02. Kapan Gendong Cucu

107 24 31
                                    

Selepas makan siang, Ona membawaku pergi setelah mengantongi izin dari mamanya yang hari ini pulang lebih awal karena asam lambungnya naik. Tante Mei memang mengidap penyakit lambung akibat stress dan pola makannya yang buruk.

Padahal aku sebagai PA-nya sudah cukup mengatur jadwal makan tante Mei dengan baik. Tapi tetap saja aku kecolongan karena tidak mengurusi tante Mei 24/7.

Ona yang hari ini juga cukup santai dengan pekerjaannya mengajakku ke reflexology langganannya. Aku memang sering menemaninya di waktu-waktu tertentu bila pekerjaan kami tidak terlalu padat. Entah kenapa dari awal aku bekerja di Sasongko House, kami berdua langsung cocok.

"Kak, abis ini bisa antar aku ke bandara kan?" Ona melayangkan pertanyaan ketika kami hendak keluar dari gedung reflexology ini.

"Ke bandara mau ngapain emang?" Tanyaku balik.

"Ada yang mau aku jemput."

Aku menaikan alis tanda meminta jawaban lebih atas pertanyaanku.

"Kak Manda jangan bilang-bilang mama tapi ya. Aku mau jemput mas Ar," lanjut Ona kentara dengan wajah berbinar.

"Loh, masmu pulang? Katanya udah gak inget rumah," jawabku tak acuh.

"Bukan gak inget rumah kak, cuma males pulang aja kalau ayah masih gak mau restuin dia sama pacarnya."

Aku memang pernah beberapa kali mendengar tante Mei mengeluhkan tentang anak lelakinya yang tinggal di London sejak ia mengambil gelar magister di Architectural Association. Saat lulus kuliah enam tahun yang lalu, ia memutuskan untuk menetap di sana setelah menerima pekerjaan sebagai desainer interior di BuroHappold Engineering United Kingdom.

Ia rutin pulang ke Indonesia saat libur musim panas dan menjelang natal. Kemudian empat tahun yang lalu, dia membawa seorang gadis ke perayaan natal keluarga besar Sastrawiguna. Dan entah kenapa om Pram, suami tante Mei menolak kehadiran gadis itu.

Sejak saat itulah anak sulung tante Mei tidak pernah lagi menampakan wajahnya di setiap perayaan keluarga. Atau bahkan tidak pernah lagi menjejakan kakinya di Indonesia ya. Entahlah. Yang jelas dua tahun yang lalu tante Mei sempat berlibur ke London selama tiga pekan yang kuyakini untuk menemui anak lelaki semata wayangnya itu.

"Kenapa om Pram bisa gak restuin sih, Na? Emang ceweknya gak banget?" Aku mengajukan pertanyaan yang tak benar-benar ingin ku ketahui jawabannya saat kami memasuki mobil Ona yang ku kendarai.

Ona tampak berpikir. Kemudian menjawabnya seraya berbisik.

"Ayah pernah mergokin cewek itu nginep di apartemennya mas Ar waktu visit ke London."

Sontak aku membelalakan mata sambil menoleh sekilas ke arah Ona. Sial banget kepergok sama ortu lagi nginep di tempat laki. Jadi penasaran dengan kisah hubungan dua sejoli yang tak mendapat restu itu.

Ona berdehem dan kembali melanjutkan ceritanya.

"Katanya bukle Hana, ayah mergokin cewek itu lagi tidur di ranjangnya mas Ar cuma pake baju tidur tipis slash lingerie, dengan posisi tangan dan kakinya meluk mas Ar yang cuma pake boxer brief," ucap Ona dramatis dengan mata membulat.

"Detail banget, Na."

"Kak Manda kayak nggak tahu kelakuan bukle aja. Ngomong ya gak pernah disaring sekalipun yang nanya tuh aku."

Sedikit informasi, bukle Hana itu adiknya om Pram yang paling bontot. Dia punya mulut ceriwis banget, suka nyinyirin orang, asal jeplak, pokoknya kalau ngomong seenak udelnya aja. Tapi dibalik semua itu, bukle Hana aslinya baik. Dan keceriwisan plus nyinyirnya itu karena perhatiannya sama orang yang dia sayang.

"Jadi, om Pram gak setujunya karena cewek masmu pernah nginep di apartemennya?"

"Iya. Ayah langsung aja ngecap cewek itu gak bener. Katanya bukle sih ayah sampai ngusir mbak Tala dari apartemen mas Ar, terus si mas ditabokin sama ayah. Pokoknya mereka jadi ribut besar gara-gara mbak Tala. Mas Ar gak mau nurutin kemauan ayah buat mutusin hubungan sama mbak Tala." jelas Ona penuh semangat.

Selama ini aku tidak begitu tertarik dengan kisah si anak sulung yang tak pernah pulang itu. Teh Ara, sang penjahit yang telah mengabdikan dirinya di Sasongko House sejak didirikan kerap kali menyinggung soal mas Ar dengan para penjahit lain. Tapi aku tak pernah ikut masuk ke dalam obrolan mereka.

Baru kali ini aku pay attention karena Ona pandai sekali membuat obrolan yang menarik. Antusiasmenya saat bercerita membuat aku ikut larut dalam pembicaraan.

"Terus sekarang kenapa masmu tiba-tiba pengen pulang kalau pernah ribut sama om Pram? Dia putus sama ceweknya?"

"Justru kebalikannya, kak. Sebulan yang lalu, mama bilang ayah nyuruh mas Ar pulang kalau mau dapat restu dari ayah."

"Kok tiba-tiba?" Tanyaku heran dengan perubahan sikap om Pram yang kutahu selama tiga tahun ini memang tak pernah mau mengalah.

"Ayah capek kali berantem terus sama si mas. Empat tahun mereka gak saling kontak. Mas Ar juga udah mau 34, tapi belum nikah juga. Kapan mama sama ayah bisa gendong cucu."

Aku terdiam. Tiba-tiba memikirkan orangtuaku sendiri. Kapan mereka bisa gendong cucu kalau bang Adi tak kunjung menikah dan malah mengizinkanku untuk melangkahinya. Jangankan melangkahi, calon saja masih belum terlihat batang hidungnya.

Memang susah kalau punya kakak yang juga tak mau terikat dalam pernikahan. Padahal usia bang Adi sekarang sudah 30 tahun. Entah apa yang membuat dia tak kunjung ingin menikah. Yang pasti jelas berbeda dengan aku yang memang pernah dikecewakan oleh orang yang kuseriusi selama lebih dari lima tahun.

"Lagian, bentar lagi anniversary pernikahan mama sama ayah. Jadi, aku sama mas Ar udah sepakat mau bikin kejutan. Makanya kak Manda jangan bilang-bilang mama ya kalau mas Ar ada di Bandung, biar surprise gitu," ucap Ona menjelaskan dengan semangat tanpa benar-benar masuk ke dalam pikiranku yang tengah berkelana.

Distraction - Reveals your true desireWhere stories live. Discover now