Lalu, saat hari senin tiba, tanggal dua puluh enam November. Begitu El keluar dari kamar, dia mendapati Ibu Vano tengah sibuk di dapur.

El menggaruk lehernya sejenak. Menatap canggung Ibu Alvano yang tengah mempersiapkan bahan makanan yang sangat banyak.

"Ada acara apa, Tante?" tanyanya.

Wanita itu menoleh dan tersenyum, "Hari ini si Mas ulang tahun. Jadi, Tante suruh bawa temen-temennya ke rumah ntar pulang sekolah."

Eh? Hari ini? Kok Vano tidak memberitahunya?

"Ada yang... kira-kira bisa El bantu, Tante?" tanyanya pelan. Biarpun dia tau, hanya dengan satu tangan, dia bisa apa?

Wanita itu tersenyum, "Sini."

Pada akhirnya, El hanya bisa membantu dengan pengetahuannya. Seperti bagaimana cara bisa membuat makanan dengan rasa lebih enak. Atau meminta Ibu Vano mengganti satu jenis makanan karena dirasa tidak cocok dengan yang lain. Atau bagaimana cara menyusun makanan itu agar terlihat lebih indah.

Tapi, bagi Ibu Vano, itu sudah lebih dari cukup. Dan membuatnya sangat menyayangkan, El tidak bisa memasak lagi.

Karena dilihat dari sudut manapun, El rindu melakukan pekerjaan dapur itu.

"Haah.. ngga terasa ya, tau tau udah delapan belas tahun aja si Mas," gumam wanita paruh baya itu.

El tersenyum mendengarnya, "Iya, Tante."

Pukul dua lewat beberapa puluh menit, Jeje pulang.

"Pulang sama Suchart, Je?" tanya El.

Pemuda yang lebih muda setahun darinya itu mengangguk, "Mas Vano lagi dikerjain sama temen-temennya. Paling bentar lagi pulang."

Dikerjain? Maksudnya dikerjain? Bukan dibully, kan? Ah, tidak mungkin. Vano kan tidak seperti dirinya yang pasrah dipukuli. Kalau mengingat itu, El jadi penasaran. Apa kabar si Cakra dan antek-anteknya?

Setelah itu, begitu jarum jam pendek melewati angka tiga, Vano pulang dalam keadaan kotor. Rambutnya lengket dengan telur yang berbau amis. Baju olahraganya kotor karena cairan berwarna hitam bau yang mencurigakan. Tangan kirinya menenteng tas sekolah, sementara tangan kanannya membawa kantong plastik berukuran lumayan yang terisi penuh dengan kado.

El mengerjap. Ingin mendekat, tapi tidak jadi karena di belakang Vano ada beberapa orang yang mengikuti. Tidak cuma beberapa orang. Tapi, banyak orang. Sepertinya, itu teman-temannya yang Ibu Vano bilang.

El baru tau, Vano memiliki teman sebanyak ini. Berapa orang mereka? Satu.. dua.. tiga.. empat--

"Jeje! Maen yok!" seruan itu terdengar dari luar.

Vano mendekatinya. El menutup hidung, membuat pemuda tinggi itu meringis pelan sambil tersenyum canggung.

"Er.. gue bawa temen sekelas gue. Lo gapapa, kan?" tanyanya.

El mengangguk tanda tidak keberatan. Lalu, suara derap langkah terdengar, dan Jeje muncul.

"Jeje!" El memanggil, "Mau ke mana?"

"Mau main ke rumah Suchart."

"Kakak ikut!"

El segera beranjak. Mendekati Jeje, dan mengamit lengan kanannya dengan tangan kiri. Lalu, menariknya cepat menuju luar rumah.

"Perasaan gue, adek lo cuma satu deh, Van. Kok bisa nambah satu lagi?" celetuk teman Vano.

Ibunya muncul, dan tersenyum hangat.

"Sore, Tante! Maaf ngerusuh nih!"

Wanita itu hanya tertawa, "Iya, gapapa. Tante ada buatin makanan tuh. Ayo, kalian pasti udah laper."

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now