Vano mengerjap, lalu tertawa pelan, "Daripada ngekhawatirin punya gue, mending lo ngekhawatirin punya lo. Keadaannya juga sama, kan?"

El sontak langsung menarik kedua kakinya untuk menutupi bagian nganu itu. Wajahnya memerah, "P-punya gue mah, kalo didiemin bentar juga bakalan kembali normal. Punya lo tuh!"

Didiemin? Ah, benar juga. Vano rasa, El tidak pernah melakukan ini-itu kepada anunya. Apalagi jika pemuda cokelat itu mengingat masa lalunya, El pasti semakin tidak akan pernah mau menyentuh miliknya sendiri.

"Lo ngga mau coba ngefapfap, El?"

"Hah? Fapfap?" Dahi El mengerut tak mengerti.

Vano mengangguk. Biarpun sebenarnya, dalam hati ia sedang asyik merutuki diri sendiri karena menanyakan hal seperti itu. Kenapa dia mesti nyebut 'fapfap' coba?!

"Ngga tau caranya?"

El menggeleng.

"Sini, gue ajarin."

Begoo! Alvano goblok! Kenapa malah mau lo ajarin?! Dia masih polos, oi! Hati nuraninya memberontak. Tapi, apa daya, sisi 'jahat'nya jauh lebih berkuasa disaat-saat seperti ini.

Tangan Vano terulur dan membuka kaitan celana El. Sontak membuat si pemilik celana langsung menepis tangannya.

"A-apaan sih, Vano?!" serunya.

"Lo harus buka celana."

"Biar ngapa?!"

"Biar celananya ngga kotor pas gue fapfap-in."

Wajah El kembali memerah. Sudah berapa kali ia memerah seperti ini?!

"Ngga mau ah! Malu! Lagian, fapfap itu apa?!" seru El sebal.

"Dih, ngapain malu? Dulu juga gue yang mandiin. Dulu juga gue yang sabunin," ujar Vano sambil mencoba untuk menarik celana itu turun.

"Vano, ngga mau!"

Tubuh El kembali didorong hingga berbaring. Vano segera menarik celana--beserta dalamannya--itu turun.

"Enak kok, El."

Tangan kiri El menutup wajahnya yang terasa semakin panas.

"Dasar cabul!" serunya sebal.

"Sama-sama cabul ngga usah saling ngatain," balas Vano.

"Gue ngga cabul!"

"Kalo ngga cabul, kenapa lo ngeras, ogeb."

Vano melempar celana itu ke lantai. Lalu, menatap kedua kaki El yang merapat untuk menyembunyikan anunya. Setelah itu, beralih menatap wajah El yang memerah hingga ke telinga. Manik biru yang berkaca-kaca karena malu itu mengintip dari balik lengan kiri.

"Semuanya kan karena lo, Brengsek!" gerutu El.

"Salah lo karena minta dicium lagi," Vano memegang kedua lutut El, "Lebarin kaki lo."

"Ogah!"

Vano mengabaikan dan langsung melebarkan kedua kaki El.

"Vano bangsat! Angh.. jangan dipegang, dodol!"

Alvano menelan ludah, dan menjilat bibir bawahnya. Jemari panjangnya melingkupi milik El yang mengeras itu. Kedua matanya menatap dada telanjang El yang bergerak naik turun tak teratur. Lalu, tangan kanannnya mulai bergerak.

"Ngh.. mgh.. ah.."

Tangan kiri Vano mencengkram seprai dengan erat. Sial, desahan El manis sekali. Ibu jarinya mengusap bagian pucuknya.

Happiness [SELESAI] ✔Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum