"Saya lebih iri lagi sama Pak Sigit," balas Ayah. Kepalanya menoleh, lalu menunjuk seorang anak laki-laki yang sedang asyik minum susu. "Tuh, Pak Sigit sudah punya cucu. Saya?"

Lalu, kedua pria lanjut usia itu tertawa bersama. Tidak menyadari bibirku yang tertarik menjadi satu garis lurus. Mereka berbincang sesaat, kemudian Pak Sigit pun kembali untuk melayani pelanggan lain dan Ayah akhirnya menatapku. Aku mempersiapkan diri untuk pertanyaan yang kutahu akan datang.

"Kapan kamu mau kasih Ayah cucu?"

Nah, benar, kan? Ayah menyuarakan pertanyaan itu lagi. Namun kini, untuk menjawab pertanyaan itu aku tidak perlu mengeluarkan pembelaan bahwa usiaku belum genap tiga puluh tahun ataupun pria yang tepat akan datang pada waktunya.

"Juan ngelamar aku semalam, Yah," jawabku dengan wajah dihiasi senyum.

Senyap. Ayah tidak merespons. Matanya lekat menatap wajahku.

Aku mengerjap, tidak mengerti dengan reaksinya. "Ayah?" panggilku.

"Juan melamar kamu?" tanyanya.

Kepalaku mengangguk pelan.

"Kamu terima?" Lagi, Ayah bertanya. Ekspresinya masih tidak terbaca, namun aku tidak naif hingga mengira Ayah bahagia. Dia jelas-jelas tidak terlalu bersemangat mendengar berita yang baru kuberikan.

"Ya," jawabku.

"Kenapa?" kejar Ayah.

Kali ini aku benar-benar bingung. Kuletakkan sendok. Selera makanku terbang entah ke mana.

"Karena Juan pacarku," balasku. Sialnya, kalimat itu justru terdengar seperti pertanyaan karena suaraku yang goyah.

Ayah pun meletakkan sendoknya, lalu berkata, "Kamu jawab atau balik bertanya sama Ayah?"

Keningku berkerut. "Aku nggak ngerti. Bukannya selama ini Ayah selalu nanya kapan aku nikah? Kapan aku bisa ngasih Ayah cucu? Sekarang aku jawab pertanyaan Ayah. Juan ngelamar aku dan aku nerima dia. Kita akan nikah akhir tahun ini."

"Apa?" Mata Ayah terbelalak, membuat kedua alisnya sontak terangkat. "Tahun ini? Astaga, Lyrra. Kamu masih punya orang tua. Kenapa kamu memutuskan semuanya sendiri?"

Aku mendesah.

"Ayah, aku bukan mutusin semuanya sendiri. Aku dan Juan berencana kasih tahu Ayah nanti, sekaligus minta izin. Aku tahu Ayah nggak suka acara yang terlalu besar dan sebagainya buat sekadar acara lamaran. Ayah sendiri yang dulu bilang, kan? Cukup bawa calon suamiku dan minta restu. Tapi, karena Ayah nyinggung soal pernikahan tadi, aku akhirnya kasih tahu Ayah lebih dulu," jawabku.

"Ayah nggak nyinggung soal pernikahan," kilah Ayah lugas. "Ayah nanya kapan kamu bisa kasih Ayah cucu."

Kutarik napas dalam-dalam. Berhadapan dengan pria berusia 59 tahun di hadapanku itu terkadang membutuhkan kesabaran ekstra.

"Terus, Ayah mau gimana? Sebelum bisa ngasih Ayah cucu aku harus nikah dulu, kan?" balasku.

Ayah menghela napas. Mengetahui kebenaran ucapanku namun tidak mau mengakuinya.

"Sekarang biar Ayah tanya satu hal," ucap Ayah dengan raut wajah lebih serius. "Kenapa kamu terima lamarannya?"

"Tadi kan aku sudah bilang—"

"Bukan itu," sela Ayah tegas. "Pernikahan bukan hal main-main. Kasih jawaban yang jelas, Lyrra."

Aku ternganga. "Ayah serius? Kita mau ngomongin soal ini di warung tenda Pak Sigit?"

As Always, I Love... (Eternity #2)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum