Pemuda mohawk itu menggerutu. Begitu sampai di pintu masuk rumah sakit, mereka berhenti. Hujan semakin menderas. Bara mengingat-ingat, apa dia bawa jas hujan atau tidak.

"Hati-hati bawa motornya. Atau lo pulangnya nanti aja, tunggu reda," ujar Vano.

"Hujan tuh kalo ditunggu, biasanya ngga reda-reda. Mending gue nerobos daripada ngga balik-balik."

"Hati-hati, Bar. Jalannya licin."

"Iya, tau gue."

Lalu, saat Bara melangkahkan kakinya, sebuah ambulans masuk ke halaman rumah sakit, dan berhenti di depan IGD. Kedua alis Bara naik ke atas.

"Apa tuh?" tanyanya.

Dahi Vano mengerut, "Ambulans."

"Ya, itu gue juga tau! Maksudnya-"

"Kecelakaan kali."

Mereka terdiam menatap para perawat yang mulai bergerak untuk mengeluarkan tubuh korban. Vano bersedekap dada, dan menatap Bara.

"Hati-hati. Jangan sampai, ada ambulans lagi masuk kemari, dan lo yang ada di dalamnya."

Bara mendelik sebal, "Kok lo makin kampret sih?! Doain gue selamat kek!"

"Kan gue bilang, lo yang ada di dalamnya, bukan lo yang jadi korban, eek," gerutu Vano.

Bara mencebik.

"Ya udah, sana! Gue mau nemenin El lagi."

Vano kembali melangkah masuk, meninggalkan Bara yang sedang misuh-misuh di luar.

Langkahnya pelan. Lalu, saat sampai, Vano segera masuk ke dalam dan menutup pintu ruang inap El. Ia menatap pemuda kecil yang asik tertidur itu dengan lembut. Kakinya melangkah mendekat, lalu menaikkan selimutnya. Di luar sana sedang hujan. Dia tidak ingin pemuda kecil ini kedinginan.

Setelah itu, Vano mengambil kursi yang tadi digunakan oleh Bara di dekat jendela, dan membawanya ke dekat ranjang. Ia mengambil buku yang belum selesai ia baca, dan duduk di kursi.

Sang Alkemis. Buku itu yang tengah Vano baca. Kaki kanannya menyilang di atas kaki kiri. Punggungnya menyandar dengan rileks. Kepalanya menunduk karena buku itu ia letakkan di atas pahanya.

Sesekali, bibir Vano menyungging seulas senyum tipis saat ditemukannya kalimat-kalimat yang penuh akan makna hidup.

Lalu, gerakan pelan dari jemari pemuda kecil yang berbaring di atas ranjang itu, langsung membuat perhatian Vano teralihkan.

Jantung Vano berdebar kencang. Kaki kanannya ia turunkan. Punggungnya menegak.

"El..?"

Buku itu ia tutup, dan ia letakkan di atas meja kecil yang berada di samping ranjang. Kedua matanya fokus menatap tubuh kurus di depannya itu. Namun, tak ada gerakan lagi.

Vano kecewa.

Ia mengambil tangan kiri itu, dan menggenggamnya lembut. Lalu, mengecup punggungnya pelan. Tangan kanan Vano beralih mengelus rambut itu. Bibirnya ia dekatkan ke telinga El.

"El.. lo denger gue?" bisiknya pelan, "Daniel, ini Alvano."

Tangan yang masih ia genggam itu, bergerak pelan. Merespon panggilannya. Tak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan ini, untuk Vano.

"El, ayo, bangun," ujarnya lagi. Mengelus rambut itu dengan lembut. Tangannya digenggam. El menggenggamnya.

"Daniel.." panggil Vano lagi, "..gue kangen."

Dan kedua kelopak mata itu, perlahan membuka.

Vano tersenyum bahagia. Ia mengambil napas dalam, dan segera menekan tombol nurse call yang berada di sisi ranjang. Keadaan El harus diperiksa.

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now