Bulan Separuh

917 4 0
                                    

Aku masih memandangi bulan separuh di angkasa sana. Anak-anakku sedang berlarian di halaman. Mereka sedang senang-senangnya di rumah baru kami. Kami baru pindah 2 hari yang lalu. Pindah bersama kenangan yang mengakar dalam sanubari. Istriku sedang menyulam di sebelahku sambil memperhatikan anak-anak yang berlarian di halaman, sambil sesekali mengingatkan anak-anak.
Langit malam ini berawan, tetapi tidak membuat kelam. Mungkin hanya hatiku saja yang selalu tiba-tiba menjadi kelam saat bulan separuh datang. Bulan separuh kali ini masih bulan yang sama sejak aku mulai suka memandangnya. Ada kedamaian saat memandangnya. Aku tidak suka bulan purnama, bulan sabit. Aku hanya suka bulan separuh. Karena persis kehidupabku. Separuh gelap dan separuh bercahaya.
Bulan separuh adalah sahabat pertamaku.  Ia yang setia mendengar keluh kesahku setiap malam. Saat aku masih hidup di jalanan. Dengan wajah lebam karena dipukuli preman yang 2x lebih besar dari tubuhku yang kecil dan kurus. Hasil mengamen seharian di rampas begitu saja. Aku sudah tahu, sangat tidak mungkin untuk melawan tetapi aku belum makan sejak kemarin. Jadi aku mati-matian mempertahankan uang recehan itu. Balasannya, aku terkapar. Hidungku berdarah, bibirku membengkak dan pipiku lebam. Aku menangis di bawah pohon akasia sambil memandang bulan separuh malam itu. Aku berteriak, aku marah. Mengapa Tuhan begitu kejamnya kepadaku. Mengapa pula Bapak dan Ibu tega membuangku?. Bulan separuhlah yang mau mendengar semuanya. Setiap ia datang, aku bercerita tentang semua hingga saat ini. Rahasia antara aku dan bulan separuh.
“ Memikirkan apa Pa? “ tanya istriku.
“ Anak-anak sudah semakin besar, tidak terasa  ya Ma. Terimakasih karena mencintaiku “
Istriku tersenyum dan mengangguk.
***
Perkenalkan namaku Buto, semua teman-temanku memanggilku seperti itu di Panti dan di jalanan. Malam-malamku di Panti yang sunyi, hampa, dan kadang menyiksa tidak akan lagi kujalani sejak hari itu karena seorang wanita berwajah manis, ramah dan meneduhkan telah mengadopsiku menjadi anaknya. Dan sejak saat itu pula, aku berjanji pada diriku. Aku akan terus menyayangi dan menjaga perempuan ini yang kemudian aku panggil Bunda. Tidak tahu mengapa Bunda memilihku, sedangkan banyak teman-temanku yang lebih bersih, manis. Saat itu, aku sedang sakit mata, pilek dan di beberapa bagian pipiku ada noda kerak dari kotoran hidungku. Tapi Bunda mengelusku begitu lembut, dia menatap jauh ke dalam mataku. Matanya yang berwarna coklat sunguh-sungguh membuatku merasa nyaman. Inkah yang namanya Ibu?.
Sepanjang perjalanan ke rumahnya, aku diam saja. Mengintip jalanan yang beberapa bulan yang lalu menjadi rumahku sebelum aku berada di Panti itu. Bunda yang mengemudikan mobil sesekali menoleh ke belakang ke tempatku.  Ia tersenyum, aku membalasnya canggung.
“ Buto sayang, mulai hari ini namamu menjadi Randi Mahajaya. Di rumah, sudah menunggu adikmu yang bernama Rindi Mahajaya. Semoga kalian menjadi saudara yang baik dan semoga berjodoh ya “ Bunda berbicara penuh kasih sayang.
Aku diam saja, belum mengerti ke arah mana pembicaraan itu. Yang aku tahu, aku punya adik yang bernama Rindi. Sesampainya di rumah, aku langsung dimandikan, dibersihkan dari segala kotoran. Rambutku dirapihkan. Kukuku dipotong, telingaku dibersihkan. Aku sangat senang, Bunda begitu halus membersihkanku. Setelah itu, aku menyantap makanan yang sudah disiapkan bunda. Ikan goreng yang sangat lezat, belum pernah aku menyantap ikan goreng selezat ini. Saat aku sedang menyantap makanan..
“ Eh, Rindi. Sini nak. Ini Abang Randi. Baik-baiklah kalian. Bunda tidak ingin kalian bertengkar. Jadilah anak Bunda yang manis ya “
Ragu Rindi mengulurkan tangannya, aku menerimanya. Aku tersenyum tetapi ia hanya menatapku sinis. 
Hanya berselang satu minggu, perang dinginku dengan Rindi berakhir. Aku masih ingat pagi yang dingin itu. Aku masih meringkuk di kasurku. Aku mengerjap-erjap, ada sesuatu yang terasa geli di kakiku. Aku bangun dan duduk di kasurku saat geli itu semakin kuat. Ku lihat Rindi tersenyum begitu manisnya di dekat kakiku.
“ Bang, ayo bangun. Mb Siti sudah masak ikan goreng kesukaan Abang. Aku malas makan sendiri. Ayo kita sarapan bareng “ Rindi begitu antusias.
Aku yang masih mengantuk, berusaha mengumpulkan kesadaran dan meyakinkan bahwa ini bukan mimpi.
“ Ayo Bang, kok malah bengong sih “ dia mencubit kakiku. Aku meringis menahan sakit. Belum sempat aku menjawab, ia menarik tanganku kuat sekali. Ia menggenggam tanganku menuju meja makan.
“ Rindi, Abang mandi dulu “
“ Rindi sudah lapar Bang. Tenang saja, hanya aku sama Mb Siti yang tahu kalau Abang belum mandi sekarang “ Ia tertawa terkikik. Aku cemberut di seberangnya.
Ia sudah memulai sarapan, aku hanya memperhatikannya. Kubiarkan ia menikmati sarapan dengan lahap. Aku yang masih mengantuk, duduk bertopang dagu. Sesekali aku tersenyum.
Kami besar bersama dengan limpahan kasih sayang Bunda. Rindi tumbuh menjadi gadis yang cantik, periang dan lucu. Aku menjadi lelaki pendiam. Nakal dan keisenganku bertumbuh saat bersama Rindi. Jika tidka ada dia, aku menjadi anak manis yang tidak banyak bicara. Pernah suatu hari, saat kami masih duduk di bangku SD. Bunda pulang dari bekerja, bertanya kepadaku dimana Rindi. Aku menjawab sepertinya di kamar karena tadi dari bermain boneka, ia di kamar. Tetapi setelah dicari-cari, Rindi tidak juga diketemukan. Mb Siti yang sedang tidur siangpun dibangunkan. Jadilah kami mencari kemana-mana.
“ Sepertinya dia main keluar rumah. Main ke lapangan “ kata Bunda.
“ Randi ikut Bunda “ kataku mengikuti lagkah Bunda ke depan.
“ Kamu di rumah saja, siapa tahu Rindi pulang duluan sebelum Bunda “
Akhirnya Bunda pergi sendiri mencari Rindi. 15 menit kemudian, Bunda pulang dengan peluh bercucuran tanpa Rindi di sampingnya. Bunda cemas, jangan-jangan Rindi diculik katanya. Aku mencari lagi sekeliling rumah.
“ Tadi, dia main saja di samping dekat garasi Bu. Setahuku, gerbang aku kunci dan kuncinya aku bawa masuk ke kamar sampai Ibu pulang jadi tidak mungkin ia keluar apalagi diculik “ Kata Mb Siti.
“ Lalu, dia dimana Siti? “ kata Bunda begitu khawatir.
Aku berlari ke arah Garasi. Bukankah ada lorong di sebelah garasi yang muat dilalui oleh Bunda. Tempat Bunda menyimpan guci-guci dan peralatan yang sudah tidak di pakai.
“ Rindi, rindi.. kamu di situ? “ kataku pelan.
Lorong ini terang tetapi harus hati-hati. Aku terus memanggil Rindi sepelan mungkin. Aku sudah hampir diujung lorong, secara tiba-tiba sebuah kepala muncu perlahan dari dalam guci. Aku menjerit ketakutan. Terpejam sebegitu hebatnya.
“ Ada apa Randi? “ tanya Bunda memelukku. Aku langsung memeluk Bunda dan menunjuk ke arah guci di ujung lorong.
“ Itu Rindi Bu!! “ Mb Siti sedikit berteriak dan segera menuju ujung lorong.
Aku memberanikan diri membuka mata dan melihat ke ujung lorong. Mb Siti sedang membantu Rindi keluar dari guci yang berukuran besar.
Setelah kejadian Rindi tidur di dalam guci. lorong itu dibuatkan semacam teralis dan di gembok. Bunda tidak ingin mengambil resiko dengan itu. Bagaimana bila Rindi tertidur di situ dan guci tersebut pecah.
Rindi pernah suatu ketika memberitahu alasannya tidur di dalam guci itu. Kata dia, dia ingin mencari inspirasi untuk tugas mengarangnya tetapi justru tertidur. Aku tertawa terbahak-bahak dan dia marah 3 hari kepadaku. Ia menegurku saat kubelikan es krim jumbo untuknya setelah pulang sekolah.
     ***
Setelah sama-sama dewasa. Aku mulai mencintai Rindi. Aku menunjukkan cintaku dengan menjaganya. Mengantarnya kemanapun, menemaninya belajar dan segalanya kulakukan untuknya. Bunda senang melihat kebersamaan kami. 15 tahun tumbuh bersama dengan limpahan kasih sayang, kami saling menyayangi. Aku menyayanginya lebih dari seorang adik. Aku mencintainya. Tidak ada perempuan lain yang aku tatap selain Rindi. Aku mencintainya. Hingga hal buruk itu terjadi. Rindi mencintai lelaki lain. Seorang lelaki yang sangat tidak pantas menjadi pacar Rindi apalagi suaminya. Betapa murkanya Bunda mengetahui hal itu.
“ Rindi, Bunda tidak suka dengannya. Tidak memiliki masa depan. Kerjanya hanya duduk-duduk di ujung gang bersama teman-temannya “ kata Bunda saat makan malam.
“ Dia anak baik Bunda “ kata Rindi.
“ Baik darimana. Bunda saja pernah dimintai uang saat lewat di depan mereka dan meminta makanan yang Bunda beli “
Bunda terus menunjukkan sikap  ketidaksetujuannya sedangkan Rindi mati-matian membela Aldi. Makan malam yang sangat tidak mengasyikkan. Aku diam saja menyaksikan 2 orang wanita yang kusayangi berbeda pendapat. Akhirnya Bunda menyudahi makan malam dengan masuk ke kamarnya. Rindi ke teras belakang.
Setelah tenang, aku mendekati Rindi dan duduk di sebelahnya. Diam saja sampai menunggu dia memulai pembicaraan.
“ Bang, Aldi itu baik. Aldi itu melindungi Rindi “ tatapannya jauh.
“ Abang tidak tahu tetapi abang memang pernah dimintai uang saat melewati tempat mereka biasa nongkrong bahkan sempat diancam dengan pisau di leher “
“ Aldi sudah berubah Bang “
“ Rindi, bila abang menjadi kamu. Abang akan menuruti kemauan Bunda karena Bunda yang telah menyelamatkan abang dari kehidupan jalanan dan dari Panti kelam itu. Bukankah kita diselamatkan oleh tangan lembut Bunda. Bunda menyayangi kita seperti darah dagingnya sendiri. Tidak pernah kita kekurangan. Bunda selalu memperhatikan kita, tidak pernah membiarkan kita kelaparan “ aku berbicara pelan agar Rindi tidak tersinggung.
“ Rindi mencintai Aldi Bang “ katanya.
“ Terserah padamu Rindi. Kamu sudah dewasa. Kamu sudah bisa memilih mana yang terbaik bagimu tetapi Abang mohon, tolong utamakan keluarga ini dan hati Bunda “ aku berdiri dan meninggalkan Rindi sendiri. Lampu kamar Bunda sudah mati, mungkin sudah tidur atau hanya berdiam diri dalam gelap.
***
Rindi semakin dekat dengan Aldi dan sudah berkali-kali pula Aldi diusir oleh Bunda saat bertandang ke rumah. Tetapi cinta Rindi dan Aldi tidak goyah sedikitpun. Bunda murka dibuatnya tetapi hati Bunda tetap lembut kepada kami. Ia marah bila melihat Aldi hadir di antara kami. Yang lebih membuat Bunda meradang saat aku pulang dengan wajah lebam dipukuli Aldi. Aldi merasa aku menghasut Bunda agar tidka menyetujui hubungannya dengan Rindi.
“ Begini Rindi, lihat! Beginikah sikap lelaki yang kamu bela selama ini. Dia memukuli Abangmu hingga seperti ini “ Bunda berteriak geram. Rindi menangis di sebelahku. Aku merangkul bahunya sambil menahan perih dari luka yang sedang dibersihkan Bunda.
“ Rindi tidak salah Bunda “ kataku.
“ Mulai sekarang kamu di rumah saja. Setelah kuliah, diam di rumah. Bila Bunda tahu kamu masih menemui Aldi. Lihat saja. “
***
Sudah 2 minggu Bunda ke luar kota. Katanya ada keperluan keluarga. Semenjak kepergian Bunda. Rindi semakin hilang kendali. Ia sering pulang malam. Aku menunggu cemas di teras depan, menunggu ia pulang. Setelah ia pulang. Aku baru tidur. Aku tidak memarahinya. Meski hatiku terluka juga melihatnya dengan Aldi. Semuanya aku pendam. Dan tidak akan kuberitahu betapa aku mencintainya sejak kami masih kecil dulu.
Pagi hari, aku sudah bangun dan menyiram bunga di halaman. Mb Siti sedang masak di dapur.
“ Mau kemana Rindi? “ teriakku saat kulihat Rindi berlari ke arah gerbang.
Ia tidak menjawab, hanya melambaikan tangan. Dilihat dari pakainannya, dia akan lari pagi jadi kubiarkan saja. Sampai pukul 7, Rindi tidak kembali juga. Aku sudah sarapan. Aku menungguinya di depan teras.
“ Mas Randi, tadi di jalanan depan kompleks ada kecelakaan. Seperti Rindi “ kata tetanggaku yang dari lari pagi juga.
“ Yang benar Pak? “ aku menuju gerbang.
“ Iya, persis Rindi. Katanya tewas di tempat “
Aku syok, aku segera mengeluarkan motor dan menuju lokasi tetapi semua sudah bersih. Memang ada tanda-tanda telah terjadi kecelakaan.
“ Pak, tadi ada kecelakaan? Korbannya siapa? “ tanyaku kepada pedagang kaki lima.
“ Ohya Mas. Seorang perempuan muda. Pakai training hitam kaos pink, rambutnya panjang tapi sudah dibawa sama yang nabrak. Sudah tewas Mas. Katanya mau di makamkan “
“ Ayo Mbak Siti, kita cari ke Rumah Sakit. Jika itu memang Rindi, kita harus menemukannya “
Mbak Siti berpegangan erat di pinggangku. Aku menahan tangis. Bagaimana memberitahu Bunda kejadian ini. 5 Rumah Sakit terdekat sudah kudatangi tetapi tidak kutemukan Rindi di sana. Yanglebih membuatku sakit hati, katanya tadi perepuan itu menyebrang karena ingin menemui seorang lelaki berambut gondrong di seberang. Tetapi setelah kejadian, lelaki itu menghilang. Dan aku yakin itu pasti Aldi.
Hingga sore, Rindi benar-benar tidak pulang dan tidak ada telepon masuk. Rindi tadi pergi memang tidak membawa identitas dan telepon genggamnya jadi sangat sulit bagi penabrak untuk mencari identitasnya. Aku sudah memberitahu Bunda dan ia sekarang sudah menuju ke sini. Bunda menjerit histeris saat kuceritakan kejadiannya. Aku juga sudah menghubungi polisi. Berharap mereka dapat menemukannya.
Aku bagaimana? Aku hancur. Antara sakit hati dan dendam serta sedih. Aku kehilangan Rindi, benar-benar kehilangan tanpa tahu kapan ia akan kembali. Aku kacau, aku berantakan. Aku pergi dari rumah. Mencari Rindi. Aku bersumpah, jika sekali saja aku bertemu Aldi, akan kuhabisi dia.
Rindi benar-benar meninggalkan kami. Bunda masih sedih atas kepergiannya. Bertambah sedih saat kami tidak mengetahui dimana kuburannya. Kami benar-benar kehilangan. Aku dan Bunda merawat luka kehilangan ini dengan cara kami masing-masing. Bagaimana rasanya, kehilangan orang yang kita cintai tanpa ia tahu semua itu. Bagaimana kita bisa menerima bahwa ia pergi karena cintanya. Bertahun-tahun aku merawat luka itu. Bunda masih sayang padaku tapi ia tidak bisa menyembunyikan ksedihannya. Kadang tanpa sengaja aku melihat Bunda menangis sambil memeluk fhoto Rindi. Meja makanpun tidak semarak lagi karena tidak ada celoteh cempreng Rindi di sebelah kanan Bunda. Rumah ini menjadi senyap.
Bunda mengetahui perasaanku terhadap Rindi sejak lama. Jadi Bundapun tahu, aku lebih merasa kehilangan.
“ Bunda rasa kita harus bangkit mulai sekarang. Kita anggap saja Rindi selalu ada di sini bersama kita dan berharap ia akan pulang “ Suatu sore di teras belakang.
“ Iya Bunda. Kita harus mengikhlaskan Rindi. Dengan mengikhlaskannya kita akan tenang “
Jauh di lubuk hatiku aku tidak akan begitu saja mengikhlaskannya. Sakit dalam hati ini sudah menjadi onak, akan trus menyakitiku secara perlahan. Sampai saat ini, aku belum pernah bertemu Aldi sekalipun. Itu membuatku semakin terluka. Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan malam-malam gelisah, segumpal rindu dan seonggok penyesalan. Hanya bulan separuh yang menemaniku, yang selalu sabar mendengarkan ceritaku sejak kecil dulu. Mengapa aku tidak bisa menghalangi cinta mereka. Cinta yang merenggut Rindi dariku. Aku tidak dapat tidur dengan nyenyak bermingu-minggu.  Dihantui rasa bersalah tidak dapat menjaganya.
7 tahun sejak kepergian Rindi. Bunda mengenalkanku kepada Tiara. Sikap Tiara yang lembut, mengayomi membuatku jatuh hati setelah kedekatan kami 6 bulan. Dia begitu sabar  dengan sikapku. Dia penyayang. Sikapnya membuatku nyaman di dekatnya. Perlahan ia dapat mengobati lukaku dari kehilangan yang membuatku terjerembab. Aku jatuh cinta untuk kedua kalinya meski cintaku kepada Rindi masih tersimpan. 5 bulan kemudian, kami menikah dan  tinggal bersama Bunda hingga anak ketiga kami lahir.
   ***
“ Pa, diminum tehnya “ jemari Tiara lembut menyentuh lenganku.
Aku tersadar. Sudah berapa lama aku melamun mengingat sebuah luka itu. Kepergian Rindi. Aku meraih cangkir tehku dan meneguknya.
“ Ingat Rindi ya ? “ tanya Tiara tanpa nada kecemburuan.
Aku mengangguk “ Hanya saat bulan separuh seperti ini, aku bisa mengingatnya Ma “
“ Iya, semoga Rindi bahagia di sisiNya “
Aku meraih jemari Tiara yang lembut, menggenggamnya.
“ Terimakasih karena mencintaiku Tiara. Aku berjanji akan menjagamu dan anak-anak dan tidak akan menyakiti hatimu dan mereka “
“ Aku tahu Randi. Kamu lelaki yang baik yang tidak akan menyakiti hati manapun “
Malam itu, bulan separuh terlihat begitu bercahaya. Bulan yang sama yang menemaniku 32 tahun ini.

Perempuan Berhati SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang