trente et un

2.3K 479 97
                                    

“Ya udah gua keluar bentar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Ya udah gua keluar bentar.”

“Ikut.”

Annan menggandeng tangan Anya keluar dari ruang VIP tempat ibunya dirawat.

“Ngapain ikut?” tanya Annan setelah mereka di depan.

Anya meremas tangan abangnya. “Anya... Anya mau beliin makanan kesukaannya bang Aga, biar dia senyum dikit.”

“Abisnya bang Aga udah kayak mau bunuh diri saking depresinya,” lanjut Anya.

Dari keempat anak bunda, Aga memang yang paling dekat dengan bunda. Aga yang paling sering mengajak bunda mengobrol sewaktu anak-anaknya yang lain sibuk. Aga juga yang paling sering menyuapi, menjaga semalaman, sampai mengajak bunda jalan-jalan sore.

“Ayo bikin Aga senyum.” Annan memaksakan bibirnya naik sedikit untuk membesarkan hati Anya, lalu mengajak adiknya keluar dari rumah sakit, menuju ke warung lalapan untuk membelikan Aga makanan favoritnya.

“Bang, jangan suka nggak masuk sekolah, 'kan ada bang Dipa yang jagain bunda kalo kita sekolah.”

Annan menatap jalanan yang ramai lancar. Meskipun Annan tidak sedekat itu dengan bunda, tetap saja hatinya hancur. Dia paham, semua pasti sama-sama hancur sepertinya, tapi Annan hanya takut dia kehabisan waktu....

“Bang Aga aja akhirnya mau sekolah lagi. Nggak mau nambah hukuman karena dia udah sering bikin onar di sekolah,” lanjut Anya. “Tapi, abang malah nggak masuk mulu. Seminggu cuma berapa kali abang masuk?”

“Aku masuk, Nya.”

Anya mengembuskan napas kasar. “Iya, cuma setor muka, abis gitu waktu istirahat abang ke rumah sakit 'kan? Terus nggak balik lagi.”

“Bang Aga juga beberapa kali kayak gitu, malah sempet bolos barengan. Kenapa nggak ngajak Anya?”

Annan tertawa, tapi secepat itu pula tawanya habis.

“Besok abang ambil rapor?”

Annan menggeleng. “Males. Mending jagain bunda aja. Aga udah selesai ngejalanin hukuman belum?”

Anya mengembuskan napas perlahan. Annan merupakan abang terkeras kepala yang ia punya. “Udah, tadi terakhir.”

Annan menghentikan mobilnya, saat dia akan membuka seatbelt, Anya mencegah, katanya, “Anya aja yang turun. Abang tunggu di sini.”

Annan kembali bersandar, dia memperhatikan Anya yang sedang memesan. Annan mengembuskan napas kasar, keheningan menyeruak seolah akan memakannya hidup-hidup. Perlahan tapi pasti, air matanya meleleh. Annan memang bukan anak pertama, atau anak yang harus menjadi panutan—karena orangtua mereka memang tak pernah menuntut siapa pun menjadi panutan—tapi dia hanya tak bisa selepas Aga maupun bang Dipa saat mengekspresikan perasaannya.

Air matanya dengan cepat ia paksa berhenti. Setidaknya, dia tak ingin membuat Anya semakin bingung harus membuat senyum semua abangnya. Annan yakin, adiknya itu sebetulnya juga butuh support.

Annan melirik ke arah ponsel yang ia geletakkan asal di mobil, sejak beberapa hari yang lalu. Dia hanya belum mau membagi permasalahannya dan membuat Aria mengkhawatirkan dirinya. Cewek itu sempat beberapa kali missed call, tapi Annan tak meneleponnya kembali. Meskipun Aria membuatnya benar-benar tertawa beberapa kali, tapi dia hanya tak ingin menyeret Aria terlalu dalam. Annan juga tak tahu bagaimana perasaan cewek itu. Mungkin masih belum bisa move on dari Aga.

"Bang, Anya lagi pengin fast food deh."

Annan tersentak. Sejak kapan Anya masuk? Kalau begini terus, bisa-bisa ia dicopet tanpa ia sadari.

"Itu apa?" tanya Annan sambil menunjuk kantong plastik hitam.

"Buat bang Aga sama bang Dipa 'kan? Abang mau beli lalapan juga?" tanya Anya.

Annan menggeleng. Napsu makannya bahkan sudah musnah dari dua minggu yang lalu.

"Senyum dong. Kalo senyum cakep tau."

Di hari biasa, Anya paling anti memuji abang-abangnya cakep.

Di hari biasa, Anya paling anti memuji abang-abangnya cakep

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
tell me it's okayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang