"Tadi, Ibu ngasi tau gue. Katanya, dia bakalan pulang malem hari ini!" seru pemuda itu agar El bisa mendengarnya.

El sontak menoleh. Wajahnya cemberut, "No, gue laper," rengeknya.

"Lho, sarapan?"

"Gue bangun telat. Nasi gorengnya udah keras duluan, jadi ngga bisa dimakan."

Vano segera meletakkan sepatunya di rak sepatu, "Ututututu~ tayaang~. Tayangnya akoh~ katiaaan~"

El mendelik, "Jijik, anjing."

Vano terbahak, "Dih, galak amat sih."

Ia segera menghampiri El yang sudah duduk dengan nyaman di sofa ruang keluarga. Tasnya ia lempar ke sofa satunya, lalu ia duduk bersila di samping El.

"Terus, kenapa lo mutusin untuk pulang duluan?" tanya El.

"Sejak Ibu ngasi tau kalo dia bakalan lembur, ngga tau kenapa gue jadi pengen cepet pulang buat ketemu lo. Eh, rupanya lo kelaperan di sini. Feeling gue kayaknya tajam kalo nyangkut elo yak."

El mencibir, "Kebetulan doang."

Vano mengabaikan ucapan itu, dan mengeluarkan ponsel pintarnya.

"Berhubung motor gue di sekolah, kita pesan antar aja ya. Mau makan apa?" tanya Vano. Ia mendekatkan tubuh mereka dan merangkul pundak El. Sontak, rangkulan itu langsung ditepis.

"Ngga usah rangkul-rangkul!" seru El sebal.

"Dih, galak beneran."

Wajah El melengos. Dia tidak lupa loh dengan apa yang sudah Vano lakukan padanya semalam. Itu pelecehan!

"Nih, lo pilih deh mau makan apa," ujar Alvano sambil memberikan ponselnya.

El menolak, "Gue pengen makan sate."

"Sate apa? Sate padang? Atau apa?"

Pemuda cokelat itu diam sejenak, ".. eh, ngga jadi deh. Pengen batagor. Pengen siomay. Tapi, pengen nasgor juga. Sate juga pengen sih."

"Lha?" Vano mengerutkan dahinya bingung, "Jadi?"

El menyelipkan rambut cokelatnya ke belakang telinga, "Oke. Gue mau makan Chicken Katsu."

"Beneran?"

"Yap."

Vano pun memutuskan untuk memesan pesanan El di tempat makan yang menurutnya enak lewat aplikasi Yo!food. Setelah itu, ia meletakkan ponselnya di atas meja dan menyandar.

"Oke. Tinggal nunggu~"

El menatapnya. Bibir pemuda itu mencebik, "Pengen sate, Vano.."

"El, lo plin-plan ya."

"Gue bingung," rengeknya. Kepala berambut cokelat itu menyandar di bahu Vano, "Yodah deh, yang tadi aja gapapa."

Tangan kirinya memeluk lengan Vano pelan. Vano membiarkan. Dirangkul ngga mau, tapi meluk-meluk mau. Ajaib juga ternyata si El ini.

Vano pun mengambil remot yang berada di samping El. Lalu, mengganti-ganti channel tv. Jemari El turun menyentuh pergelangan tangan Vano, dan menekan-nekan pelan nadinya.

"Lo beneran mau jadi Dokter?" tanya El pelan.

Vano mengangguk mantap. Itu cita-citanya dari dulu. Dia ingin menjadi seperti Ayahnya. Bahkan, kalau bisa melampaui beliau.

El merubah posisi kepalanya. Dagu ia tumpukan pada bahu Vano agar bisa menatap paras pemuda itu dari samping.

"Berarti nanti, lo bakalan jarang pulang dong?" tanya El. Terdengar sedikit rajukan di nada suaranya.

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now