Prolog

16 3 7
                                    

"Tangkap mereka!"

Deru langkah menjejak pada permukaan tanah yang becek, hujan malam itu semakin deras, petir dan guntur beraksi tidak peduli. Beberapa prajurit mengambil arah berbeda, memotong jalan. Didepan mereka, dua orang yang dijadikan target pengejaran tersebut tidak berhenti maupun berkutik. Terus berlari menembus semak dan perdu didalam hutan tersebut.

Prajurit lain yang memotong jalan sudah berada dihadapan mereka, mengayunkan tombak tepat menuju titik vital salah satu dari mereka. Dia tidak gentar sedikitpun, malahan menangkapnya dan menarik tombak tersebut, tendangan mematikan dilancarkan dan membuat prajurit tersebut terpental. Tidak berhenti sampai disitu, dia lalu menebas sisa prajurit tersebut tanpa ampun, darah dan jeritan menggema membungkus malam kelam itu.

"Merepotkan sekali, mereka terus berdatangan." Pria yang berdiri dibelakangnya tersebut menghembuskan nafas panjang.

"Maafkan saya yang mulia. Saya akan segera membereskannya." Tho mengambil pedangnya yang sedari tadi masih bersarung, siap untuk melakukan serangan mematikan lain.

"Cukup, saat ini aku tidak mau melihatmu bermandikan darah. Kita harus segera keluar dari sini." Nam namanya, dia melompat dari lesatan panah yang terarah padanya, sekarang pasukan pemanah datang bersiap untuk menangkap mereka? Yang benar saja?

Tho mengangguk mantap, mereka berdua kembali berlarian didalam hutan tersebut, melewati gelapnya malam dan terjalnya jalanan yang dilewati, sekali dua Tho memberikan perlawanan dengan pedangnya. Namun sampai saat ini celah untuk lolos masih tidak ada, mereka masih ada dalam jangkauan pasukan pengejar.

"Kelihatannya mereka tidak peduli bila anda terluka, serangan mereka tidak ada ampun," ucap Tho setelah memukul wajah seorang pasukan hingga terpental. Dua lainnya tumbang oleh tendangan berputarnya.

"Mereka hanya peduli aku ditangkap atau tidak. Bahkan kalaupun aku mati sekalipun itu malah makin bagus buat mereka. Si brengsek itu merencanakan ini dengan sempurna, jalur pelarian kita bahkan mampu dilacak." keluh Nam tidak berhenti melompati batu-batu besar menuruni lereng tersebut.

Salah satu anak panah kembali melesat, membelah udara terarah pada mereka berdua. Tho menarik Nam, berlindung pada sebuah pohon. Lima orang prajurit ikut menuruni lereng tersebut, sisa pasukan bersiap diatas dengan panah mereka.

Pengejaran kembali terjadi, kali ini pergerakan mereka lebih cepat, lebih tangkas daripada mereka. Selain karena sudah hafal jalur pelarian, mereka juga sudah menyiapkan parit tersembunyi untuk menghambat pengejar. Nam dan Tho mulus menghindar, berlari cepat menuju pelabuhan kayu kecil yang sudah tertambat kapal disana.

Sederet pasukan sudah siap melepaskan anak panah, namun mereka kalah cepat, pemanah diatas kapal jauh lebih cepat dan gesit melancarkan serangan, separuh pemanah pengejar tumbang. Memberi waktu Nam dan Tho untuk naik ke kapal.

"Akhirnya kalian datang juga," sambut seorang pria dengan busur ditangannya, dia berjalan kearah mereka berdua.

"Dengan sedikit kekacauan tentunya. Kenapa kau tidak mengirimkan beberapa orang untuk melindungiku?" cercah Nam, menunjuk pria dihadapannya jengkel.

"Kami bahkan kesusahan menambatkan kapal disini, mengirimkan orang untuk melindungimu itu tidak perlu. Lihatlah, dengan Tho seorang saja kau berhasil selamat." pria dihadapannya itu tersenyum tipis, Nam mendengus kesal, kalau tidak ada keberuntungan mereka tidak akan sampai disini.

"Yang Mulia Pangeran Sinra." Tho membungkuk hormat.

Sinra mengibaskan tangannya."Tidak perlu, berdirilah."

Tho berdiri, bercakap satu dua hal dengan Sinra lalu pergi, membantu yang lain mengalahkan pengejar yang masih setia menembaki mereka dengan panah. Kapal telah berlayar, siap menuju lautan lepas.

"kita akan pergi?" Sinra bertanya, saat mereka sudah ada didalam geladak kapal.

"Untuk sementara, aku bahkan tidak tahu kalau ini akan terjadi."

"Yah..., tidak ada yang menyangka bukan, untunglah saat itu kau segera mengabariku, kalau tidak seluruh keturunan al-Weersa akan dibunuh."

"Tidak semuanya, Sinra." Nam bersandar pada kursi. "Si Brengsek itu masih ada disana, menikmati tahkta hinanya."

"Dan tunggu saja, kita akan membalasnya."

Kelinci Berjiwa HarimauDonde viven las historias. Descúbrelo ahora