Ingin Kuanyam Pulau-Pulau Nusantara

95 2 0
                                    

Ingin Kuanyam Pulau-Pulau Nusantara

YANG kukisahkan ini sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi di dalam diriku. Memang semasa kecil atau waktu muda, sering aku diajari berbohong oleh berbagai kejadian di sekelilingku, oleh berbagai nilai hidup yang senantiasa timbul-tenggelam-timbul-tenggelam. Namun, kini tak mungkin aku berbohong. Pertama, aku sudah tua. Orang tua yang berbohong itu bukan hanya tidak jujur, melainkan juga bodoh: ia makin tidak mengerti dirinya. Kedua, karena aku ini seorang guru. Aku mengajar di sebuah universitas. Segala nilai yang diemban dalam nilai perguruan tidak akan pernah memperkenankanku berbohong. Nilai-nilai itu tak punya kodrat untuk berbohong. Yang berbohong hanyalah tangan-tangan yang menggenggamnya. Tanganku lebih lanjut usianya. Telah kenyang makan tanah dan minum samudra.

Sejak SMA, telah mulai kularang tanganku untuk berbohong. Karena itu, aku banyak kurang disukai guru-guruku. Misalnya, aku memberitahukan kepada mereka bahwa ada beberapa guru yang kurang berdisiplin dalam memenuhi kewajiban rutinnya untuk mengajar. Wali kelas saya terperenyak. "Kamu, kok, mengkritik Guru?" tanyanya. Di saat lain aku mengemukakan tentang beberapa guru yang tidak konsisten menjalankan tata aturan sekolah. Aku ditegur, "Kamu berani, ya?" Ada lagi kejadian ketika saya melontarkan pendapat bahwa guru ini dan itu kurang mampu mengajar, kurang bisa mengomunikasikan pelajaran, sementara guru yang lain kurang memperhatikan efisiensi dan efektivitas dalam melaksanakan proses pengajaran. Untuk ini, aku digertak: "Kamu melawan guru!" Akhirnya ketika aku membantah beberapa bab keilmuan yang diajarkan, cap yang kuperoleh ialah "berkelakuan tidak baik".

Memang tidak selalu Bapak-Ibu Guru mengungkapkan tuduhannya atasku dengan kata-kata jelas seperti itu. Sering hanya tampak dan terasa pada sikap emosionalnya, atau muncul pada lenyapnya perhatian kepadaku, sangat menganak-tirikanku, atau bahkan sama sekali mencatat-hitamkan-ku. Untuk naik ke kelas III, seorang guru harus membela dan memperjuangkan kenaikanku. Nilai cukup baik, setidaknya memenuhi syarat, tetapi kelakuanku ditulis dengan tinta merah darah, dan buat anak semacam ini pagi-pagi buta musnah kemungkinannya untuk naik, "berbahaya". Artinya, yang banyak mempertanyakan berbagai aspek peraturan sekolah atau berbagai isi pengajaran yang tidak benar, tetapi setidaknya tidak cocok dengan akal dan keyakinan saya. Aku dan kawan-kawan tak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada tata undang-undang yang bisa menampung usaha pembelaan kami, kecuali sehat-tidaknya pergaulan akal dan moral di sekolah. Itu kurang ada, dan lagi kami ini murid, anak didik, maka dikatakan masih harus patuh di bawah otoritas guru. Kami belum dewasa, masih harus diselamatkan supaya kelak jadi orang yang baik. Kami harus menaati segala bimbingan meskipun mata kami sering dibutakan dari kemungkinan untuk mengerti makna bimbingan itu.

Akan tetapi, baiklah. Bagaimanapun kami ini anak-anak dan mereka adalah orang-orang tua. Kami "kalah tua". Betapapun orang yang lebih tua itu lebih tahu, lebih dewasa dan lebih memiliki segala sesuatu yang kami tidak miliki. Jadi, begitulah, pada akhirnya aku memang mesti mematuhi segala perintah orang tua, tidak bisa tidak, bahkan ketika untuk itu aku harus dikeluarkan dari sekolah. Namun tidak, aku tidak dikeluarkan, aku cuma dipindah-sekolahkan, cuma dilempar, cuma dipecat, cuma dibuang, cuma tak dikehendaki.

Kenapa gerangan?

Sederhana sekali. Sejak lama, diam-diam aku mengalami bahwa kawan-kawan sekolahku makin berani berpacaran. Jarak pergaulan antara pria dan wanita sudah sedemikian dekat. Tentu saja ini baik. Cuma yang menonjol adalah kesan seksnya. Memang ada beberapa pria dan wanita yang memang "bakat" untuk itu. Artinya, meskipun ia hidup pada zaman Majapahit atau di Mekah bersama Nabi Muhammad, kira-kira pasti mereka "saling kebelet" juga. Tetapi, kesan umumku lebih dari soal bakat. Terasa ada sesuatu dari luar yang menumbuhkan iklim itu secara lebih merata. Beberapa kawan aku yakin persis sudah melakukan free-sex. Tak sedikit putri yang berindikasi tak perawan lagi dan terkadang bangga dengan itu. Beberapa kawan pria bahkan riuh mencerita-ceritakan soal dunia pelacuran.

Akhirnya, aku menyimpulkan bahwa di sekolah yang menonjol bukan iklim pendidikan, melainkan pengajaran dan peraturan. Misalnya, amat sedikit pelajaran moral, hanya muncul kulit formalnya tentang hukum-hukum kesusilaan atau akhlak menurut agama, bukannya suasana moralitas yang ditumbuhkan di dalam lingkungan kecil tempat kami berkumpul 7-8 jam sehari. Di samping itu, kalau teman-teman makin berani dan terampil berpacaran, aku mafhum juga. Banyak sekali hal-hal di kota kami yang memang menumbuhkan kecenderungan itu. Entah film-film, video, show ndangdut, atau tontonan lainnya seperti jaipongan, novel-novel remaja, atau tata nilai lingkungan kota yang makin maju makin terurai dari pemeliharaan moral. Jadi, teman-teman itu hanyalah tanaman-tanaman subur di tanah yang memang banyak rabuknya. ¤

BUKU - SEDANG TUHAN PUN CEMBURU

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang