Inikah Namanya

704 8 0
                                    

Pernah merasa terluka karena sebuah cinta yang tak kunjung berbalas? Aku sering, bahkan terlalu sering. Mau tahu rasanya?. Aku sarankan jangan merasakannya. Rasanya terlalu sakit, bahkan lebih sakit daripada engkau menghujamkan belati ke perutmu sendiri dalam keadaan sadar dan secara sengaja. Sakit memang, tetapi rasa ingin memiliki yang lebih besar dari sakit itu menjadikan aku pribadi yang pantang menyerah. Aku akan menyerah bila aku telah melihat orang yang kucintai diam-diam bersama kekasihnya yaitu seorang lelaki yang menurutku lebih segalanya dariku.
Mungkin aku egois, mungkin juga aku terlalu percaya diri atau mungkin juga aku terlalu mencintai bila jatuh cinta. Semua itu wajar bagi seorang yang sedang jatuh cinta. Banyak hal konyol yang dilakukan seseorang yang jatuh cinta, begitu juga denganku. Pernah aku saat tengah malam datang ke kosnnya hanya untuk sekedar mengantar sate kambing setelah aku membaca status di Blackberry Messangernya. Dia begitu terkejut saat aku bilang aku di depan kosnnya.  Ekspresinya datar saat menerima bungkusan sate dari tanganku, sebuah senyum tetapi ia persembahkan saat mengucapkan terimakasih.
Tak terkira betapa senangnya hatiku mendapatkan senyum darinya, sepeda kukayuh terasa ringan meski harus mengayuh 3 km menuju kosanku. Tanjakan yang biasanya aku lewati dengan menuntun kereta anginku. Malam itu aku berhasil melewati tanpa turun dari sadel sepedaku. Alamak! Energi sebuah senyum saat jatuh cinta itu menjadi energi yang melebihi 1200 kkal. Sesampainya di kosn, aku tidak langsung tidur, terhipnotis oleh senyumannya. Terbayang selalu. Aku tersadar saat speaker masjid yang tepat di sebelahku menjerit nyaring oleh suara azan subuh. Menggerutu aku karena dikejutkan oleh suara nyaring Pak Mamad, segera aku menuju masjid setelah selesai shalat, baru aku tertidur. Ternyata, shalat melenyapkan hipnotis senyumannya. 
***
Sudah 3 semester aku mencintainya, jatuh cinta pada pandangan pertama. Saat yang lain sibuk belajar untuk menghadapi test pukul 8, dia hanya duduk diam di ujung lorong asyik dengan hpnya. Dia tidak menghiraukan kericuhan sepanjang lorong, sedangkan aku yang berada di ujung lorong satunya, terganggu oleh suara gaduh teman-teman. Di kelas, dia begitu tenang. Fokus dengan kertasnya. Sejak saat itulah aku mencintainya. Dia perempuan pendiam, cuek, mandiri sekaligus cantik.  Menurutku dan semua teman-temanku menyetujuinya. Sosok perempuan yang membuat semua mata lelaki tertuju saat ia melintas di lorong dan dimanapun.
Jangan kalian tanya berapa kali aku mengutarakan perasaanku kepadanya. Terakhir kemarin dan itu sudah yang ke 20 kalinya dan dia tetap menolakku secara halus. Alasannya tetap sama yaitu dia tidak pantas untukku, bahwa ada banyak perempuan yang lebih baik darinya. Sengaja kuajak dia menikmati senja di sebuah restoran di atas bukit, dia menyukai senja. Katanya senja menyimpan ribuan cerita. Wajahny lebih terlihatcantik berpadu dengan pendar jingga dari matahari yang menerpa kaca jendela restoran sore itu.   Pandangannya keluar jendela, sebentar-sebentar melihat ke arahku, tersenyum, aku membalasnya. Aku mengaduk minumanku, membuang rasa grogiku memandang wajah cantiknya itu.
“ Anggra “ kataku lembut.
“ Iya Ian “ Ia menoleh kepadaku, menatapku lembut.
“ Kamu cantik dengan sinar keemasan di wajahmu itu “ Kataku tersenyum.
“ Terimakasih ian, seandainya selalu seperti ini. Seandainya aku dapat menikmati senja seindah ini setiap hari “ katanya pelan, dalam. Aku berusaha mencerna kata=kata yang ia ucapkan. Apakah maksud tersembunyi dari kalimat itu.
“ Pasti bisa Anggra, senja indah akan selalu ada untukmu karena kau mencintai mereka “ Aku menatapnya dalam.
“  Ya, semoga “ lirih suaranya.
“  Anggra, aku iri dengan senja itu “
“  Kenapa Ian? “ ia terkejut.
“ Karena senja selalu dicintai olehmu, mereka selalu dirindukan olehmu. Mereka selalu hadir dalam ingatanmu. Ijinkan aku menjadi bagian dari mereka, menjadi bagian yang membuatmu bahagia “ aku menggenggam tangannya.
Ia tersenyum, membalas genggaman tanganku. Telapak tangannya terasa dingin.
“ Terimakasih Rian, tapi engkau akan temukan bahagia dengan yang lain. Aku tidak ingin menyakitimu “ 
“ Bagaimana kau tau, kau tidak menyakitiku sedangkan kau tidak sedikitpun memberiku kesempatan untuk bersamamu. Menemanimu dalamsuka dan duka “ aku meyakinkannya, menatap jauh ke dalam matanya.
Ia menggeleng dan melepaskan genggaman tanganku.
“ Aku tidak pantas untukmu. Suatu saat kau akan tahu alasannya “ ia tersenyum dan menatapku begitu dalam.
Malam itu, hatiku luluh lantak. Cintaku tak jua kunjung berbalas.
***
Akhirnya kuputuskan untuk menyimpan ini semua rapat-rapat. Berhenti mencintainya? Tentu tidak. Tetapi kuserahkan segala kepadaNya, sang pemilik hati. Sebulan sudah aku membatasi diri untuk tidak menghubunginya. Jangan tanyakan bagaimana rasanya. Yang pasti susah sekali, terasa sakit di dalam sini. Bagaimana aku harus berbalik arah bila aku melihatnya di depan sana. Bagaimana aku juga harus pura-pura sibuk bila ia melintas di hadapanku. Berat tidak bertegur sapa tetapi inilah jalan terbaik. Aku tidak ingin hatuh cinta terlalu jauh. Aku terlanjur mencintainya dan aku menunggu mukjizat.
Meski aku melakukan penolakan atas kehadirannya, tetap saja mataku lebih cepat bergerak dari hatiku. Akhirnya, ya aku tetap memperhatikannya. Awalnya aku ragu, tetapi setelah mendengar beberapa ucapan teman-teman, akhirnya aku percaya kepada pendapatku sendiri. Tubuhnya semakin kurus, wajahnya pucat. Fikiranku masih bekerja positif, bahwa dia kebanyakan begadang mengerjakan tugas-tugas dan thesisnya. Ternyata dugaannku keliru, dia sakit. Begitu yang kudengar dari teman-teman.
*** 
“ Apa kabar? “ aku memberanikan diri menyapanya pagi itu.
“ Baik, kamu bagaimana? Lama ndak lihat kamu “ Katanya tersenyum.
“ Kamu saja yang tidak melihatku, padahal kita sering berpapasan di lorong “
“ Iya tah? “ Ia sedikit terkejut, mencoba mengingat-ingat, dahinya berkerut.
“ Iya, kamu sih klo jalan seperti cari uang. Menunduk terus “ godaku.
Ia tersenyum, bukan tertawa padahal aku sudah mencari akal agar ia bisa tertawa. Ia asyik ke buku yang ia baca. Aku menjadi salah tingkah berada satu ruangan dengannya, hanya berdua seperti ini.
3 minggu sejak pagi itu aku tidak pernah melihatnya lagi berada di kampus. Kucoba mencari informasi tentangnya melalui teman-teman tetapi tidak ada yang tahu. Tahukah rasanya seperti apa? Rasa indu, khawatir dan pensaran bertumpuk menjadi satu. Hati merasa kosong, bukan karena ia tidak membalas perasaanku tetapi lebih kepada tidak mengetahui keberadaannya. Kesepian akut menggerogotiku.
Betapa susahnya melenyapkan semua pengharapan. Pengharapan besar bahwa aku dapat membahagiakannya, mendampingi dalam keadaan sesulit apapun. Di tengah kebingungan dan pengharapan hari  itu, telpon dari Andi mengejutkanku.
“ Halo, Rian “ suara di telpon begitu nyaring.
“ Iya “ jawabku.
“ Aku tahu Anggra dimana? “
“ Dimana? “ Tanyaku antusias.
“ Tapi jangan terkejut ya, kuatkan hatimu ya Ian “ katanya pelan.
“ Iya, dimana. Kamu tahukan perjuanganku mencari dia selama ini “
“ Dia meninggal tadi pagi di Rumah Sakit “  Andi berkata lemah.

Aku sudah tidak dapat mendengar kata-kata Andi selanjutnya. Aku terjatuh lemas di lantai. Tidak dapat kubayangkan, mengapa ini harus terjadi. Mengapa harus kematian yang memisahkan. Mengapa dan Mengapa.
Pemakamannya baru saja usai, senja indah keemasan ikut mengantarkan kepergiannya. Mungkin ia bahagia di sana, mungkin juga ia bahagia tidak menyakitikuseperti katanya. Satu persatu pelayat meninggalkan pusaranya, aku masih duduk di dekat batu nisannya. Namanya terukir rapi di sana. Aku, aku menahan sesak dan airmata yang ingin segera tumpah. Kenangan demi kenangan menari di khayalku. Senyumnya, candanya, ucapannya. Hari ini, di tepi pusaranya, aku baru memahami alasannya menolakku. Dia tidak ingin meninggalkanku dalam rasa cinta yang kami bagi satu sama lain. Yang aku sesalkan, mengapa aku tidak mengetahui penyakitnya. Mengapa aku tidak mengetahui Rumah Sakit dimana dia di rawat. Bahkan, untuk menemaninya melewati masa sulitpun aku tidka bisa. Bagaimana hari ia melawan sakit-sakit di tubuhnya. Dan mengapa ia tidak memberikan aku kesempatan sebentar saja untuk menjadi bagian hidupnya.
Kutinggalkan pusaranya dengan seganap luluh lantak, hancur leburnya hatiku. Cinta yang tak unjung berbalas dan dipisahkan oleh kematian, sungguh, bukan itu yang kuharapkan. Saat aku membuka pintu kamar kost, kakiku menginjak sesuatu. Sebuah amplop coklat, aku meraihnya dan kubuka.

Menemui Rian di batas senja....
Semoga kau baik-baik saja saat membaca surat ini. Semoga dirimu kuat menerima kenyataan bahwa aku telah pergi. Maaf, aku tidak pernah memberitahumu tentang Leukimia di tubuhku.  Maaf juga bilaku berulangkali tidak mampu membalas rasa cinta yang tulus kau persembahkan untukku. Aku tidak ingin meninggalkanmu dengan rasa sakit berlebih.

Rian..
terimakasih untuk puluhan senja indah yang kau tunjukkan padaku. Bingkisan warna keemasan spesial untukku, begitu katamu. Aku bahagia setiap kali menikmati senja denganmu, dan ingin rasanya selalu seperti itu tetapi rasanya tidak mungkin.

Ku harap, kamu akan temukan bahagia dengan perempuan sederhana yang istimewa, yang mencintaimu tanpa kekurangan. Maaf aku pergi tanpa sempat pamit padamu. Aku mencintaimu Rian, sungguh. Tapi maaf aku harus pergi sebelum mampu mengucapkannya.

Kulipat surat itu, airmataku mengalir deras. Aku tidak dapat berkata-kata. Biarlah rasa ini kunikmati hingga nanti. Mungkin inilah rasanya jatuh cinta lalu kehilangan lalu terluka.

Perempuan Berhati SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang