjang, dia menempatkan diri diantara mereka dan mencoba melerai keduanya.

"Stop!" Bryna berteriak, frustasi.
Dia sendiri baru sadar bahwa dia mendorong dan memeluk Sean kuat-kuat. "Stop, Sean. Please.."

Mungkin keduanya kelelahan dan kehabisan tenaga. Atau mungkin mereka mendengar isakan dari bibir Bryna. Yang jelas, mereka akhirnya berhenti dan menjauh.

Dan meskipun masing-masing masih melemparkan tatapan siap membunuh, mereka tidak melakukan tindakan bodoh itu lagi.

"Sean.." Bryna memulai. Melihat pelipis Sean yang robek dan rahangnya yang memar.

"What the hell, Bry? Apa kamu sudah gila? Kamu tidur dengan laki-laki brengsek ini?" Sean mencercanya dengan dada naik turun menahan amarah.

"Aku tidak tidur dengannya!" Bryna meneriakinya.

"Dan menurutmu aku akan percaya?" Sean balas berteriak.

"Kami tidur di kamar terpisah, Sean. Itu kenyataannya. Kamu bisa naik dan melihat sendiri kalau mau!" Itu jujur, Bryna tidak berbohong tentang itu.

"Apa yang ada dalam otakmu saat memutuskan kesini, huh? Bukannya semalam kamu bilang mau ke hotel atau penginapan? Aku memberimu izin karena aku percaya, Bry. Tapi apa ini?"

"Sean.."

Bryna sudah membuka mulut untuk menjawab, tapi Tama menyelanya.

"Dia tidak membutuhkan izin sialanmu untuk melakukan apa saja yang dia inginkan."

"Tama.." Bryna mengingatkannya untuk tidak ikut campur.

"Oh ya, dia butuh izinku! Dan aku tidak akan mengizinkan Bryna dekat-dekat denganmu!"

"Kamu tidak punya hak untuk mengatur kehidupan Bryna, bajingan!"

"Dengar, brengsek!" Sean mengarahkan jarinya pada Tama. "Kamu membawa pengaruh buruk untuk Bryna, dan aku ingin kamu menjauhinya! Clear?!"

"Aku tidak mau." Sahut Tama keras kepala.

Tama mendekat lagi, tampak murka dan siap meledak. Dan Bryna buru-buru mendorong Sean semakin menjauh.

"Sean, tolong. Jangan begini." Bryna menyela. Ia mencengkeram kemeja yang menempel di pinggang Sean dengan begitu erat. "Please, Sean, ini keputusanku." Tambahnya memelas.

Sean menunduk, menatapnya dengan tatapan terluka dan tidak percaya.

"Kamu? Memilihnya? Bryna?" Sean mendesis menakutkan.

"No, Sean. Bukan begitu maksudku." Jawab Bryna letih.

"Kita pulang dan balik ke Adelaide secepatnya kalau begitu!"

Bryna menghela nafas, menatap raut tak bisa dibantah Sean, lalu mengangguk kaku.

"Just give me a minute, Sean." Katanya pelan.

Sean menatap Bryna dari atas sampai bawah, mungkin baru menyadari bahwa baju yang melekat di tubuh Bryna bukan miliknya. Dan ini menambah kerutan tidak suka di kening Sean.

"Aku tunggu di mobil." Sahutnya dingin, lalu keluar begitu saja tanpa pamit atau mengucapkan kalimat apapun lagi.

"Aku tidak menyukainya." Ucap Tama dingin, dan Bryna baru menyadari bahwa ujung bibir Tama berdarah, dengan pipinya yang juga lebam.

"Ya, dia juga tidak menyukaimu. Cukup adil, kurasa." Sahut Bryna, melangkahkan kakinya kearah tangga.

"Dan kamu bertahan hidup bersamanya selama 4 tahun penuh?"

Nothing Last Forever (Hate-Love) ✔Where stories live. Discover now