Ah, El jadi kangen Poppy. Kucing hitam itu suka sekali bermanja pada dirinya. Mengekori kemanapun ia melangkah di apartemen, dan selalu membuat ramai suasana apartemennya dengan bunyi lonceng yang menjadi mata kalung kucing itu.

"Jangan-jangan, Poppy udah lupa sama gue?" tanya El pelan.

Vano kembali tersenyum, "Ngga mungkin lah. Poppy selalu nungguin lo tau. Dia selalu duduk di dekat pintu, pas jam-jamnya lo biasa pulang sekolah dan tengah malam waktu dimana lo pulang kerja. Manis, ya?"

Sudut bibir El refleks naik sedikit. Membentuk senyum kecil yang samar, "Ya. Manis."

Vano memutar setirnya. Mobil itu memasuki pekarangan sebuah rumah. Rumahnya tidak terlihat mewah. Walaupun bertingkat, tapi kesan nyaman yang tergambar. Pekarangannya juga ditumbuhi oleh beberapa tanaman. Indah. Terlihat asri.

Mobil mereka berhenti. Vano melepas sabuk pengamannya, dan segera keluar. Ia mengambil kursi roda El yang ia lipat dia kursi belakang. Lalu, membukanya, dan ia letakkan di dekat pintu depan.

Pintu itu, Vano buka. El menghela napas. Tangan kirinya melingkar di leher Vano saat pemuda itu akan mengangkatnya. Ia berdecak pelan saat bahu kanannya refleks bergerak untuk ikut berpegangan.

"Udah?" tanya Vano.

El mengangguk, dan mengeratkan pelukannya. Vano segera mengeluarkan tubuh kurus itu, dan mendudukkannya di kursi roda.

"Kapan gue bisa jalan lagi?" tanya El.

"Butuh beberapa bulan lagi. Ntar gue tanyain ke Dokter yang nanganin kaki lo untuk waktu pastinya."

Vano mendorong pelan kursi roda tersebut. Saat sampai di depan pintu masuk, pintu itu sudah terlebih dahulu dibuka. Adiknya Vano. Perawakannya tidak setinggi atau segede Alvano. Adiknya ini... normal. Tingginya standar seperti anak-anak cowok lainnya. Kulitnya sawo matang. Pribumi sekali. Terlihat sangat berbeda dengan kulit El yang putih pucat.

Dia terpaku di ambang pintu. Menatap El sambil sesekali mengerjap.

"Ada apa, Je?" tanya Vano bingung.

Dia tersentak, "Ah, e-enggak," sebelah tangannya mengusap tengkuk dengan canggung. Ia masih menatap El.

"Erm.. hai?" ujarnya mencoba untuk menyapa El.

Si kecil itu tak membalas. Hanya diam dan menatap anak itu dengan lekat. Membuatnya semakin merasa gugup.

Tapi, tak lama kemudian, El menghela napas dan mengulurkan tangan kirinya, "El," ujarnya singkat. Berhubung dia akan menumpang di sini selama waktu yang belum bisa ditentukan, dia rasa, dia harus mencoba akrab dengan penghuni tetap rumah ini.

"Ah," anak itu segera menyambut uluran tangan tersebut. Menyadari betapa rapuhnya tubuh pemuda yang hanya berjarak setahun lebih tua darinya ini, "YongJe."

Sebelah alis El terangkat, "Korea?"

Adik Alvano itu meringis, "Iya. Pas Ibu lagi hamil saya, dia ketagihan nonton drakor full home. Jadi, dia ngasi saya nama tokoh utama cowoknya," ujarnya pelan.

Vano menelan ludah dan bersyukur dalam hati. Untung gue ngga dikasi nama India, batinnya.

"Ooh."

"T-tapi, Kakak panggil Jeje aja."

El mengerjap, "Kenapa?"

"Kalo manggil 'Yongje', saya malu."

"Yongje, bagus kok. Yah, terserah kamu sih," El tidak terlalu peduli juga, sebenarnya.

Jeje menatap Vano, "Ada barang-barang yang perlu aku bantu bawa?"

Happiness [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang