Cinta dalam secangkir kopi

1.4K 9 2
                                    

Cinta itu seperti secangkir kopi. Bila kamu nikmati saat tengah hari panas, tentu tidak akan terasa nikmatnya tetapi kau nikmati pada malam hari yang dingin, tentu akan terasa nikmat. Kamu akan merasakan dunia paling sempurna malam itu. Meski mendung, kamu akan melihat jejeran gugus bintang di langit.
Di dalam secangkir kopi, kamu akan temukan rasa pahit, manis dan paduan keduanya. Hidupku kini seperti air kopi yang biasa aku nikmati sejak aku duduk di bangku SMP, hidupku saat ini lebih berwarna seperti rainbow cake sejak mengenalnya. Dia cantik, banyak teman yang bilang seperti itu. Dia cuek, sangking cueknya, dia kadang tidak menyadari keributan dan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Dia suka membaca, kemana-mana pasti menenteng sebuah buku tebal. Sebuah novel yang aku tidak tahu pengarangnya. Dia pernah bilang, itu sebuah buku sastra filsafat saat aku bertanya buku apa yang selalu ia bawa ke kampus. Setiap 3 hari sekali buku yang dia bawa akan berganti dengan yang baru, jadi untuk membaca sebuah buku setebal 500 halaman lebih dia membutuhkan waktu kurang dari 3 hari.
Dia jarang berkumpul dengan teman-teman karena menurutnya itu kurang penting. Tetapi bila dia sudah ikut bergabung, candaan-candaan lucu akan melontar dari mulutnya dan akan membuat teman-teman sakit perut karena tertawa. Dia seperti memiliki kepribadian ganda. Kadang dia begitu manis, kadang juga dia terlihat begitu dingin. Sulit ditebak, dan aku semakin penasaran ingin dekat dengannya.
***
Malam ini, aku hanya duduk di dalam kamar. Menatap layar laptop mengerjakan sesuatu. Aku memang menyukai hal ini. Otak-atik komputer, terkadang lupa makan sangking asyiknya membuat suatu program. Banyak juga teman yang bilang aku seorang hacker. Tetapi itu semua tidak penting, yang penting adalah aku mengerjakan semua ini bukan untuk apa-apa, hanya untuk kesenanganku sendiri.
Secangkir kopi di sisi kanan meja menemaniku malam ini. Lama kutatap kopi di dalamnya. Warna yang sangat indah. Hitam tetapi penuh rasa, ada manis ada pahit dan perpaduan keduanya seperti aku bilang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, pantas saja tubuhku sudha terasa letih. Sejak pulang kuliah pukul 5 sore, aku langsung duduk di sini hanya berhenti saat waktu shalat. Perutku tiba-tiba meronta minta diisi, aku baru ingat terakhir makan tadi pagi di kantin sebelum kuliah pukul 9. Ternyata, pekerjaan ini menyita segalanya.  Setelah tidak dapat kutahan, aku keluar mencari tempat makan yang masih buka.
Tidak sulit mencari tempat makan 24 jam, di sini banyak Burjo yang merupakan singkatan Bubur Kacang Ijo padahal di tempat ini tidak hanya dijual Burjo, ada nasi telor (nastel), indomie telor kornet (internet), indomie telor (intel). Aku memesan sepiring Nastel dan segelas susu coklat hangat. Semoga aku bisa tidur nyenyak setelah makan ini, begitu fikirku. Tidak lama pesananku sudah hadir di depan mata, segera saja aku melahapnya dalam waktu 5 menit. Begitu selesai aku langsung pulang dan tidur. Aku bangun saat azan subuh berkumandang, menuju masjid untuk shalat berjamaah setelah itu aku pulang dan melanjutkan tidur hingga pukul 10 pagi. Kebetulan aku ada kuliah pukul 1 siang.

***
Sudah 3 bulan ini aku dekat dengannya. Akhirnya aku bisa dekat dengannya. Perempuan misterius bagiku. Kami biasa saja bila di kampus, tetapi diam-diam di kelas kami saling mengirim pesan seperti sekarang saat sedang kuliah.
“ Ngantuk “ begitu pesan singkat yang masuk di inbokku darinya. Aku melihat ke arah tempatnya duduk, tidak sedikitpun ia menoleh ke arahku. Pandangannya tetap ke papan tulis di depan yang sudah penuh coretan rumus tangan profesor kami. Aku membalasnya.
“ Cuci muka sana! :P “.
Tidak lama kemudian, dia menunduk, membaca pesan di handphonenya. Handphoneku bergetar lagi.
“ hehehe .. klo sudah keluar nanti malas masuk lagi :D “
Aku tersenyum membacanya, dia memang sering bolos kuliah. Bukan membolos tepatnya tetapi kesehatannya kurang baik. Aku baru mengetahuinya saat tiba-tiba dia tidak sadarkan diri saat sedang berlangsung kuliah. Saat itu aku belum dekat dengannya. Wajahnya saat itu begitu pucat, tubuhnya lemas dan dingin, begitu kata teman-teman perempuan yang lain saat berusaha menyadarkannya. Aku baru ingat belum membalas smsnya.
“ Dasar.. :P nanti habis ini kita makan di kantin ya. Saya traktir “ tak lama kemudian dia membalasnya.  
“ ^_^ “
Kuliah 2,5 jam tanpa jeda dengan rumus-rumus memang membuat mata ini tidak bisa kompromi. Apalagi kita sudah membaca di rumah, jadi lebih mengantuk. Sebenarnya itu alibiku saja karena aku malam tidak  membaca, lebih asyik dengan hobiku. Saat ini, aku lebih asyik membayangkan wajahnya. Bila malam hari, ditemani secangkir kopi, lebih asyik dan nikmat membayangkan senyumannya dan semua tentangnya. Hidupku saat ini seperti minum kopi sedang bertemu dengan gulanya jadi terasa manis, pahitnya kopi hanya terasa sedikit karena kopinya sedang mengendap di dasar cangkir.  Malam yang indah fikirku, cahaya bintang yang bertebaran dengan indah, suara jangkrik di halaman, suara televisi dari dalam kontrakan menyatu begitu indah. Apa karena aku sedang jatuh cinta jadi semua terasa indah, suara cempreng Ibu kontrakanpun seperti irama klasik Beethoven. Apa karena kopi yang kuminum baru ¼ cangkir jadi masih terasa manisnya. Entahlah, yang pasti saat ini aku menikmati semuanya.
Hubunganku dengan dia semakin dekat. Mulai mention-mentionan di twitter, tag-tag-an fhoto di wall facebook. Semua berjalan normal dan biasa saja. Aku tidak mengetahui isi hatinya, dia juga tidak mengetahui isi hatiku kepadanya. Kami saling merahasiakan itu, tidak perlu ada yang tahu jadi ya dijalani saja.
Menjelang 6 bulan kedekatan kami, konflik mulai muncul. Tidak tahu sejak kapan kami mulai menuntut. Aku mulai merasakan cemburu bila dia dekat dengan teman lelaki yang lain, aku marah bila dia tidak membalas smsku. Dia juga begitu, marah bila ada perempuan yang mengomentari postinganku di wall facebook, tidak menegurku bila postinganku terlalu menjurus kepada perempuan yang tidak baik. Aku tidak tahu mengapa dia marah, setelah aku tanyakan, dia hanya tidak ingin ada orang yang merasa terluka saat membaca tulisanku itu lalu berdoa tidak baik dan membicarakan aku. Dia hanya ingin menjaga orang lain dari berbuat dosa dengan tidak bergunjing, dan bila hal itu terjadi, katanya aku ikut berperan karena akulah penyebab mereka bergunjing. Pola fikirnya tidak dapat aku pahami tetapi aku menghargai itu.
Puncaknya, dia meremoveku dari pertemanan. Aku pontang panting dibuatnya, aku galau beberapa jam. Nomernya tidak aktif, aku trus saja mengirim pesan memohon maaf dan menanyakan alasannya. Sepertinya dia marah besar, tadi di kampus dia sama sekali tidak tersenyum apalagi menegurku. Begitu selesai kuliah, dia langsung keluar dan hilang. Aku sudah berusaha mengejarnya tetapi tidak juga kutemukan. Aku ke mushola, ke kantin, ke parkiran tetapi dia sudah raib. Pulang ke kontrakan, aku linglung setengah mati. Apa yang telah kuperbuat sampai dia berlaku demikian marahnya. Hingga malam ini, dia tidak juga membalas sms apalagi mau menerima telpon dariku. Saat ini, aku nyaris merasakan pahitnya kopi. Mungkin ibarat secangkir kopi, sekarang kopiku tinggal setengah.
Saat terdengar nada sambung, hatiku berdebar. Akankah dia menerima telpon dariku. Lama sekali, hingga aku berulang harus  menelponnya. Aku begitu gusar dia tidak menerimanya.
“ Ya halo, ada apa? “ suara halus di sana bertanya. Hampir saja handphoneku terjatuh. Aku tergagap, tidak bisa bicara.
“ Anu, saya minta maaf kalau saya ada salah. “ kataku terbata, menahan nafas.
Lama tak kudengar jawabannya; hanya terdengar suara musik jazz di kejauhan.
“ Iya, tidak apa-apa. Kkamu tidak ada salah “ katanya.
“ ya sudah, saya hanya mau meminta maaf. Jangan diamkan saya seperti ini “ kumatikan sambungan sebelum mendengar jawabannya.

Saya tidak mau kita seperti ini, diam-diaman begini. Saya minta maaf kalau sy da slah. Sy tdk ingin kita bgini, kita satu kampus, banyak mata kuliah yang qt program sama. Sangat tidak menyenangkan bila seperti ini denganmu.

Kukirim sms kepadanya, sangat berharap dia membalas tapi sampai tengah malam dan esok haripun dia tetap tidak membalas. Kami perang dingin 1 minggu, setelah itu kembali baikan. Entah bagaimana cara berbaikan, yang jelas setelah aku membujuknya mati-matian dan memenuhi semua persyaratan yang dia ajukan. Terserah, yang penting aku kembali melihat dia tersenyum, tidak menghindariku. Itu saja, sudah cukup.
Berada di kampus dan jurusan yang sama dan sering berada dalam satu kelas membuat kami sering digoda oleh teman-teman yang lain. Banyak yang bilang kami pasangan serasi, sangat cocok untuk menjadi pasangan suami istri. Ah, pujian mereka membuat hatiku melambung tinggi. Kulihat dia hanya tersenyum saat terjadi seperti itu, lalu melihat ke arahku dan tersenyum lalu berkata.
“ Kasian dia, kalau aku jadi istrinya “ begitu katanya begitu dalam.
Sampai saat ini, aku tidak tahu bagaimana isi hatinya. Menerkapun aku tidak mampu. Dia pintar sekali menyembunyikan perasaannya. Akupun tidak paham apa arti perkataannya barusan. Aku hanya mampu melihat punggungnya karena dia kini asyik berdiskusi dengan temannya.
Pernahkah kalian bertanya pada diri kalian. Apakah betul dengan pernyataan bahwa cinta tidak harus memiliki. Aku tidak setuju. Menurutku, cinta harus memiliki dan menguasai. Di tengah kegalauan perasaanku terhadapnya, aku harus dihadapkan pada keputusannya bahwa kami harus berteman saja tanpa harus saling menuntut. Jalani saja apa yang ada tanpa harus merasa terpaksa. Rumitnya rumus kimia dan fisika, lebih rumit lagi memahaminya.
Pertemuanku dengannya sudah berkurang. Mata kuliah yang kami jalani berbeda, tetapi dia sering terlihat di kampus bila kami ada jadwal kuliah yang sama waktu tetapi tetap berlainan kelas. Aku sudah tidak bisa lagi memandangai punggungnya saat sedang belajar di kelas, tidak bisa melihat ekspresi wajahnya saat sebal karena kuliah yang tak selesai-selesai terutama saat dia mengantuk, sungguh lucu wajahnya. Kami hanya bertemu saat kami belajar bersama, berdiskusi tentang tugas akhir.
Kerenggangan hubungan ini bukan tanpa alasan. Kami sepakat untuk menjaga. Kami menjaga dari orang berbuat fitnah, menjaga orang dari bergunjing dan lebih penting menjaga hati kami. Hatiku lebih remuk redam saat mendengar itu kabar bahwa dia telah menerima pinangan dari seseorang, saat aku bertnya langsung kepadanya, dia marah dan berlalu saja dari hadapanku. Dia tidak lagi membalas lagi smsku apalagi menerima telponku. Semua hilang tanpa bekas. Seperti tidak pernah ada cerita indah antara kami. Kebersamaan 8 bulan langsung berlalu begitu saja tanpa ada salam perpisahan dan sebagainya. Eh, mengapa aku harus merasa ada salam peprisahan, toh kami masih berteman seperti dulu. Bukannya dari dulu, kami memang berteman.
Sudahlah, secangkir kopi ini sudah hampir habis. Kopi yang mengendap di dasar sudah hampir terlihat. Mungkin juga ceritaku dan dia sudah hampir habis. Bila dibiarkan menguap, ia akan mengering. Anggap saja begitu.
Hidupku, kucoba jalani seperti sebelum mengenalnya, sepertinya itu keputusan terbaik. Meski setiap melihat secangkir kopi , aku selalu mengingatnya. Bukan karena manisnya gula, pahitnya kopi atau campuran keduanya tetapi lebih karena kopinya adalah pemberian dia. Asli buatan Ibunya.

Perempuan Berhati SurgaWhere stories live. Discover now