Berteduh

54 4 0
                                    

(Inspired by true story)

"Hai Mas, aku pikir ngga jadi dateng".

Fay, pacar (baru)ku, adik kelas SMA, menyambutku di teras rumahnya.

Wajahnya terlihat cantik sekali malam minggu itu. Padanan kaos putih dan celana blue jeans yang ia kenakan, menambah pesonanya.

"Maaf agak telat ya, ngga bawa jas hujan soalnya"
"Iya ngga papa, Mas. Memang hujannya deres banget tadi"
Ia mengajakku duduk bersebelahan dengannya di kursi kayu yang ada di teras.
"Tadi berteduh dimana, kok ngga begitu basah?"
"Di depan, dekat gerbang komplek"

"Oh, syukurlah. Gimana, kita jadi jalan?" tanyanya dengan senyum menghangatkan tubuhku.

"Ya jadi dong. Ayo.."

"Ok. Tunggu bentar ya, aku pamit Papa Mama dulu" setengah berlari ia masuk kedalam rumah.

Tidak sampai dua menit, Fay sudah kembali menemuiku di teras.

Bersama seseorang.

"Jangan pulang malam-malam ya!"

Busyet,

Papa-nya yang bertubuh gempal dan berkumis seperti Pak Raden berkata pendek namun tegas, khas anggota militer.

"Siap Om, eh..iya Om" jawabku gugup.

Fay cuma nyengir tidak jelas.

Hujan deras yang turun tiba-tiba layaknya isi langit tertumpah ke bumi malam itu, membuat aku yang baru saja memasuki komplek perumahan Fay belingsatan mencari tempat berteduh.
Kukutuki keputusan sebelum berangkat ngapel tadi, tidak usah membawa jas hujan.
Jalan utama komplek sepi, mungkin karena hujan deras.
Dalam lebatnya hujan, kulihat rumah dua lantai bercat hijau di sebelah kiriku tidak berpintu pagar, berbeda dengan rumah lainnya. Kanopi berwarna gelap menutupi sebidang Car Port rumah itu. Sinar lampu menerangi teras dan car port.
Aku putuskan berhenti berteduh sebentar di rumah itu, menyetandar motor dan berdiri di ujung depan Car Port menanti hujan reda.
Lima menit lebih aku berdiri menunggu hujan yang bukannya reda malah semakin deras, ditambah angin.
Hembusannya membuatku mundur dari ujung Car Port menghindari percikan air yang dibawanya.
Saat berbalik, nampak di kaca jendela depan rumah, dua orang anak lelaki berdiri di dalam memandang keluar kearahku.
Mereka tersenyum dan melambai, memberikan isyarat agar aku mendekat.
Mungkin mereka menawarkan agar aku menunggu di teras.
Aku balas tersenyum dan melambai memberi isyarat tidak.
Begitu hujan reda beberapa saat kemudian, aku bergegas kembali ke motor dan meluncur ke rumah Fay.
Kedua bocah tadi sudah tak terlihat di kaca.

Lho...
Aku tak menemukan rumah tempat aku berteduh tadi.
"Kenapa Mas? Kok pelan?"
Fay mengendurkan pelukannya di boncengan motorku.
Aku ingat benar posisi rumah tadi.
Persis di sudut atau "hook" blok dekat gerbang komplek.
Kuhentikan laju motorku.

"Ayo Mas, jalan lagi. Serem tau deket rumah itu" rengeknya.
"Serem? Kenapa?"
"Rumah di pojok itu horor katanya, Mas. Udah berapa kali ganti orang tapi ngga ada yang betah. Tuh liat, udah kosong berapa lama, kotor gitu"

Aku menatap nanar ke rumah yang disebutkan Fay.
Rumah kosong dengan keadaan tidak terawat, terasnya berantakan dengan plafon berlubang sana sini. Halamannya dipenuhi rumput tinggi, sementara lapisan tanah basah menutupi Car Port.

Persis tempat aku tadi berteduh.

MY HORROR STORIESWhere stories live. Discover now