El terdiam. Seolah tersadar dengan perkataan Vano. Pemuda tinggi itu benar. Yang mirip itu apanya? Wajahnya? Iya, sih, memang mirip, tapi... disaat bersamaan juga, wajah mereka berbeda.

Lalu...

...apa yang harus dia takutkan?

Senyuman Vano melebar, "Kan gue udah bilang. Lo aman di sini. Ngga bakalan ada yang ngelukain lo lagi," ujarnya.

El menatap kedua mata Vano.

"Penderitaan lo udah selesai."

Waktu seolah berjalan lambat. El tidak bisa berkata apa-apa. Empat kata yang Vano ucapkan tadi, seolah membuatnya mendengar kalimat paling indah sedunia.

Kalimat yang ia tunggu sejak dulu.

"Selesai?"

Vano mengangguk dan tersenyum lembut, "Ya. Sekarang, lo tinggal duduk manis dan ngebiarin kebahagiaan nyerbu lo. Oke?"

"Emang bisa? Cuma diam aja?" tanya El tak percaya.

"Bisa. Gue yang bawain kebahagiaannya buat lo," ujar Vano percaya diri.

El diam sejenak dan mengerjap, "Karena... lo cinta gue?" tanyanya.

Pemuda tinggi itu tersenyum, "Ya. Karena gue cinta sama lo."

El tak membalas. Ia mengalihkan tatapannya dan menyandarkan punggungnya di pintu kamar. Menahan sekuat mungkin agar wajahnya tidak memerah atau menahan agar bibirnya tidak tersenyum seperti orang bodoh.

"Ah!" Vano menepuk tangannya sekali. Membuat fokus El langsung kembali tertuju padanya.

"Kenapa?"

"Gue inget, pas gue lagi ngelamun di ruang OSIS tadi, gue dapet satu lagu yang pas banget pesannya buat lo!" seru pemuda itu semangat.

"Hah?" Dahi El mengerut, "Lagu?"

"Yah... biarpun ada satu atau dua part yang ngga sesuai sih," ujar Vano lagi. Ia merogoh saku celananya. Namun, tidak menemukan apa-apa. Lalu, berbalik dan mulai mencari ponselnya.

El melangkah mendekat dan menatap pemuda itu dengan penasaran. Apalagi saat Vano sudah menemukan benda persegi itu. Tapi, kemudian, pemuda tinggi itu menghela napas dan menatapnya sambil mencebik.

"Duh, kayaknya klise banget ya pake lagu segala," gerutu Vano, "Ngga jadi aja deh."

"Loh, kenapa? Gue ngga masalah kok dengan lagu. Lagian, dulu gue suka dengerin Aga nyanyi."

Vano mendelik, "Aga siapa?"

"Yang biasa nyanyi di restoran tempat gue kerja. Putar aja lagunya. Gue pengen denger."

Vano menyipitkan kedua matanya, tapi ia tetap mengalihkan tatapannya ke layar ponsel. Lalu, mulai menekan-nekan pelan layar itu.

"Yah, gue ngga ada lagunya. Gue download dulu."

El mendelik sinis, "Ngga usah. Gue ngga tertarik lagi."

Vano tertawa pelan, "Bercanda. Ada kok, ada," ujarnya sambil menunjukkan layar ponselnya ke El. Belum sempat El membaca judul lagu tersebut, Vano sudah terlebih dahulu menyembunyikan layar itu.

"Tapi, gue mau lo meluk gue. Dari awal, sampe lagu ini habis," ujar pemuda tinggi itu.

"Gue mencium aroma-aroma modus di sini."

"Oi, lo mau ngga?"

El menghela napas. Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia membuka tangan kirinya.

Vano tersenyum senang, dan segera memeluk tubuh kecil tersebut. Setelah itu, memutar lagu tadi dengan volume besar, dan melempar pelan ponsel itu ke atas ranjang. Lalu, mengeratkan pelukkannya pada El.

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now