PBM #1

2.1K 144 4
                                    

Vira

Aku benci rumah sakit.

Apa sih bagusnya? Baunya membuat bergidik, warnanya membosankan----tembok, lantai, atap, bahkan daun pintu semuanya sama. Langkah-langkah cepat bergema di lorong. Lalu wajah-wajah penghuninya: wajah menunggu, cemas, bosan, kesakitan, sedih, dan menerawang. Ah! Semua pancaindraku meneriakkan satu kata: STERIL. Dan menurutku, steril itu sangat bukan manusia. And don't even get me started when the night comes. Lampu-lampu redup dan kesunyian tanpa tepi. Bahkan, gerakan jarum jam di ujung selasar ini sudah cukup membuatku melompat sejauh lima meter. Oke, jarak lompatnya barangkali hiperbola, tapi ketakutanku bukan bercanda.

Rumah sakit adalah dunia lain yang tidak ingin kukunjungi. Kecuali terpaksa. Dan tepat hari Selasa ini, genap enam bulan kujalani keterpaksaan tersebut. Kenapa terpaksa? Dua alasan. Satu, Zedayanna resmi jadi warga rumah sakit sejak enam bulan lalu. Dua, betapa pun bencinya aku pada rumah sakit, aku jauh---JAUH—lebih benci ditolak laki-laki. Berhubung yang terakhir adalah highlight of the day seorang Vira, maka aku harus ke sini dengan Zed sebagai wadah utama curhatanku.

"Ayo, cepetan tiduran, lalu mulai cerita," perintah Zed.

"Harus ya gue tiduran begini dan lo duduk di belakang sana?" protesku, walau aku menurut juga berbaring di tempat tidurnya. Rasanya seperti bicara pada angin atau tepatnya pada kipas angin di tembok depanku yang barusan dia matikan. Zedayana hanya tertawa, sekilas menyebut kata "free association" dan "Sigmund Freud". Dengan waktu berlimpah, pasti seharian ini dia heboh mencecar Google sehingga malam ini dia menjelma jadi terapis karbitan.

"Lo boleh sambil merem biar rileks," katanya. "Eh, tapi awas kalau ketiduran!"

Aku terkekeh.

"Mulai dari awal," lanjut Zed.

"Gue dan dia nggak pernah punya awal," sahutku muram.

Mengenaskan, tapi begitulah hubunganku dengan Tom Aldiran. Bagaikan makhluk tanpa tanggal lahir yang punah terlalu cepat sebelum tahu siapa jati dirinya.

"Kencan! Awal kencan!" sahut Zed tak sabaran.

Aku menghela napas. Awal kencan, ya? Kalau begitu, semua dimulai dengan satu pertanyaan kecil di kantin kantor...

"Vir, kamu pernah makan sup kambing dekat tempat fotokopi?" tanyanya.

Siang itu, mendung menggantung tebal di langit. Kantin kantor tidak terlalu ramai, barangkali juga karena saat itu hari deadline nasional.

Aku menggeleng, dalam hati girang menanti lanjutan kata-katanya.

"Pulang kantor ke sana, yuk!" lanjutnya, menjawab harapanku dengan kerlingan jenaka di mata.

"Tunggu dulu, tunggu dulu. Lo? Makan sup kambing?" tukas Zed heran. "Seriously, Vir! Lo bukannya..."

"Nggak suka kambing? Memang. Masih nggak suka, kok," jawabku sambil meringis. Tidak percuma dia punya gelar sebagai sepupuku. Detail kecil macam begini ternyata masih terekam di kepalanya.

"Terus... kenapa lo mau-mau aja?"

"Nggak sanggup nolak, apalagi kalau dipandangi Tom kayak gitu," jawabku sambil menunduk.

"Kayak apa?"

"Kayak lo makhluk terindah yang pernah dia lihat."

Zed berdecak kencang, tahu kelemahanku yang satu ini.

Bagiku, mata manusia adalah bagian tubuh yang paling memesona. Mata bisa bicara dan tak pernah bohong. Orang bilang mata adalah jendela hati, aku bilang mata adalah kunci menuju hati. Dan Tom Aldiran punya sepasang mata terindah yang selalu menjamin eksistensinya di hatiku.

"Gombal lo, ah! Sudah, lanjut! Apa yang terjadi di warung sup kambing?" tanyanya. Aku kembali memejamkan mata.

***

PERKARA BULU MATA - Nina AddisonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang