Anjrit pake salah ngomong segala nih mulut. Bisa ngira yang enggak-enggak nih si pea di depan, batin Olive. 

Lantas cewek di hadapannya itu menarik salah satu sudut bibirnya, membuat senyuman jahil. “You have a feeling towards him, don’t you?”

Skak-mat.

**

Di sisi lain, Aldo sedang berbaring diatas ranjang kamarnya sembari menatap langit-langit yang di cat dengan warna biru muda seperti dindingnya. Memikirkan tindakan bodoh yang baru saja dilakukannya tadi sore. Dan sekali lagi, ia bertanya pada dirinya sendiri; untuk apa memberi tahu informasi yang jelas-jelas tidak akan ada benefitnya untuk Olive? Memangnya cewek itu akan peduli dengan urusannya?

Sebenernya gue kesambet apaan sih, batin Aldo. Sampe gak mau banget Olive nyangka kalo Katya pacar gue.

Berjam-jam Aldo memikirkan hal itu ternyata sia-sia. Ia tak menemukan jawabannya. Rupanya apa yang dirasakan cowok itu saat ini sudah melampaui akal sehat yang dimilikinya. Tetapi yang jelas, pikirannya tiba-tiba melayang pada kejadian tempo hari dimana ia nekat untuk menjenguk Olivia di rumah sakit sehari setelah insiden ambruknya cewek itu di lab biologi.

Iapun tersenyum kecil. Saat itu entah bagaimana Olive yang biasanya jarang tersenyum—kecuali saat ia bersama Rara—malah tersenyum lebar, terlihat sangat ceria begitu Aldo datang membawakannya DVD.

Tetapi seketika lamunannya hancur begitu seseorang menegetuk pintu kamarnya. “Sayang, makan malemnya udah siap. Friska udah nunggu di bawah.” Ujar Rossie di depan pintu kamar bungsunya itu tanpa niat membukanya.

Aldo mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum menyahut panggilan ibunya. “Iya ma, Aldo ke bawah.”

Mikirin apa sih lo, jrot. Sejak kapan lo suka sama Olive. Lucu. Batin Aldo yang selanjutnya berjalan keluar kamar dan menuju lantai bawah untuk makan malam.

**

Hari ini hari sabtu. Hari dimana Aldo bisa berpacaran dengan kasur dari pagi hingga malam. Dan hanya keluar kamar ketika lapar. Ia akan menghabiskan waktunya di kamar untuk sekedar menonton film ataupun bermain game. Baik itu game online, PS3, ataupun WII.

Waktu menunjukan pukul setengah empat sore. Dan hingga saat ini ia sama sekali belum mandi. Salah satu kebiasaannya ketika libur; mandi satu kali sehari. Jorok memang, tapi ia tetap bersikukuh bahwa itu hal yang wajar dengan alasan seharian itu dirinya hanya menghabiskan waktu di kamar dan sama sekali tidak mengeluarkan keringat. Jadi untuk apa mandi 2 kali?

“Do, udah mandi belom? Mandi dulu sana, bau masa dari pagi belum mandi.” Rossie memunculkan kepalanya ke dalam kamar Aldo dan selanjutnya menggeleng-gelengkan kepalanya. Seperti biasa, pemandangan kamar anak lelaki satu-satunya itu seperti habis ada kerusuhan. Belum lagi sampah kacang kulit bertebaran dimana-mana—satu lagi kebiasaan Aldo, menghabiskan berbungkus-bungkus kacang kulit sambil bermain game.

Yang diomeli hanya nyengir tiga jari sambil mem-pause game Need For Speed di PS3-nya. “Bentar, deh, ma. Tanggung hehe.”

“Habis ini mama mau ke rumah temen, ka—“ sebelum Rossie menyelesaikan kalimatnya, Aldo buru-buru memotong.

“Aldo lagi yang anterin?” ia mendengus pasrah.

Rossie berdecak. “Gamau banget dapet pahala. Tapi kayaknya keberuntungan lagi mihak ke kamu, ada Friska yang nganter mama.”

Lantas cowok itu kembali nyengir. “Yes!”

Wanita setengah baya itu menutup kamar anaknya sebelum kembali mengingatkan Aldo untuk segera mandi. Dan akhirnya Aldo berjalan gontai menuju kamar mandi.

Aldolivia [ DISCONTINUED ]Where stories live. Discover now