Selamat tinggal

3.9K 173 4
                                    

Beberapa hari berlalu Clara lewatkan hari-harinya dikursi roda. Ia jenuh jika terus-terus seperti ini rasanya hidupnya terlalu monoton. Begitu-begitu saja, terapi pun  sudah Clara jalani namun tetap saja tak ada perkembangan sedikitpun. Clara mulai lelah dengan semuanya. Seakan harapan untuk dapat berjalan dan mengingat semuanya itu kandas begitu saja.

"Anak perawan ngelamun aja" Ucap Gavin—ayahnya Clara—yang baru datang dari kantornya.

"Pah, kapan ara sembuh? Aku pingin hidup kayak dulu"

Gavin menatap anaknya dengan prihatin, hatinya terenyuh rasanya menyesakkan melihat putri kesayangan nya bersedih seperti ini.

"Kamu sabar ya sayang. Papah bakalan usahain apapun demi kesembuhan kamu"

"Tapi Clara juga pengen inget semuanya lagi. Clara pengen bisa jalan lagi biar gak nyusahin papah sama mama" Clara menundukan kepalanya dalam-dalam hingga setetes demi setetes butiran bening jatuh membasahi pipinya.

Jujur, ia sangat sedih dengan keadaannya yang tak bisa berbuat apa-apa selain duduk diatas kursi, tak ada kegiatan lain lagi yang bisa ia lakukan selain berdiam diri berusaha mengingat segala hal tentang dirinya dimasa lalu.

Gavin berjongkok dihadapan putrinya mengusap lembut butiran bening dipipi Clara lantas tersenyum getir "Papah tau kamu kuat. Jangan cengeng, angkat kepalamu sayang nanti mahkota mu jatuh. Air matamu itu terlalu berharga untuk dibuang sia-sia"

"Tapi untuk apa Clara hidup jika hidup Clara dihabiskan diatas kursi roda ditambah ingatan aku gak kembali-kembali lantas mahkota apa yang ada dikepalaku pah sedangkan aku punya rambut aja engga" Clara menangis tersedu-sedu meratapi segala cobaan hidupnya ini.

"Hey!  Jangan bilang begitu. Kamu itu harus bersyukur atas semuanya. Allah pasti punya rencana yang lebih baik buat kamu sayang " Gavin mengusap lembut punggung tangan Clara yang bergetar bercampur keringat dingin.

"Maafin ara udah ngeluh gini "

Gavin tersenyum lembut "papah ngerti kok. Senyum dong"

Clara menarik ujung bibirnya melengkung menjadi senyuman menahan perih didada nya yang berkecamuk.

Gavin menghembuskan napasnya kasar "Papah janji akan ngusahain apapun demi kesembuhan kamu"

"terimakasih pah"

"Sudah kewajiban seorang ayah sayang"

Clara memeluk ayahnya dengan sayang seolah mencurahkan segala keresahan yang selalu menghantui dirinya.

"Kalau kita pindah keluar negeri kamu mau? "

Clara mengurai pelukannya hingga alisnya bertautan "Mau ngapain pah?"

"Kata dokter terapi kamu. Kalau kamu ingin cepat sembuh kamu bisa dibawa ke Singapura disana ada dokter khusus yang bisa menyembuhkan hilang ingatan dan lumpuh seperti kamu"

Mata Clara berbinar lantas dengan lantang ia menjawab "MAU PAH "

"Lusa kita berangkat ya sayang. Kita urus juga kepindahan kamu kesana "

"Siap kapten" Clara mengangkat tangannya semacam hormat sambil terkekeh geli.

Melihat senyuman itu, Gavin menjadi merasa lega. Artinya, dengan hal ini Clara bisa tersenyum kembali dan merasakan harapannya belum sirna.

***

Clara mem- packing pakaian yang akan dibawanya keluar negeri besok pagi kedalam koper birunya. Hatinya tenang jika mengetahui fakta nya harapan dia untuk sembuh akan lebih besar jika ia mendapat perawatan khusus dari Doktor spesialisnya. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk tiga kali lalu seseorang membukanya yang tak lain adalah Gweni —ibu Clara— yang datang menghampiri dengan senyuman yang terus mengembang walau dimatanya tersirat kesedihan yang memancar seperti menahan rasa iba pada anaknya yang malang yang berada diatas kursi roda.

Certezza [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang