Ari berdecak. "Nyesel gue telepon lo"

"Jangan sensi kayak gitu. Kalo emang elo masih khawatir gue bisa cek kamar Mama. Biar lo tau dia baik-baik aj.."

Brak! Kini ganti Ari yang mematikan telepon. Ia berjalan menuju dapur dan meneguk air yang tadi ia tinggalkan. Lewat pintu yang terbuka lebar yang membatasi dapur dan sebelah garasi, Ari melihat Jaguar hitam terpakir. Lalu ia raba kap mesin tersebut. Hangat. Seketika mukanya mengegang. Papanya baru tiba di rumah.

Di kamar yang lain, keresahan juga lambat-lambat merayap hati Ata. Kini otaknya bagai proyektor kecil yang lagi-lagi memutarkan mimpinya tempo hari. Mimpi aneh dengan mamanya pada bagian akhir. Ata menghela napas, ia tahu ia tak akan bisa kembali tidur.

Sama dengan Ata, Ari terlalu takut untuk tidur lagi hari itu.  Kecemasannya makin membumbung tinggi. Ia tahu ia harus mengunjungi Mamanya. Di balkoni kamar, ia menyeruput coklat panas sambil menatap sunrise nan indah pagi itu.

Di lantai bawah, Jaguar hitam Papa Ari baru dinyalakan. Fahri, sang pemilik masuk ke dalamnya lalu membawa mobil itu ke tengah pekarangan. Setelah itu, ia tinggalkan mobil itu, membiarkan agar mesinnya memanas.

Ari menatap dingin Papanya di lantai bawah. Ia bahkan lupa kapan terakhir melihat pria itu. Hari ini hari minggu. Ada alasan mengapa pria itu bangun sepagi ini. Pasti ia akan pergi bermain golf.

Masih di bawah bayang-bayang mimpi itu, Ari masuk kembali ke dalam kamar lalu meraih ponselnya. Ia harus tahu bahwa Mamanya baik-baik saja.

"Iya Ri.."

"Ma, Mama lagi apa?"

"Mama mau buat sarapan buat Ata sama Tante Lidia. Kamu udah sarapan sayang?"

"Ng.. belum Ma"

"Kesini aja sayang, kita sarapan bareng"

"Iya Ma, hari ini Ari juga mau kesana, tapi nanti siang. Hari ini Bi Asih masak. Dia wanti-wanti Ari supaya sarapan di rumah" Ari menggaruk kepala sambil cengengesan. "Dia bilang sayang kalo enggak dimakan Ma, mubazir"

Disebrang sana, Aninda tersenyum. "Ohh.. oke deh sayang"

Setelah itu Ari terdiam. Ia menarik nafasnya. Mencoba mengatakan sesuatu yang telah ia pikirkan matang-matang "Mah, Ari.. Ari.. kangen sama Mama, Ata dan.. Papa. Aku.. aku kangen kita"

Seperti petir di tengah teriknya matahari, Aninda tersambar. Wanita itu membisu.

"Sekarang Mama udah disini, di Jakarta. Kita berempat udah enggak jauh-jauhan lagi. Lagi pula.."

Aninda langsung memotong. "Ini bukan masalah distance Ri"

"Lalu apa Ma?" Tanya Ari lagi dengan suara yang lebih lantang. "Ada masalah apa antara Mama sama Papa? Apa yang membuat Mama dan Ata pergi waktu itu?"

Akhirnya datang hari ini. Dimana salah satu dari kembar itu menanyakan hal yang cukup menohok hati. Suatu pertanyaan yang telah lama tersimpan di dalam sanubari. Yang akhirnya berhasil keluar setelah sembilan tahun itu terlewati.

"Ari, tolong mengerti posisi Mama. Kamu tau apa yang terpenting Mama sekarang? Bukan diri Mama sendiri, juga bukan untuk Papa. Situati seperti ini kami hanya berusaha melakukan yang terbaik. Buat kamu, juga buat Ata"

Ari terenyuh.

"Lalu bagaimana dengan Mama dan Papa? Aku cuma ingin kita kumpul lagi Ma!"

Namun tak sampai hati Aninda membiarkan Ari terus terjebak pada satu pertanyaan itu. Ia tahu seperti apa terbelenggu satu buah pertanyaan besar tanpa pernah terpecahkan.

Jingga Untuk MatahariWhere stories live. Discover now