Aku merasa diriku menyebalkan. Entahlah. Sebagai manusia yang diombang-ambingkan emosi, aku sering mengingatkan diriku sendiri untuk tidak selalu mengikuti perasaanku. Secara sadar, aku tahu itu bodoh. Namun apa boleh buat, aku tidak bisa mengontrol perasaanku. Aku mengingatkan diriku untuk bahagia, tapi hatiku tidak berkata demikian, dan aku tidak bisa berpura-pura.

Acara jalan-jalan kami berakhir di bandara, di mana Surya sampai menggunakan jet pribadinya untuk mengantar mereka -- limabelas orang anggota keluargaku -- ke Manado. Tangan kirinya menggendong Tiara, dan tangan kanannya merangkulku, kami menyaksikan pesawat lepas landas. Benar-benar potret keluarga sempurna. Beberapa kali Detta memujiku sangat beruntung, punya suami kaya, tampan, dan sayang keluarga. Jika saja ia tahu kebenarannya, mungkin ia takkan berkata demikian.

Seharusnya aku tersentuh dengan tingkah suamiku. Karena itu, aku memaksakan diriku untuk tampil ceria di matanya.

"Sayang, makasih banyak udah perhatiin keluargaku," ujarku saat kami berjalan kembali ke mobil kami untuk pulang ke rumah.

"No big deal. Keluargamu kan keluargaku juga," sahut Surya.

"Kalau saja kamu terus bersikap seperti ini ..." tuturku.

"I will try, darling."

***

Senin pagi, setelah mengantar Tiara ke sekolahnya, aku tidak langsung pulang ke rumah, melainkan mampir ke Kebayoran Baru. Aku bilang pada supirku ingin mengatur les piano untuk Tiara, meskipun aku sebenarnya tak perlu bersusah payah -- tinggal telepon Alfred dan minta dia mengaturnya -- semua beres.

"Jemput aku di tempat yang sama setengah jam sebelum sekolah Tiara bubar," ucapku pada supirku.

Agak repot memang menjadi istri konglomerat. Aku tak pernah bebas dari pengawalan. Untungnya supirku yang ini tidak banyak membantah dan menurut. Begitu aku yakin dia sudah pergi dari pandangan, aku berbelok dan mencari alamat di tanganku. Kantor Mario juga terletak di Kebayoran Baru. Aku sudah meneleponnya dan mengatakan akan mampir ke kantornya pukul sepuluh pagi untuk melanjutkan obrolanku yang kemarin. Ia terdengar terkejut, namun mengizinkanku datang.

Sebuah ruko bercat putih dengan pintu kaca dengan plang Mario Gerungan Architecture menarik perhatianku. Aku tersenyum kecil. Ternyata ia sudah sangat sukses sampai dapat memiliki studio arsitektur sendiri. Aku mendorong pintu kaca dan masuk ke dalam. Dekorasi serba putih bergaya modern menyambut mataku. Suamiku memang berselera tinggi. Tak salah ia menunjuk Mario sebagai kepala arsitek pembangunan gedungnya yang baru.

Mario muncul dari ruangannya beberapa detik kemudian. Ia mengenakan pakaian kasual, kaos dan celana jins robek -- sesuatu yang takkan dikenakan Surya. Namun sekali lirik aku melihat bahwa celananya bermerek Gucci dan kaosnya berlambang Louis Vuitton.

"Hai, Nel, udah datang, toh, ternyata?" sapanya sambil menarik kursi putih di depan meja bundar. "Mari, silakan duduk. Mau minum apa?"

"Apa aja," sahutku klise.

"Kamu minum kopi, nggak?"

"Minum, kok," ujarku. "Di New York aku biasa ngopi jam segini."

"Baiklah, aku buatkan kopi untukmu sebentar, ya. Kopi luwak berkualitas tinggi, dan aku bereksperimen dengan racikannya sehingga rasanya nggak akan kamu temukan di kafe manapun."

Aku tersenyum. "Makasih, Mar."

***

Kami mengobrol soal banyak hal, mulanya soal teman-teman SMA kami yang lama sekali tak kudengar kabarnya setelah pergi ke Amerika. Awalnya aku masih bersurat-suratan dengan mereka dan sesekali menelepon, namun lama-kelamaan kami kehilangan kontak. Hanya yang benar-benar dekat denganku saja yang masih kudengar kabarnya. Namun tidak demikian dengan Mario. Beberapa teman SMA kami pergi ke universitas yang sama dengannya di Melbourne, sehingga ia masih mendengar kabar teman-teman lainnya dari mereka.

Disillusioned ◇Where stories live. Discover now