Bersekutu

1.9K 129 3
                                    

Hidup memang tidak ada yang bisa menebaknya. Dulu, aku bersikeras menolak keberadaan Faeyza. Tapi sekarang, entah kenapa aku malah nyaman dengannya. Memang hubunganku dan dia tidak terlalu dekat atau belum terlalu dekat. Tapi sesekali dengan tidak sengaja kami berjumpa dan mengobrol ringan. Sejauh ini, kami bertemu hanya di kantin fakultas dan berpisah jika aku masuk kuliah atau dia harus pulang. Sampai saat itu, hanya sebatas itu hubungan kami. Sedikit baik dari dulu. Aku betul-betul mengikuti alur takdir tanpa memaksa diriku lagi mencari kilasan antara diriku dan Faeyza.

“Lo kelihatannya sekarang sedikit akrab sama Kak Faey. Dulu aja menjauh sampai lo marah banget sama doi. Betulan jodoh, ya?”
Pertanyaan Maudy yang tiba dengan dua mangkuk bakso menyadarkanku dari lamunan. Aku memelototi dirinya yang hanya memberiku cengengesannya. Aku menghela napas saat mengingat kembali apa yang dikatakan Maudy. Apakah benar bahwa kami berjodoh? Tapi, kenapa tidak ada perkembangannya sama sekali?

“Entahlah, Dy. Gue tidak mengerti apakah kami betulan jodoh atau tidak. Tapi sejauh ini, gue tidak bisa melihat masa depannya sedikit pun. Gue hanya bisa melihat masa lalunya saja. Ah, gue bisa gila kaya gini terus, Dy!”

“Mama lo gimana? Sudah baikan?”

Aku menggelengkan kepalaku lemah. “Belum. Mama dan Papa tunggu aku siap ujian baru kami akan berangkat ke Singapura,” jelasku tentang perencanaan Papa untuk mengobati Mama di Singapura. Mereka menundanya karena tidak mau jauh dariku sedetik pun.

“Gue ikut ya nanti.”

Aku melirik Maudy yang menatapku dengan tatapan yang sangat memohon.

“Mau liburan?”

Ia menggelengkan kepalanya dengan cepat. Lalu, di hujung gelengannya ia mulai mengeluarkan cengengesannya. “Kalau sempat, sekalian.”

Aku mendengus pelan dan menatapnya dengan senyuman yang sebal akan pikirannya. “Oke! Tapi gue nggak akan temanin lo jalan-jalan sebelum semua pengobatan Mama selesai.”

“Siap, Bos!”

※※※

Sudah menjadi kebiasaanku untuk beberapa minggu ini mampir ke rumah sakit ini. Tidak setiap hari, hanya di saat Mama dirawat saja. Hari ini, Mama akan dikemoterapi yang kesekian kalinya. Aku tidak tahu ini yang keberapa karena saat itu aku tidak mendampingi Mama dengan alasan aku masih sangat kecewa padanya dan juga Papa. Tapi sejak hari dimana aku menyadarkan poros takdir Mama berada di poros takdirku, aku mulai melunak dan sering menemani Mama dalam pengobatannya dan membiarkan Papa menyelesaikan tanggungjawabnya di penerbit.

Kulangkahkan kaki memasuki kamar khusus untuk keluarga kami. Aku tersenyum saat kulihat siapa yang sedang bersama Mama. Beberapa hari yang lalu kami tidak ketemu. Saat diberi kesempatan untuk bertemu, aku mulai ikut alur. Segala yang kulakukan, harus kupikirkan matang-matang agar aku mencapai puncak yang kuharapkan. Yang jelas puncak itu adalah keberhasilan yang baik, bukan yang buruk.

“Hai, Kak!” sapaku yang melangkah mendekat pada dua orang yang sedang berada di sini. Aku mencium kening dan pipi Mama lalu memberi senyum pada orang itu yang duduk di kursi dekat bangsal Mama.

“Hai, Ze!”

“Sudah lama? Kok ke sini enggak bilang-bilang?”

“Loh, Ze! Dia memang lagi KOAS di sini!”

Aku memicingkan mata kepada Mama dan pria ini. Mulai aku menduga-duga dan dugaanku salah saat kuketahui kejujurannya. “Ah! Aku terlalu cepat berburuk sangka. Aku pikir, Mama yang menarik Kakak untuk KOAS di sini,” ujarku dengan desahan kecewa atas tebakanku yang salah. Kudengar Faeyza terkekeh sambil berdiri dan membiarkan aku duduk di tempat yang tadi didudukinya.

Zenia [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang