"Kamu membelanya."

"Karena tidak ada alasan untuk mencurigai Nicko."

"Dia ingin perhatianmu."

"Tidak."

"Bagaimana kamu bisa begitu yakin?"

"Aku tahu dia bukan orang suci yang tidak pernah salah. Tapi aku mengenalnya. Dia tidak akan melakukan tindak kriminal, ia terlalu pintar untuk itu. Nicko memiliki gelar master di bidang ekonomi. Dia bekerja sebagai direktur di perusahaan keluarganya. Dia bahkan tidak mengenal masalah listrik dan segala tetek bengeknya. Lagipula, kami sudah sepakat untuk saling memaafkan masa lalu kami. Itu berarti tidak akan ada bumbu-bumbu romansa lagi yang akan terselip diantara kami. Jadi Nicko tidak perlu melakukan apapun untuk mendapatkan simpatiku atau akses masuk kedalam kehidupan asmaraku lagi. Karena bahkan, dia sendiri tahu kalau itu hanya buang-buang waktu dan tidak akan berguna." Jelas Bryna emosi.

Tama hanya menatapnya lagi, kali ini tanpa mengucapkan apapun, dan Bryna menyadari bahwa dia sudah terlalu banyak bicara.

Canggung dan bingung apa yang harus ia lakukan selanjutnya, Bryna akhirnya melanjutkan makannya sampai habis.

Angin semilir menerpa keduanya. Mereka duduk berdua di bangku taman yang tidak begitu ramai, ditemani bintang-bintang yang bertaburan dilangit, suasana tenang yang romantis dan makan bersama. Bukankah ini terasa mirip sebuah kencan?

Ya, pastinya begitu, seandainya saja itu orang normal yang lain. Tapi ini ia dan Tama kan? Tidak akan ada kencan romantis diantara keduanya. Ia tahu itu.

“Jadi, Malang baik-baik saja?” Tanya Bryna, akhirnya mengalihkan pembicaraan.

“Ya. Semuanya terkendali, paling tidak.”

Bryna mengangguk.
“Betah disana?” Tanyanya tanpa berpikir.

“Aku punya keluarga disana. Aku tinggal dengan mereka sementara waktu.”

“Oh, ok..”

Keduanya diam lagi, menikmati keheningan diantara mereka.

“Kamu masih trauma naik motor?”

Bryna menoleh perlahan, Tama sedang menyandarkan punggungnya di bangku taman. Tangannya tergeletak santai diatas sandarannya dan menatap langit.

“Aku bertanya-tanya apakah kamu masih ingat kejadian itu.” Tambahnya, masih tidak menatap kearah Bryna.

“Aku ingat.” Kata Bryna pelan.

Bertolak belakang dengan Tama, Bryna menunduk, memandangi rumput hijau di bawah kakinya. “Dan saat aku memikirkannya lagi, aku masih sangat takut dengan apa yang bisa saja terjadi saat itu.”

“Kita akan mengalami banyak masalah. Berapa umurmu waktu itu?”

“Lima belas.”

“Dan semua gara-gara pesta konyol itu.”

Bryna masih belum menatap Tama, tapi ia bisa merasakan tatapan Tama sedang tertuju padanya.

“Belum ada satu tahun setelah Ayah meninggal. Aku melewati masa transisi yang sulit dan hampir setiap hari bertengkar dengan Brenda waktu itu.”

Tama masih belum mengatakan apa-apa. Dan Bryna tidak mengerti kenapa ia merasa harus memberi penjelasan atas apa yang membuatnya berada di tempat pesta malam itu. Tapi ia tidak dapat menahan dirinya.

“Ibu harus bekerja keras, dia tidak punya banyak waktu untuk kami. Kami sedang beranjak remaja. Perubahan hormon, terlalu banyak peraturan dari ibu yang harus diikuti, dan kurang kasih sayang. Dan ada kalanya kadang.. Aku merasa ingin.. Memberontak. Mendapatkan perhatiannya lagi. Jadi malam itu, ketika April mengajakku untuk ikut merayakan hubungannya dengan pacar barunya.. Aku merasa punya kesempatan. Sedikit kebebasan.. Dan.. Yaah.. Aku ikut.”

“Dan bertemu Hendri Atmaja.” Tama menyahut.

Bryna tertawa kering. “Kamu mengingatnya?”

“Aku ingat banyak hal tentang malam itu.”

Mata keduanya bertemu lagi, kali ini tidak ada yang menurunkan pandangannya.

“Kamu memakai dress putih selutut dan flat shoes putih berpita. Aku ingat rambut sebahumu yang berwarna hitam –belum dicat seperti sekarang- dengan jepit kecil diatas telinga sebelah kananmu.”

Bryna tertawa lagi, kali ini lebih santai.
“Aku tidak percaya kamu mengingat itu dengan baik.”

“Oh, aku ingat. Karena aku tidak akan pernah melupakan saat Hendri meletakkan tangannya padamu dan mulai meraba-raba punggungmu dan berusaha menempelkan seluruh tubuhnya padamu.”

“Satu menit semuanya baik-baik saja. Kami berbincang santai, dan menit berikutnya dia menyambarku. Aku panik dan mulai melawannya. Tapi aku hanya anak kelas 3 SMP yang melawan laki-laki kelas 3 SMA bertubuh besar.”

Bryna menatap Tama dengan pandangan lembut sebelum melanjutkan, “Saat itulah kamu datang. Seakan muncul entah darimana, dan menarik Hendri menjauh dariku.”

“Dan menghajarnya. Jangan lupa bagian itu.”

Bryna tersenyum.
“Aku tidak lupa. Dia babak belur. Dengan bibir berdarah dan pelipis memar. Dan aku bertanya-tanya apa yang sedang kamu lakukan disana saat itu.”

“Aku berteman dengan kakak April. Kebetulan saja waktu itu dia mengajakku bergabung.”

“Kita bahkan belum saling mengenal waktu itu. Apa yang membuatmu melakukannya? Menyelamatkanku, maksudku.”

“Aku memperhatikanmu. Mungkin aku tertarik. Mungkin aku cemburu. Atau mungkin aku ingin berada di posisi Hendri waktu itu. Bicara denganmu dan berada begitu dekat.”

“Aku tidak percaya. Aku hanya gadis kecil waktu itu.”

“Kamu bahkan bukan gadis kecil lagi, aku ingat, tubuhmu sudah tumbuh dan mulai terbentuk.”

Bryna mengabaikannya.

“Lalu kamu mengantarku pulang.”

“Naik motor, ngebut dan dikejar teman-teman Hendri yang marah dan tidak terima.”

“Mereka mengemudi dengan ugal-ugalan, berteriak-teriak dengan kata-kata kasar dan berhasil menyegat kita. Aku ingat salah satu dari mereka memukulkan helm ke bahumu dan yang lain menarikmu dari motor dan berusaha memukulimu.”

Bryna merasa tenggorokannya tercekat. Ia masih ketakutan mengingat hal itu. Sudah malam, jalanan yang mereka lewati sepi. Dengan 4 orang laki-laki bertubuh besar dan tampak beringas mengeroyok Tama.

Kalau saja waktu itu Tama tidak berhasil melawan, ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka malam itu. Mungkin Tama babak belur, dan Bryna...

“Hmm.. 4 lawan 1." Tama berkata. "Aku beruntung bisa lolos hanya dengan bahu memar dan bekas perkelahian kecil lainnya." Tama diam sebentar, dan Bryna bisa merasakan laki-laki itu tersenyum sebelum melanjutkan, "Atau mungkin aku lebih kurang ajar dari mereka dan lebih berpengalaman dalam berkelahi.”

Bryna tersenyum kali ini.
Ya, tentu saja Bryna tahu itu benar. Sekolah mereka berdekatan. Bryna SMP dan Tama SMA. Meskipun belum pernah bertegur sapa sebelumnya, tapi Bryna sudah terlalu sering mendengar cerita tentang Tama yang terkenal sebagai tukang bikin onar, sering bolos, dan rajin ikut tawuran.

Tapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa sejak dulu laki-laki itu sudah begitu tampan dan memiliki reputasi sebagai pemikat banyak wanita.

Mereka berada di sisi yang sangat berbeda, dan ia yakin kalau Tama tidak tahu tentangnya sama sekali waktu itu. Jadi dia sangat terkejut saat Tama datang dan mau menolongnya.

“Aku tidak akan pernah melupakan hari itu, Tam.” Kata Bryna tulus.

“Dan aku tidak akan pernah melupakan apa yang terjadi sesudahnya.”

Bryna menatap mata Tama lagi, kali ini kehilangan kata-kata.

“Kalau kamu tidak lupa, aku menyukaimu setelah itu. Aku sudah mengatakannya padamu, tapi kamu menolak dan menghancurkan hatiku.”

•°•

Regrads, ulphafa.

Nothing Last Forever (Hate-Love) ✔Where stories live. Discover now