Lima

20.4K 1.1K 47
                                    

#Wish9: Mengetahui alasan dibalik alasan (Aldo)

#Wish10: Mengetahui alasan dibalik senyuman (Olivia)

**

Tanpa dirinya sadari, ternyata sedari tadi ada seorang perempuan yang memperhatikannya dari jauh. Perempuan itu memang duduk di meja yang terletak di pojok Starbucks.

Olive diam-diam mengerutkan keningnya, baru sekali ini ia melihat Aldo tersenyum seceria sealami itu. Biasanya, wajah Aldo terkesan datar dan jarang memberikan ekspresi. Tetapi kali ini ia melihat cowok itu tersenyum lebar sambil berbicara dengan seseorang lewat telepon genggamnya. Bahkan sesekali ia tertawa.

Lantas Olive penasaran, siapa yang bisa membuatnya terlihat sebahagia itu? Apa mungkin Aldo sudah mempunyai seorang pacar? Ah elah, bukan urusan gue juga, batin Olive kemudian.

Ia melirik sebuah jam yang melingkar di tangannya, sudah jam tiga sore. Ia buru-buru menghabiskan minumannya dan beranjak dari kursi yang tadi ia duduki. Tidak enak juga jika pulang terlalu sore disaat ayahnya baru pulang dinas dari luar kota.

**

“Alex?” tanya Katya.

Lagi-lagi Aldo mengangguk, “hmm-mm”

Katya tersenyum kecut, “gatau deh, udah ke laut dia mah”

Aldo menautkan alisnya, “maksudnya?”

Selanjutnya Katya malah tertawa ngakak, “Dia udah pacaran, lagi, sama anak cheers. Lagian aku udah gak ngeceng lagi, ah”

Mau tidak mau Aldo ikut tersenyum. Bukan karena ada kesempatan untuknya, melainkan ia kira alex menyakiti Katya, ternyata itu jauh dari dugaannya. Dan ia berani bersumpah jika cowok itu berani membuat Katya menangis ia tidak segan untuk menghabisinya.

“terus sekarang ngeceng siapa, dong?”  

“apaan sih, fokus belajar ah,”

“alah, alesan”

Katya terkekeh kecil, “udah ya Bang, dipanggil mama nih disuruh ke bawah”

“oke, salam buat Tante Vita ya, Kat” selanjutnya Aldo mengakhiri panggilannya.

Aldo menghembuskan nafas panjang. Mau bagaimana pun juga, hingga kini hatinya masih menyimpan ruang untuk sepupunya itu. Iapun juga tidak tahu sejak kapan perasaan itu muncul. Yang jelas, ia harus segera menghapus perasaan itu secepatnya. Secepatnya. Jika ia tidak mau tersiksa lebih lama lagi.

 **

"Hai, pa" sapa Olive begitu ia memasuki rumah dan menghampiri meja makan. Disana tengah duduk mama dan papanya yang sedang berbincang-bincang. Sementara adiknya mungkin sedang ada di kamarnya.

"Wey anak papa udah pulang," Bayu, papa Olive, menepuk pundak anaknya dan mengisyaratkan untuk duduk di kursi kosong sebelahnya. "Dari mana kamu?"

Olive tampak menimbang-nimbang untuk menjawabnya. Masalahnya, ia ragu akan respon yang akan diberikan ayahnya jika ia tahu tentang ini. Tetapi hubungan batin orang tua dan anak memang tidak bisa diragukan lagi, jika dirinya berbohong, masalahnya akan menjadi lebih panjang. "Habis latihan basket, pa" jawab Olive akhirnya dengan kepala yang menatap kakinya yang masih berbalutkan kaus kaki.

Bayu menautkan alisnya, "kamu ikutan basket lagi?" Olive mangangguk. Tetapi masih enggan menatap sepasang bola mata coklat yang dimiliki ayahnya yang tentu diturunkan padanya. Sementara itu Rista masih duduk di kursi meja makan menyimak percakapan suami dan anaknya. 
"Bukannya apa-apa, tapi papa masih khawatir sama kesehatan kamu, Liv". Bayu menatap lekat anak sulungnya itu. Olive mengeleng, "akhir-akhir ini Olive rasa kesehatan Olive membaik, kok, pa".

Lantas Bayu bertanya, "Kenapa kamu bisa seyakin itu?"

"Olive gak pernah drop lagi,"

"Tapi masih suka check-up ke dokter Ridwan, kan? Minggu kemarin check-up ngga?"

"Check-up kok, ya kan, ma?" Kini Olive melirik Rista. Ibunya itu mengangguk.

"Ridwan juga bilang kalo sekarang Olive sudah mulai membaik. Boleh main basket lagi," kini Rista yang mengeluarkan suara.

Bayu akhirnya tersenyum dan terkekeh kecil, “Oke deh, gak bisa jauh dari basket ya”

**

“Olivia! Dipanggil Coach Mugy, tuh!” panggil salah satu anak sekelasnya yang berdiri di ambang pintu.

Hari ini hari senin, semuanya berjalan seperti biasa. Dan sekarang sudah memasuki waktu istirahat tetapi Olive masih belum selesai menyalin catatan sejarah yang ada di papan tulisnya. Mendengar ada yang memanggilnya, ia langsung mendongak dan menyahut. “Dimana? Bentar-bentar ini tanggung”

“di ruang ekskul,” katanya. Anak itu segera berlalu meninggalkan kelas 2 IPA-2. Setelah selesai mencatat, ia buru-buru menutup bukunya dan berjalan menuju ruang ekskul. Untungnya kemarin-kemarin Rara sudah mengajaknya keliling JB untuk mengetahui letak beberapa ruangan penting.

Sesampainya di depan ruang ekskul, ia mengetuk pintu dan memunculkan kepalanya. “saya dipanggil, Coach?”. Laki-laki yang kelihatannya hanya berbeda beberapa tahun dari Olive itu mendongakkan wajahnya lalu mengangguk. Selanjutnya Olive di kursi depan meja palatih basket JB itu.

“jadi, ada apa?” tanyanya langsung. Senyum Coach Mugy mengembang, “jadi kamu pengganti kapten basket-nya?”. Memang, sebelumnya ia belum pernah melihat Coach Mugy karena katanya minggu kemarin beliau sedang ke luar kota. Maka dari itu urusan serah-terima jabatan sebagai Kepten Basket diurus sepenuhnya oleh Aldo dan Diva.

Olive mengangguk, “Iya, Coach ini pelatih basket JB kan? Aku di kasih tahu sama Diva”. Coach Mugy terkekeh sebentar lalu menjawab, “iya,” jedanya.  “jadi tujuan saya memanggil kamu kesini mau ngasih tau kalau lati—“ omongan Coach Mugy terpotong saat mendengar ketukan pintu. Beberapa detik kemudian muncul Aldo dan berjalan kearah mereka. “Do, kemana aja? Dipanggil kapan datengnya kapan,” tanya Coach Mugy.

Aldo nyengir sebentar, “Kantin dulu, laper belom sarapan”. Lalu ia duduk di kursi kosong sebelah Olive. “ada apa, coach?”

“nah, untung udah ada Aldo, jadi saya gak usah dua kali ngomongnya. Seperti yang kalian tahu kalau dua bulan kurang kedepan akan ada turnamen basket paling bergengsi di Jakarta. Jadi saya pengen kalo latihan basket diadain 3 minggu sekali. Yatu hari Sanin, Kamis, Sabtu. Bisa kan?” jelas Coach Mugy.

Mereka berdua hanya manggut-manggut sampai akhirnya Olive mengangkat tangan dengan ragu. “Maaf coach, tapi kayaknya aku gak bisa deh kalo 3 kali seminggu”. Dua cowok di sebelah dan depannya itu refleks menautkan alisnya. “kenapa?” tanya pelatih mereka.

“hm,” Olive menggaruk tengkuk-nya yang tidak gatal. “Anu, ada les. Iya, ada les”

“oh, ada les? Emang gak bisa diganti hari? Lagian ini cuma berlaku buat 6 minggu kedepan, kan”

“eh, gak bisa, Coach”

“aduh, usahain dong Liv. Saya gak mau JB yang notabene pemenang selama lima kali berturut-turut nantinya kalah di tahun ini. Maka dari itu saya mengusahakan yang terbaik untuk turnamen ini”

“Lagian les apaan, sih?” Aldo memngeluakan suara. “bukan urusan lo, deh” jawab Olive dingin.

“Ya udah deh, Coach. Saya usahain” Olive akhirnya mengangguk.

Aneh, batin Aldo. Kayaknya ada sesuatu yang disembunyiin. Masa iya sih dia gak mau latihan gara-gara ada gue? Ngaco ah lo, Do.

Kamis, 15 Mei 2014

Haaaiii! Beribu maaf karena gue gak update selama kurang lebih dua minggu. Gue emang selalu stuck di chapter-chapter menuju konflik. Like, Always. Gue juga gak ngerti. Padahal gue udah free dari beban selama ini (re: UN) tapi malah begini. Maaf juga kalo ini pendek. Pengennya sih update setiap hari, tapi sekolah gue dengan kampret-nya tetep ngabsen kehadiran siswa jadi harus wajib kudu ke sekolah buat ngurusin acara akhir tahun. Semacam KKN gitu, pengabdian ke desa. Gitu deh pokoknya. Mohon maklum:( ini bacot, so, bye! Btw itu nama coach-nya gue ambil dari nama coach basket sekolah gue HAHA. Gaada ide lagi abisnya. Walaupun gue bukan anak basket.

P.S: Cast-nya Aldo di multimedia. Yesh, Troy Bolton a.k.a Zac Efron si ganteng<3

Aldolivia [ DISCONTINUED ]Where stories live. Discover now