Di lain kesempatan, aku juga sengaja merusak laptopnya dengan memasukkan virus kedalam laptopnya yang membuat semua datanya hilang dan tidak dapat digunakan, atas kejadian itu hampir saja dia dipecat oleh kantor tempatnya bekerja. Kala itu aku sudah duduk di bangku SMP kelas satu, diriku sudah mengenal komputer karena ibu sudah membelikannya sebagai media belajarku pada masa itu.

Diriku kemudian mencari cara lain untuk balas dendam kepadanya, dan kepala yang cemerlang ini mengeluarkan ide untuk mensabotase laptopnya. Aku kemudian mendownload sebuah virus komputer yang mematikan dari internet dan mencopy filenya ke flash disk ayah, kemudian diam-diam aku memindahkan file tersebut dan menjalankannya di laptop ayah.

Virus itu memang tampaknya sangat mematikan. Belum sampai 1 jam, semua data yang ada di laptop ayah sudah hilang semua, laptopnya juga terlihat error dan seperti tidak dapat digunakan. Akupun sengaja memasukkan virus itu ke komputerku dan membuat komputerku menjadi rusak juga, hal ini aku lakukan untuk menghilangkan jejak dan juga barang bukti dan dapat menyalahkan internet sebagai pelakunya.

Kejadian itu juga sepertinya meloloskan diriku dari tuduhan sebagai tersangka, karena alasan yang aku berikan terlihat masuk akal dan juga dapat diterima oleh mereka.

Namun walaupun begitu, aku tidak melihat perubahan yang signifikan atas sikap ibu terhadap diriku, malah semakin hari dia semakin dekat dengan ayah. Bagaimanapun aku membuat ayah terlihat buruk di depan ibu, namun tetap saja ayah lebih baik diperlakukan daripada diriku.

Hal ini membuat diriku iri dan juga cemburu atas perlakuan ibu tersebut, kenapa harus ayah yang diperlakukan lebih baik, kenapa bukan aku? Akukan anak kandungnya, sedangkan dia hanyalah suami baru-nya, aku sudah hidup lebih lama dengannya dibandingkan dengan pria itu.

Kejadian ini membuatku semakin terpuruk, aku kemudian mengingat masa-masa lampau ketika bapak masih hidup dan kami tinggal di rumah kami yang lama. Aku merindukan bapak, disaat yang seperti ini bapak biasanya selalu ada untuk menghibur diriku, bapak selalu membuatku tersenyum di setiap keadaan burukku dan dia selalu berusaha untuk membuatku tertawa dengan candaan anehnya.

Di setiap malam diriku selalu berdoa untuk bapak, dan aku juga berharap agar aku dapat ditempatkan dekat dengan bapak kelak, hanya itu harapan di setiap doa yang aku panjatkan.

Masa-masa kesedihanku ternyata tidak memiliki aturan waktu, aku terkadang menangis di rumah, aku menangis di kamar mandi, dan kadang aku menangis di ruang kelas. Teman-temanku tidak ada yang tau dan bahkan cenderung tidak peduli dengan apa yang aku alami, kecuali Arman.

Arman adalah seorang anak lelaki yang kebetulan berada di kelas yang sama denganku, dia duduk di paling ujung belakan sebelah kiri ruang kelas ini dan sepertinya dia terlihat seperti anak nakal. Dia selalu berpakaian tidak rapi, namun bersih dan wangi. Kulitnya memang tidak terlalu bersih dibandingkan diriku, mungkin karena dia tidak seorang anak manja seperti diriku yang selalu diantar jemput oleh 'supir'.

Dengan wajah yang datar dia mendatangi diriku, dia duduk di bangku sebelahku dan dia tampak menunggu kesadaran diriku untuk menyadari keberadaan dirinya. Dan aku memang sebenarnya sadar dengan keberadaannya, akupun pura-pura bangun sambil mengusap air mataku, semoga dia tidak sadar diriku sedang menangis barusan.

"Kau kenapa menangis?" ucapnya agak lembut.

"Tidak, siapa yang menangis. Dan lagian apa urusanmu denganku?" kataku dengan sedikit kasar.

"Sudah, jangan berbohong, ini air matamu masih tertinggal sedikit, kau menangis seperti habis diputusi oleh pacarmu" ucapnya yang sedetik kemudian mengusap air mata yang berada di pipiku.

Aku hanya bisa terdiam ketika dia mengusap pipiku dengan tangannya, tangannya agak kasar seperti orang yang telah bekerja keras seperti kuli bangunan. Aku kemudian menyadari bahwa tidak semua orang tidak peduli denganku, masih ada satu orang yang peduli dengan diriku, Arman ini contohnya.

Journal Of Exaudi [Finished]Where stories live. Discover now