"Kekurangan ada untuk dilengkapi." -Anonymous.
Rayya Maira kesepian, hidupnya hanya diisi oleh Kakek, Nenek, dan Cemong. Rayya berpikir hidupnya tidak diberlakukan adil. Sampai Rayya memutuskan untuk masuk ke dalam Teater, awalnya Rayya masih meras...
Kemudian Dzaki lah yang memecah keheningan, dia menarik tangan Reza. "Pulang."
Reza menepis tangan Dzaki, menatapnya tajam. "Apaan, sih?"
"Lo yang apaan!" timpal Hana, ikutan menarik tangan Reza namun tetap saja Reza menepis tangan Hana.
"Nggak usah sok peduli sama gue, deh," tutur Reza, "kalau lo emang peduli sama gue, harusnya lo nggak biarin orang itu mencaci gue seenaknya!"
"Papa nggak maksud begitu, Reza! Bisa nggak, sih, lo jangan mikir yang aneh?!"
Sekejap, mata Reza menatap Hana tak percaya karena mendengar penuturan Hana yang menurut Reza sangat tidak masuk akal. "Lo bilang, dia nggak maksud? Terus muka gue yang kemarin habis di tampar sama dia ini cuma hiasan, doang, gitu?!"
"Kalian sama-sama emosi makanya bisa sampai begini!"
"Terus aja, Na! Terus bela orang brengsek itu! Udah seenaknya ngambil Bunda dari gue, sekarang dia malah caci gue anak nggak dididik sama Ayah gue sendiri. Mulutnya sekolah nggak, sih, Anjing?!"
Geraman keluar dari bibir Dzaki, sepertinya dia sudah di ambang kesabaran, lantas tiba-tiba saja dia menerjang tubuh Dzaki. Membuat laki-laki itu terjungkal dengan tubuh Dzaki di atasnya. Dengan napas memburu, Dzaki mencengkram kerah baju Reza kuat-kuat. Matanya pun tak kalah menatap sosok di depannya kuat, bedanya matanya menampilkan sosok kebencian yang sangat kentara.
Tapi Reza malah tertawa remeh. "Apa? Lo keselkan kalau Papa lo gue maki? Apalagi gue ketika Papa lo maki-maki Ayah gue yang udah meninggal!"
"BERHENTI BERBICARA SEMBARANGAN, REZA!" seru Dzaki, dia semakin kuat mencengkram kerah Reza.
Sementara mereka berdua tak sadar bahwa mereka berdua telah menjadi pusat perhatian. Karena beberapa anak Theater belum semua benar-benar pulang dan keluar dari sekolah. Sekarang, sukses kejadian ini menjadi bahan pembicaraan. Untuk menangani hal ini, Ammar langsung bertindak, mengusir mereka semua dari sana. Tapi apalah daya Ammar hanya dianggap angin lalu.
Mungkin penasaran soal segala sesuatu maupun masalah orang lain, sudah menjadi adat di sini. Ammar mendengus, kembali menatap dua orang yang masih adu kebencian itu. Inginnya, sih, Ammar melerai, tapi kalau dia benar-benar melerai mereka... yang ada Ammar yang kena.
Lagipula mau Ammar melerai atau tidak, mereka berdua sepertinya tidak akan baik-baik saja nantinya. Lihat saja, mereka sudah beradu teriakan lagi.
"Lo harusnya sadar, lo itu emang kayak bocah nggak dididik," desis Dzaki. "Minta maaf sama Papa gue."
Reza berteriak keras, semakin lama napasnya semakin memburu sementara tangannya sudah melepas satu tinjuan ke rahang Dzaki hingga laki-laki itu kehilangan keseimbangan dan berakhir diterjang balik oleh Reza. Sekian detik kemudian Dzaki merintih akibat serangan bertubi-tubi dari Reza yang seperti orang kesurupan. Laki-laki itu tidak ada habisnya memukuli Reza.
Andai saja Bang Arif tidak turun tangan setelah tadi hanya menonton saja, mungkin Dzaki akan pingsan saat itu juga. Dan sepertinya kekuatan Reza saat itu tidak main-main, dia benar-benar memukuli Dzaki dengan penuh hati hingga bahkan Bang Arif tidak bisa menahan tenaga laki-laki itu dengan kedua tangan.
"LEPASIN, BANG! LEPASIN GUA!"
"Eleuh, eleuh, bocah ngomongnya gue-elo," cibir Bang Arif, dia semakin mengencangkan pegangannya, "sadar, Za. Kamu jangan kayak begini. Malu, atuh, masa ketua Drama Theater kayak begini."
"GUA NGGAK AKAN BEGINI KALAU DIA NGGAK DULUAN, BANG!" Reza kembali berteriak, tapi Bang Arif tak menghiraukan hingga akhirnya laki-laki itu beranjak diam, dia menunduk, bahunya bergetar sementara bibirnya terbuka dengan suara parau yang keluar dari sana untuk meringis menyuarakan hatinya, "saya nggak pernah minta Ayah saya meninggal secepat ini. Saya nggak pernah minta Bunda saya menikah lagi, tapi kenapa semua itu terjadi? Lalu kenapa Ayah saya disalahkan ketika saya berusaha bertindak yang benar? Saya salah, Bang? Saya salah kah, Bang? SAYA SALAH?"
"Enggak, Reza... kamu sekarang harus tenang, oke?"
Reza meringis kembali. "Nggak bisa, Bang."
"Oke...," Bang Arif menghela napas, melirik Adis dan menyuruhnya membawa Reza pergi dari sana, "kamu sama Adis dulu, oke?"
Reza tak menjawab, tapi tetap menurut. Dia berjalan dengan bantuan Adis, kemudian menghilang dari pandangan seiring langkahnya menjauh.
"Ayo, bubar semua. Kalau belum bubar saya kasih nilai jelek di rapot kalian," ujar Bang Arif, dia tersenyum puas ketika melihat kerumunan sudah benar-benar menghilang. Hanya tersisa beberapa orang yang ada di sana, Rayya, Ammar, dan Hana.
Sekarang Bang Arif menatap Dzaki yang tengah duduk di atas lantai itu. Bang Arif melangkah mendekati Dzaki kemudian berjongkok di depan laki-laki itu.
"Jadi bagaimana? Kamu tahu kalau kamu salah? Abang kan udah pernah bilang, Reza sensitif, kenapa juga masih kamu lawan?"
"Dia ngatain Papa saya," ujar Dzaki kesal.
"Itu bukan Papa kamu saja. Itu Papa Reza juga sekarang."
"Tapi Abang lihat kan? Dia malah ngatain Papa saya."
Kembali helaan napas terdengar, Bang Arif mendengus. "Saya tahu betul, Reza bukan tipe yang suka maki-maki orang tua."
"Sebentar, maksudnya Reza dan Dzaki saudara?"
Rayya menoleh, kaget dan baru sadar kalau Ammar masih ada di sini. Dan dia adalah satu-satunya orang yang tidak tahu perihal ini. Awalnya dia ingin segera menjelaskan, tapi celetukan Bang Arif mengacaukan segalanya.
"Loh? Saya kira kamu tahu? Padahal Rayya dan Adis saja tahu."
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Monmaap, punten, numpang lewat -Kang Siomay.
Nanya dong... Ini lucu gak?
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.