Friendship

3.5K 388 41
                                    

Aku iri.

Iri pada keluarga yang setiap akhir pekan pergi liburan bersama, tiap pagi bersenda gurau dimeja makan, saling membantu saat ada kesulitan, dan saling mengerti saat ada kesalahpahaman.

Kapan aku bisa seperti itu?

Mustahil, itu hanya angan-anganku saja.

Tuhan sudah memberiku takdir, untuk terlahir dan hidup dikeluarga yang kurang baik. Terutama dalam hal keharmonisan, huh, di keluargaku sepertinya itu adalah hal yang sangat langka.

Laras, begitulah aku dipanggil. Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara, ah tidak, harusnya anak kedua dari tiga bersaudara. Sayangnya, kakakku sudah pergi ketempat-Nya sejak 2 tahun lalu. Dia mengalami depresi berat, dan akhirnya memilih untuk mengakhiri semua cerita pahitnya di dunia ini.

Sakit rasanya, jika mengingat bagaimana dia meninggalkanku dan adikku dengan cara seperti itu. Sosok dewasa dan penyayang yang selalu melindungi adik-adiknya, kini sudah tiada.

Apa yang membuat kakakku seperti itu?

Keluargaku, tentu saja.

Ayah dan ibuku selalu bertengkar hebat tiap ada masalah kecil. Aku tidak mengerti kenapa, mereka suami-istri tapi tiap harinya seperti orang asing yang tidak saling kenal. Mereka lebih seperti musuh yang disatukan dalam satu rumah.

Tiap ada hal kecil yang tidak sesuai dengan apa yang mereka mau, pasti langsung terjadi cek-cok panjang yang berujung pertengkaran fisik. Dan parahnya, itu sering terjadi dihadapan aku dan adikku. Apakah itu pantas?

Tentu tidak.

Dulu mungkin ada kakak yang melindungi dan menenangkan kami, tapi sekarang? Aku yang harus menggantikannya. Adikku masih terlalu kecil untuk tahu hal-hal keji seperti itu.

Tapi untungnya, nenek dan kakek mau membantuku, mereka membawa adikku untuk tinggal bersama dan merawatnya. Aku lega, setidaknya adikku kini tidak perlu lagi melihat hal yang bukan sewajarnya dilihat oleh anak usia 4 tahun.

Jangan tanya soal persetujuan Ayah dan Ibuku. Mereka tidak peduli soal itu, yang mereka tahu soal merawat anak adalah memberi makan, menyediakan tempat tinggal, dan memberi uang. Miris.

Yah, setidaknya mereka ada sedikit usaha menghidupi anak-anaknya. Meski pada kenyataannya, kami lebih membutuhkan perasaan mereka sebagai orangtua dibandingkan itu semua.

----

Hari ini, adalah hari minggu yang buruk. Pasalnya, cuaca sedang mendung dan mungkin akan turun hujan deras. Ahh sayang sekali, padahal aku ada rencana menonton film keluaran terbaru hari ini.

Aku keluar dari kamar dan menuju ruang makan. Mungkin dengan sarapan pagi, aku bisa mendapat ide untuk menghabiskan akhir pekanku dirumah. Itulah aku, perut harus diisi barulah pemikiranku cemerlang, hehe.

Sesampainya diruang makan, aku duduk dan mulai mengambil selembar roti tawar. Aku menggigit ujungnya dan menahannya dengan mulut, sementara kedua tanganku sibuk menuangkan susu ke gelas.

Selang beberapa menit, aku merasakan hawa kehadiran. Dan benar, Ayah dan Ibu baru saja keluar dari kamar mereka. Jujur, aku paling suka momen ini. Momen disaat Ayah dan Ibu keluar dari kamar dan menuju ruang makan secara bersamaan. Mereka terlihat akur, untuk beberapa saat.

“Pagi Ayah, Ibu” sapaku setelah bersusah payah mengunyah dan menelan langsung roti tawar tadi.

Mereka hanya berdehem singkat, dan duduk dikursi masing-masing. Lalu memulai sarapan dengan tenang, begitupun aku yang melanjutkan sarapanku.

Our Fake Life | RolePlayerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang