"Tidak apa-apa tiara, setiap hal yang kamu lakukan besar ataupun kecil sangat berarti kepada diriku dan juga keluargaku" balasku kepadanya. Dengan spontan aku mencium kening tiara dan dia sepertinya biasa saja dengan perlakuan diriku itu. Namun tidak dengan ibu dan juga ayah, mereka melihatku dengan tatapan kaget. Dan sedikit kemudian wajah ibu langsung tersenyum melihat kami berdua. Tapi tidak dengan ayah, wajahnya berubah menjadi seperti orang kesal, "Kenapa pria itu? Iri melihatku seperti ini?" tanyaku dalam hati.

Sebenarnya hubunganku dengan tiara semenjak kami bertemu semakin hari, semakin baik. Dia seperti pengganti kakak bagiku yang tidak pernah aku miliki sebelumnya, dia membantu diriku di setiap kesusahanku dan mengajarkan diriku untuk menjadi lebih mandiri dari sebelumnya. Karena menurut tiara, diriku menjadi seperti ini karena aku terlalu dimanja dan selalu menyalahkan hal lain tanpa mencoba untuk memperbaiki diriku terlebih dahulu.

Tiara selalu mengatakan bahwa kalau kamu mengalami kegagalan atau tidak mendapatkan sesuatu yang seperti apa kamu inginkan, cobalah untuk tidak menyalahkan hal lain. Salahkan dirimu sendiri, kenapa dirimu sendiri tidak melakukan hal yang lebih baik, kenapa kau terlalu malas untuk berusaha. Karena yang membuat dirimu naik ke gunung tertinggi adalah dirimu sendiri, dan yang membuat dirimu terjatuh ke dalam jurang yang dalam adalah dirimu sendiri jua.

Dan karena tiara dan juga kakek, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan SMA ke Jakarta. Melainkan tetap tinggal disini, selain untuk membantu nenek mengurusi kakek, aku juga tidak ingin terlalu jauh dari tiara. Dan aku memilih di SMA yang sama dengan tiara, dan juga memilih kelas yang sama pula.

Tiara bagiku tidak hanya seorang wanita yang pintar, bijak dan juga cantik, dia juga sumber inspirasi dalam hidup. Walaupun dia dapat meminta apapun kepada orang tuanya yang aku yakin pasti dibelikan oleh mereka, namun dia memilih untuk menabung serta mengumpulkan uang sendiri dengan usahanya sendiri.

Di usianya yang masih muda seperti ini, dia sangat aktif dalam kegiatan jurnalistik. Dia sering membuat artikel di surat kabar ataupun majalah, dan dari situ dia sering mendapatkan uang saku tambahan. Dia bisa membeli buku, baju dan bedaknya tanpa meminta kepada orang tuanya. Dan hal itu membuatku diriku kagum kepadanya. Bukan hanya diriku saja yang merasa demikian, ternyata hal itu juga dirasakan oleh ibu.

Sehabis pemakaman kakek, ibu mengajak kami sekeluarga untuk makan malam bersama sambil berbicara dan bercanda. Hal ini dilakukan olehnya agar sejenak melupakan kesedihan yang kami rasakan sekarang ini.

"Nak, tiara itu pacar kamu ya?" tanya ibu membuka percakapan. Aku yang tidak siap dengan pertanyaan itu langsung tersedak dan batuk-batuk.

"Pelan-pelan nak makannya, kamu kenapa sih sampai terkejut seperti itu mendengar pertanyaan ibumu?" ucap nenek.

"Ah kalian ini, mengapa juga harus membahas tentang diriku. Bukankah ada topik yang lebih menarik lainnya dibandingkan dengan kisahku dengan tiara?" sanggahku.

"Sebenarnya ada, namun kami lebih tertarik dengan kisah percintaan dua daun muda seperti kalian. Apalah kisah yang harus kami bagikan para tua-tua ini" ucap nenek,

"Ya benar sekali itu bu, tanpa terasa anakku kini sudah bertambah dewasa dan sialnya aku tidak menyadarinya bu. Kini di depan mataku dia sudah berani untuk bermesraan dengan wanita lain, sedangkan tangan ibunya sendiri sudah tidak pernah lagi dicium. Sungguh terlalu" ucap ibu sambil tersenyum menyelidik.

Pikiranku kemudian mengingat kembali apa yang telah aku lakukan dengan tiara, dan tiba-tiba aku menepok jidatku ketika aku menyadari bahwa aku tadi mencium kening tiara. Sungguh sial.

Journal Of Exaudi [Finished]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt