III. Permainan Takdir

192 36 0
                                    

"Eh?!" Buru-buru Alsava mengembalikan kesadarannya. Memukul-mukul ringan kedua pipi. "Gila, ya?" Mengutuk diri sendiri. Bagaimana bisa, hanya sebuah senyum membuat Alsava lupa daratan? Makhluk menyebalkan itu?

Alsava terkekeh sinis, mengejek diri sendiri. Pasti masalahnya belakangan ini membuat isi kepala Alsava sedikit bergeser.

Tidak ingin berlama-lama dengan pikiran melantur, Alsava buru-buru mengendalikan diri. Mencangklong tas punggung tanggung sewarna moka, lantas menepuk-nepuk pipi beberapa kali.

Dia menarik napas panjang-panjang. Segera menatap pantulan dirinya di kaca mobil.

Yakin penampilannya cukup rapi, tangan pucat Alsava membuka pintu mobil. Dan untuk yang pertama kalinya, kaki rampingnya menjejak di sekolah tersebut.

Tugasnya sekarang, mencari letak ruang kepala sekolah.

Selayaknya kebanyakan sekolah lain, Alsava menebak ruang kepala sekolah pasti berada di deretan depan. Tanpa menyadari ada perubahan pada dirinya semenjak keluar dari mobil. Yang pasti, langkah kaki berbalut sepatu hitam polos tersebut begitu ringan. Menjelajahi jalanan berkaveling menuju ruang kepala sekolah.

***

Sepertinya, sepasang bola mata Alsava sudah menggelinding bebas di lantai keramik ruang kepala sekolah. Bagaimana bisa semua orang berkonspirasi memusuhi hari pertamanya di sekolah ini?

Sebenarnya, semuanya masih baik-baik saja saat mengobrol sedikit dengan kepala sekolah. Kira-kira, begini ceritanya.

"Jadi, siapa tadi? Alsava?" Alsava mengangguk. Saat itu, dia memilih menyimak dengan khidmat. "Jadwal kelas kamu setelah ini Bahasa Inggris. Saya sudah memanggil Pak Dadang, penanggung jawab mata pelajaran tersebut, untuk mengantar kamu ke kelas. Sebentar lagi beliau datang."

Kurang lebih, begitulah Pak Purba—kepala sekolah barunya—menjelaskan tadi.

Dadang. Dipikirnya, nama yang ndeso tersebut akan membawa Alsava berkenalan dengan seorang pria tua berbadan tambun dengan kaca mata tebal serta kepala plontos tengah. Dan saat terdengar ketukan pintu, Alsava sudah menahan diri agar tidak menyemburkan tawa kalau-kalau guru tersebut sesuai dugaannya.

Namun sekonyong-konyong, kesadaran Alsava terjungkal begitu pintu dibuka. Jika tidak sadar tempat, mungkin dia sudah mengumpat detik itu juga saat tatapannya bertemu dengan guru yang dikiranya plontos.

Guru tambun dengan pakaian norak? Telan saja semua. Yang berdiri di hadapan Alsava sekarang malah seorang laki-laki pertengahan dua puluhan berpakaian necis. Kemeja putih panjang pas badan yang disetrika licin, dipadukan celana hitam bahan dengan tali pengikat dari kulit yang melingkar di pinggang.

Dadang? Dan Iswara?

Alsava ingin tertawa, mencoba menebak lelucon apa lagi yang menunggunya di sekolah ini.

Dadang, ya. Baiklah. Terima kasih untuk sedikit humor yang dihadapkan padanya sekarang. Paling tidak, ada yang bisa Alsava tertawakan dari sosok tunangan-nya itu. Walaupun hanya nama. Selebihnya ... jangan harap.

Jadi, biarkan Alsava menikmati selera humornya yang aneh, dengan memanggil Dan menjadi Dadang, mulai sekarang. Mungkin, sedikit menertawakannya jika suasana hatinya sedang buruk.

"Alsava?"

Mendadak, Alsava merinding saat namanya meluncur halus dari balik bibir tipis laki-laki itu. Dia sudah menatap horor, menyiapkan diri untuk kabur jika Dadang—Alsava bersumpah akan memusnahkan nama tersebut dari muka bumi—mengucapkan kata sakral yang mati-matian dia jauhkan dari telinga.

Between Badboy and Fiancé [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang