Mencoba tersenyum, walaupun tampak pahit, gadis itu menggelengkan kepalanya, "saya tidak apa-apa Tuan,"

Papa tersenyum, "saya bukan Tuan kamu," kata Papa sambil terkekeh, "panggil saya Bapak, walaupun tampilan saya bule, tapi saya orang Indonesia asli, orang tua saya yang mewariskan wajah bule ini kepada saya, dan anak-anak saya," kata Papa, matanya tampak menerawang, "yang memiliki tampilang bule seperti saya hanya satu, putri kecil saya Andra," lanjut Papa bergumam. Tapi gumaman Papa itu terdengar oleh Diandra, membuat Diandra terpaku.

Mendengar kata Papa, gadis terpaku, tapi saat berikutnya saat Papa berbalik menatap Andra da nada senyum kesakitan di wajah itu, yang Andra lakukan hanya tersenyum sopan, pura-pura tidak mendengar apa yang telah Papa katakana. "Baik Pak." Dan gadis itu menganggukan kepalanya.

Dan setelah Papa mengajaknya duduk disofa yang berada di ruangan itu, dan memulai pembicaraan masalah pekerjaan mereka, tentang gambar yang telah dikirimkan gadis itu yang menurut Papa memiliki kesamaan dengan gambar yang dikirimkan oleh perusahaan saingan, meminta diperbaiki di beberapa bagian dari gambar tersebut, berdiskusi tentang desain, juga material yang nantinya akan mereka pergunakan, dan konsep bangunan yang mencontek gaya clasik kuno, yang bertemakan Nusantara, dengan rumah Joglo khas Jawa untuk di beberapa cottage, dan di cottage yang lainnya ada bangunan khas Bali, dan rumah panggung khas Sunda, dan dibeberapa bagian yang lain menggunakan rumah-rumah khas suku yang ada di Indonesia, yang menggunakan material ramah lingkungan, karena hampir semuanya menggunakan material kayu. Mahal, tapi sangat cocok untuk lingkungan dengan udara dingin seperti di Bandung Utara.

Dan banyak yang mereka bicarakan tentang konsep bangunan, dan merembet ke hal yang lainnya.

Walaupun Papa belum berani menyentuh kehidupan pribadi gadis itu, tapi entah kenapa Papa sangat menyukai berbicara dengan gadis itu, yang tampaknya tidak kehabisan ide untuk berbicara ia mampu memberikan ide-ide segar untuk Papa, baik untuk pembangunan hotel yang akan segera di bangun, maupun konsep bisnis yang lainnya.

Dan pembicaraan mereka berlangsung, sampai waktu makan siang hampir habis. Saat akhirnya gadis itu pamit kembali ke kantornya, Papa melarangnya, dan mengajaknya bergabung makan siang bersama istrinya yang akan segera datang.

Tapi gadis itu menolaknya dengan sopan.

Tapi sebelum Diandra memegang handle pintu, pintu ruangan itu terpentang lebar, dengan bunyi grasak-grusuk heboh, sebelum akhirnya hening.

Mama.

Ya Mama datang ke kantor Papa seperti biasanya untuk menemani Papa makan siang. Hal baik lainnya yang telah dilakukan Mama dan Papa selama sepuluh tahun ini. Yang luput dan tidak pernah diketahui oleh Diandra.

Mama berdiri berhadapan dengan gadis itu yang terpaksa menyingkir dari depan pintu. Mama menatap gadis itu dengan mata membola. Ada riak di bola matanya, sebelum akhirnya, "Diandra.." bisiknya lirih dan penuh haru, airmatanya tidak bisa ia cegah jatuh menyusuri pipinya.

Papa menatap Mama lama, saat Mama memanggil gadis yang telah membuat jantungnya berdebar lebih banyak dari biasanya.

"Diandra? Ini Diandranya Mama?" tanyanya pelan, airmatanya menetes deras di wajah cantiknya, "Ya Tuhan, sayang kamu sudah besar.." jerit Mama dan tidak melanjutkan kalimatnya, karena selanjutnya ia memeluk tubuh langsing didepannya dengan erat.

"Kamu dimana saja sayang? Mama mencarimu selama ini," bisik Mama, sambil berusaha memeluk erat gadis itu yang tampak hampir meneteskan airmatanya, "Mama kangen banget Andra, Mama kangen banget, Andra jangan pernah tinggalkan Mama lagi," isak Mama.

Tapi gadis itu berhasil menghalau pelukan Mama, dengan getar ketakutan diwajah dan tubuhnya yang kembali bergetar, "aku bukan Andra Tante, namaku Dee," katanya.

Dunia DiandraWhere stories live. Discover now