Part 10 PENYESALAN MAMA

12.2K 607 32
                                    

Sorry, janjinya tadi malam mau double update. Tapi karena keasyikan nonton final piala dunia, dan akhirnya ketiduran. Lupa deh...

****

Papa sudah pulang?" Mama menyambut Papa dipintu depan, "Andranya mana Pa? Andra sudah ketemu kan Pa?" sambungnya kemudian.

Papa menggelengkan kepalanya, membuat wajah Mama yang tadinya berbinar penuh harap, menjadi mendung dan kehilangan gairah hidupnya, harapan diwajahnya tiba-tiba sirna tak tersisa.

Papa yang melihat Mama seperti itu, berusaha mendekap tubuh Mama, Papa sungguh tahu perasaan Mama saat ini, Daisy marah, sangat marah saat tahu Diandra pergi meninggalkan rumah tanpa meninggalkan kata apapun untuk keluarganya. Dan Daniel lebih marah lagi, karena selama Andra di rumah sakit Mama dan Papa tidak mengijinkannya untuk bertemu dengan Andra, padahal hubungan keduanya selama ini sangat dekat.

Karena kejadian kecelakaan yang membuat Daisy terkapar tidak sadarkan diri di rumah sakit lama, membuat kedua orang tuanya menyerah, dan menurunkan ego masing-masing, hingga akhirnya mereka berbaikan. Dan saat ini mereka berdua saling menguatkan satu sama lain, memotivasi Daisy dan mencari keberadaan Diandra yang masih belum menemukan titik temu.

"Pa.." Kekecewaan tampak jelas diwajah Mama yang pucat. "Andra belum ditemukan?"

Papa menunduk, terlalu susah ia harus menjelaskan semuanya kepada Mama, disaat emosi Mama yang tidak stabil seperti ini.

"Kita akan terus berusaha mencarinya ya Ma," sebenarnya bukan bohong kata-kata yang di ucapkan Papa itu, karena memang begitu kenyataannya, karena tidak ada petunjuk apapun yang Diandra tinggalkan untuk keluarganya. Tapi sebelum itu, Papa duduk disamping Mama. Mengeluarkan amplop dan mengangsurkannya ke depan Mama, "Diandra menitipkan ini kepada Pak Faruq, kepala sekolahnya Ma.."

"Apa ini Pa?" Mama menarik amplop itu dan dengan tidak sabar membukanya.

Pekik kecil keluar saat Mama membaca kata demi kata yang disampaikan Diandra, hatinya perih seperti tertusuk seribu jarum, air matanya deras menyusuri pipinya yang pucat, dan getar ketakutan semakin tampak di wajah Mama.

Dan setelah Mama berhasil membacanya, airmatanya kembali banjir, dan isak kembali terdengar. Bahu Mama melorot lemas, "kasihan Andra Pa, diluar sana kehidupannya seperti apa ya? Di rumah ini saja ia merasa sendirian," keluh Mama, "selama ini dia tidak punya siapa-siapa untuk berbagi,"

Papa mendekap Mama erat, "kita harus usaha lebih keras untuk menemukannya Ma," bisik Papa menenangkan.

Mama menghambur kepelukan Papa.

Mama tampak semakin sedih dengan penjelasan Papa, dan ia tidak bertanya-tanya lagi. "Mama tau, Mama salah, sudah menyakiti Andra selama ini, dan Mama menyesal melakukannya," bisik Mama lirih.

Papa bangkit dari duduknya, dan jongkok didepan Mama, ia pegang kedua tangan Mama hangat, Papa menggelengkan kepalanya, dan mencoba tersenyum. "Kita akan berusaha untuk mencarinya Ma, dan bila sudah menemukannya, Papa janji akan membawanya pulang kembali ke rumah ini, dan akan memberikan cinta yang belum pernah ia rasakan sepanjang hidupnya dari kita, orang tuanya." Janji Papa.

Ada binar di kedua mata Mama, saat mendengar kata-kata Papa. "Papa janji?" gumam Mama.

Papa menganggukan kepalanya. Dan memeluk Mama erat menyalurkan kehangatan kepada tubuh ringkih itu.

Terjadi keheningan yang lama,

"Mama mau istirahat di kamar Pa, Mama lelah sekali menunggu Papa pulang, Papa juga istirahat ya!" Kata Mama sambil meninggalkan Papa sendirian.

Sepeninggal Mama, Papa menghempaskan tubuhnya diatas sofa, pikirannya melayang dengan isi surat yang Diandra tinggalkan untuk Papa dan Mama.

'Andra, seandainya kamu tahu sayang. Betapa Papa sangat mencintai kamu Nak,' pikir Papa, 'dan benar kata orang, apa yang kita miliki akan sangat berharga, apabila ia sudah menghilang,' Papa menghela napas berat. Mengusap wajahnya kasar.

****

Belakangan ini, Mama lebih sering menangis sedih merindukan Diandra. Rindu yang baru Mama rasakan saat ini.

Dan setiap kali menangis, Mama pasti melakukannya di kursi yang biasa Diandra duduki di teras belakang, dekat dapur. Tempat yang biasanya kotor menurut Mama. Memeluk boneka kumal milik Andra.

Belakangan ini, Mama seperti menghukum dirinya sendiri, sudah beberapa kali Papa menemukan Mama tertidur di kamar Diandra, gudang sempit dan gelap, di luar bangunan utama rumah megah itu, mendekap barang-barang yang Diandra tinggalkan. Apalagi setelah menemukan curahan hati Diandra, Mama semakin sering duduk diam di kamar Diandra, menatap photonya penuh kerinduan, membaca ulang tulisan Diandra, atau hanya berbaring di kasur tipis yang biasa Diandra tiduri, mencoba mencari wangi tubuh yang mungkin Diandra tinggalkan.

"Ma...!" Mama mendongak, dan saat menyadari Daisy yang memanggilnya, masuk ke ruang perawatan Daisy, menghambur dan memeluknya.

"DAISY...." Jerit Mama. "Maafkan Mama Daisy," isak Mama sambil memeluk Daisy erat.

"Mendengar apa Ma?"

"Mendengar apapun yang kamu ucapkan sayang, Mama menyesal!" lirih Mama, "seandainya saja Mama mendengar kata-katamu hari itu, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini, mungkin Diandra masih ada bersama kita disini,"

Daisy menarik Mama untuk duduk di kursi dekat dengan tempat tidur rawatnya.

"Ini jalan yang telah dipilihkan Allah untuk Diandra Ma,"

"Tapi bukan begini caranya sayang,.."

"Ma...!"

Mama menundukan kepalanya, matanya basah oleh airmata. "Mama tidak mau kehilangan lagi sayang, cukup Darrel yang pergi meninggalkan Mama, jangan kamu, Daniel maupun Diandra," jerit Mama. "Mama mungkin pernah tidak menginginkan Andra ada di dalam kehidupan Mama, dan menganggap Andra sebagai anak pembawa sial dan pembunuh, tapi sekarang Mama insyaf, Mama takut kehilangan dia, dan Mama berharap Andra masih bisa ditemukan, bagaimanapun keadaannya,"

Daisy mengetatkan pelukannya.

"Kenapa ini harus terjadi Pa?" Tanya Daisy kearah Papanya.

Papa menundukan kepalanya. "Papa salah." Bisiknya lirih, "Papa sangka, Papa sudah tidak menginginkan Andra ada di dalam kehidupan Papa," Papa menarik napas. "Ternyata Papa sangat menginginkannya."

Daisy menarik napas. "Ini bukan saat yang tepat untuk saling menyalahkan, tapi ini saat yang tepat untuk bias menunjukan kepada Andra, kalau Mama dan Papa itu sangat membutuhkannya,"

Papa menganggukan kepalanya.

Papa menghampiri keduanya, dan ganti memeluk Mama. "Sabar Ma, kita kan sedang berusaha mencari cara Andra," bisik Papa di telinga Mama.

Daisy menganggukan kepalanya dengan yakin.

Serang, 08 Oktober 2018

Dunia DiandraWhere stories live. Discover now