Merasa bahwa berdebat dengan Tama tidak akan berhasil, Bryna berdiri dan berjalan bersisihan dengannya.
Mereka tidak membahas kejadian 13 tahun lalu itu lagi selama perjalanan. Sebenarnya, keduanya nyaris tidak saling bicara. Tama konsentrasi menyetir, dan ia sendiri menikmati memandang kearah luar.

Mereka berhenti di depan gerbang rumah. Bryna ragu-ragu sebentar sebelum membuka pintu mobil dan turun. Ia berbalik dan terkejut saat menyadari bahwa Tama juga ikut turun dan menghampirinya.

Mereka berdiri berhadapan, Tama menatapnya, seakan sedang mempertimbangkan sesuatu. Dan terlepas dari apapun pertengkaran mereka, Tama sudah membantunya lagi malam ini. Jadi sebelum mereka berpisah lagi, Bryna mengucapkan terimakasihnya.

Well, thank’s Tam. Again.” Ucapnya sungguh-sungguh.

Tama masih terus menatapnya, tidak mengatakan apapun. Dan saat Bryna menganggap bahwa sudah saatnya mereka berpisah, Tama mendekat. Nyaris tidak menyisakan ruang diantara mereka, laki-laki itu meletakkan tangannya dirahang Bryna, membelainya lembut.
Bryna bisa menebak apa yang akan dilakukan Tama, tapi dia tidak menghindar, tidak bisa. Tama mengurungnya diantara pagar dan tubuhnya sendiri.

Keduanya masih mempertahankan kontak mata. Dan entah kenapa Bryna malah mempersiapkan dirinya untuk apapun yang akan dilakukan Tama.
Tapi tidak berhasil. Ia masih memekik pelan saat bibir Tama mendarat di bibirnya.

Bibir Tama terasa hangat. Ciuman itu menuntut, tapi sama sekali tidak kasar atau memaksa. Terkejut karena merasakan seolah Tama sedang menciumnya dengan perasaan, Bryna membuka mulutnya sedikit.

Saat itulah Tama membiarkan lidahnya masuk, mencium Bryna lebih dalam. Dan Bryna bisa merasakan perpaduan antara mint, caffein, coklat dan tembakau disaat yang sama. Unik. Dan Bryna terkejut dengan dirinya sendiri karena membalas ciuman itu.

Tama menarik kepalanya, menghentikan ciuman itu dan menatap Bryna dengan tatapan terkejut.

Seharusnya Bryna marah karena Tama menciumnya tanpa permisi.
Tapi tidak, nyatanya, dia menikmati ciuman itu. Ia menyukai rasa Tama di mulutnya, dan diam-diam dia menginginkan ciuman Tama lagi.

“Kurasa itu imbalan yang cukup adil sebagai pengganti ucapan terimakasih. Dan aku menyukainya." Kata Tama akhirnya, kembali memasang wajah meremehkan yang sangat menyebalkan.

"Jadi lain kali, kalau kamu ingin mengucapkan terimakasih, kamu tahu cara mana yang lebih aku sukai Bry.” Bisiknya di telinga Bryna dengan suara serak.

Lalu ia berbalik, berjalan masuk ke mobilnya dan mulai menyalakan mesinnya.

Bryna tidak bergerak. Bahkan sampai mobil Tama menderu menjauh pun, ia masih tetap belum begerak. Ia ingin menangis, meskipun tidak yakin untuk alasan yang mana.

•°•

Ibunya sedang duduk bersandar di ranjangnya saat Bryna datang pagi itu. Keadaannya sudah berangsur-angsur membaik sekarang. Syukurlah.

“Pagi, bu..” Sapanya riang, mencium pipi ibunya lembut.

“Pagi sayang. Dan kenapa wajah kamu kusut seperti itu? Tidak tidur semalam? Masih memikirkan kebakaran itu?”

Bryna mengangguk pelan. Dia tidak bisa tidur, ya. Dia memikirkan kebakaran itu, ya. Tapi bukan itu satu-satunya yang membuatnya tidak bisa tidur semalam. Tapi dia tidak akan menceritakannya pada ibunya. Tidak pada siapapun. Tidak bisa.

“Besok ibu sudah bisa pulang. Tadi dr.Evan menemui Bryna dan menyampaikan kabar baik ini.” Katanya, duduk disamping ibunya.

“Bagus. Ibu benar-benar sudah bosan disini.”

Nothing Last Forever (Hate-Love) ✔Onde histórias criam vida. Descubra agora