✨ His Smile Is A Thorn

11.3K 1.3K 53
                                    

Tell me if even this pain isn't real. What I was supposed to do back then?
- Singularity -

💫💫♠💫💫

"--berlututlah kalau perlu."

Pria yang diperintah itu hanya menyeringai mendengarnya. Mengucapkan sebuah kata maaf saja ia tidak berniat, apalagi sampai berlutut.

"Cih. Kau pikir aku akan melakukannya kali ini?"

"Kau hampir membunuhnya!"

Tak pernah diberi kesempatan untuk menjelaskan. Tak pernah dipercaya sejujur apapun dia berkata. Alasannya karena hal yang seharusnya tidak disangkutpautkan sama sekali. 'Ayahnya pernah korupsi, bagaimana bisa kau percaya sifatnya tidak akan menurun ke anaknya itu?' Begitulah kalimat yang dilontarkan manusia seenaknya.

"Bukankah aku sudah mengatakannya? Bukan aku yang memukulinya sampai babak belur begitu."

"Lalu siapa lagi, Jeongguk? Katakan satu nama lain selain namamu sendiri."

"Park Jimin?"

"Bahkan kau terdengar tidak yakin."

Jeongguk hanya tersenyum miring. Bukan, sama sekali bukan karena ia tidak yakin akan nama yang disebutkannya. Hanya saja ia lebih suka mempermainkan daripada dimainkan.

"Jadi apa hukumanku kali ini, guru Park?"

Pria usia akhir 40-an itu membetulkan letak kacamatanya. Ia menatap korban dari balik kaca ruang UGD sebelum kembali menghadap Jeongguk. Wajahnya tak menunjukkan toleransi apapun kali ini. Oh betapa bahagianya Jeongguk melihat ekspresi yang seperti itu.

"Kau akan dipindahkan."

"Alasannya? Karena aku dituduh tanpa bukti hampir membunuh anak jaksa di sekolahan begitu?"

Jeongguk punya senyuman yang membuat orang lain bergidik ngeri. Ia mengeluarkannya hampir setiap saat sehingga orang tidak yakin apakah ia bisa tersenyum secara normal. Meski begitu, guru Park tahu pria itu adalah seorang yang cerdas dan seolah bisa membaca pikirannya.

"Atau karena kau takut aku bisa membuktikan bahwa Park Jimin-lah yang hampir membuat anak jaksa itu hampir mati?"

"Final, Jeongguk." Suara guru Park tercekat di tenggorokannya. "Kau akan dipindahkan ke sekolah lain besok."

💫💫♠💫💫

Jeongguk tidak peduli lagi pada takdir yang akan membawa jalan hidupnya. Mau membuka mulut untuk membela diri pun sudah malas. Plus, dia sudah muak dengan sekolah lamanya ini. Akan lebih baik jika ia tak melihat wajah semua orang disini, terutama wajah Park Jimin.

Pria berarang hitam itu menaiki tangga menuju atap sekolahnya dengan lambat. Menikmati sensasi terakhir tempat favoritnya sebelum ia tak pernah kembali lagi. Pintu rooftop pun terbuka dan angin sepoi-sepoi menyapa tubuhnya.

Jeongguk berbaring di tempat terjauh dari pintu. Melipat tangannya sebagai bantalan dan memandang langit biru bersih di hadapannya.

"Seandainya hati manusia sebersih itu." Lirihnya pada diri sendiri.

Pria itu memejamkan matanya. Ia jelas merasakan kehadiran orang lain disana, tapi ia tak berniat menyapa maupun berpindah tempat. Dari asap tembakau yang bercampur daun mint saja Jeongguk sudah tahu siapa penyulutnya.

"Senang mendengar kabar kau akan dipindahkan besok, Jeon Jeongguk."

Dan balasan yang diterima pria dengan sudut bibir juga dahi robek itu jauh lebih ringan namun tepat sasaran. Giginya bergemelutuk mendengar jawaban tersebut sementara si pengucap tetap santai memejamkan matanya.

"Senang tidak menghirup udara yang sama lagi dengan pengecut sepertimu, Park Jimin."

💫💫♠💫💫

Kabar tentang Jeon Jeongguk yang dipindahkan ternyata menyebar dengan cepat. Dari satu mulut ke mulut lain, sampai akhirnya semua mulut mengatakan berita yang sama.

Mayoritas tentu senang dengan Jeongguk yang akan meninggalkan sekolah Tongyeong dengan segera. Sedangkan minoritas, seperti beberapa gadis yang menggemari mantan atlet bela diri itu mendatanginya dengan wajah amat sedih.

"Kami turut bersedih, oppa."

"Kami percaya jika bukan kau pelakunya, oppa."

"Kami akan sangat merindukanmu."

Jeongguk tidak mengenal nama mereka. Ia hanya tersenyum tipis dan menerima cokelat serta sekotak kue yang diberikan ketiganya. Tak lupa sengaja menyentuh jari gadis yang menyerahkan kotaknya sehingga ia merona.

"Aku mungkin akan merindukan kalian juga."

"Baik-baik disana ya, oppa."

"Tentu saja."

Jeongguk tersenyum hingga gigi kelincinya terlihat. Ketiga gadis itu membalasnya dengan merona hebat. Hanya saja rasa kagum yang menyilaukan itu membuat mereka buta. Tidak bisa melihat bahwa senyuman pria itu penuh kepalsuan dan pemaksaan.

Tas Jeongguk dipenuhi makanan yang didominasi cokelat sekarang. Ada juga beberapa kaleng minuman ion yang mungkin akan ia minum nanti. Sementara surat-surat berpita cantik telah diremasnya dan dibuang tepat ke tempat sampah terluar di Tongyeong High School. Ia tidak menyakiti orang tepat di depan matanya, karena melukai dari belakang terdengar lebih baik.

"Mungkin guru Park sudah gila." Ucap Jeongguk saat melihat surat rekomendasi untuk sekolah barunya. "Well, Seoul tidak terdengar buruk sama sekali. Permainan apa yang tepat untuk kumainkan di kota metropolitan itu, ya?"

Jeon Jeonggguk sudah tidak sabar untuk membuat masalah di Seoul. Kota yang lebih besar mempunyai penduduk yang jauh lebih padat. Artinya? Lebih banyak manusia yang hidup. Lebih banyak manusia yang bisa ia permainkan. Lebih banyak manusia yang akan ia jatuhkan.

Jadi Seoul, bersiaplah karena Young God will destroy you until the last drop of your innocent blood and the last piece of your good heart.

💫💫♠💫💫

Kayaknya alur ff yang satu ini bakal berbelit-belit deh 😅😅

Hayo yang udah nungguin, nyesel ga nunggunya? Hahahhahhah

Young God(s) || KookV [ √ ]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora