1. RAMBUT DAN ANGIN ITU

376 19 0
                                    


“Lo perlu istirahat Fi,”

Ucapan itu berkali-kali memenuhi ruangan rapi yang akhir-akhir ini menjadi tempat Mengurung diri seorang pria bernama Luthfi Hasan Al-Fajari.

“Fi. Bisa gak sih dengerin Gue sekali ini aja. Stop frustasi. Lo gak usah mikirin dia yang gak kenal sama Lo. Gue gak bisa lihat Lo menderita kek gini,” bentak seorang pria berkaca mata yang berdiri di samping kanan Luthfi yang masih saja tak mau berpaling dari layar laptop dan setumpuk buku serta kertas-kertas yang berserakan di hadapannya.
Jari Luthfi terhenti.

“Dav, jelas-jelas dia berarti untuk Aku. Mana bisa Aku lupakan dia gitu aja,” nada bicara Luthfi memelas.

Dava melipat kedua tangannya di depan dada. Sambil berdecak sebal dan memutar bola mata jengah. “Lo terlalu terobsesi, Fi. Sampai-sampai jadi frustasi dan berubah jadi gila kerja buat mengusir semua kesedihan Lo. Fikir dong Fi. Lo juga butuh istirahat. Bukan kek gini caranya.” Nada bicara Dava semakin tinggi.

“Tapi Dav ... “

“Udah! Yang penting Gue udah peringatin Lo. Terserah. Gue udah berusaha baik sama Lo,” tunjuk Dava ke arah wajah Luthfi sebelum berlalu pergi meninggalkan dengan emosi yang masih berapi-api.

Luthfi terdiam. Lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kerja yang di dudukinya sepanjang hari. Membuatnya tak lagi bersahabat dengan kata istirahat.

“Astagfirulloh,” ucapnya. Sambil memijat pelipis yang terasa mulai menegang. Berusaha mencerna apa yang dikatakan sahabat sekaligus Kakak sepupunya itu.

Sampai seorang laki-laki memasuki ruangan itu. Menghampiri Luthfi, lalu menarik sebuah kursi yang sama persis seperti yang di duduki Luthfi. “Fi,” sapa nya.

Luthfi menoleh. Terdiam sejenak, lalu menghirup nafas dalam. “Zi? Ada apa?” Tanya Luthfi pelan.

“Dengerin Gue. Gue mohon. Kali ini. Gue gak akan marah seperti Dava kok,” ucap laki-laki bernama lengkap Mohammed Van Zizou Patamani itu.

Luthfi menghela nafas berat. “Ok.”

“Fi. Lo tahu sendiri keadaan Lo. Udah gak punya keluarga. Jauh dari kerabat. Di sini, Lo cuma punya kita. Gue, sama Dava. Kita sayang sama Lo, Fi. Lo itu sahabat yang hebat. Dan kita, gak mau kehilangan Lo. Plis Fi. Gue minta sama Lo. Jangan bersikap kek gini. Lo boleh sedih. Ok. Gue ngerti. Tapi lo gak boleh merasa bahwa Lo sendirian. Secara gak sadar, Lo bersikap seolah gak menganggap Tuhan itu ada. Gue mungkin muslim yang gak tahu banyak tentang agama. Tapi Gue percaya sama Allah Fi. Dan Lo. Lo orang yang faham betul sama hukum agama. Masa Lo gak percaya bahwa Allah itu ada? Masa Lo gak percaya bahwa di setiap kesedihan pasti ada hikmah? Ke mana ilmu sama kepercayaan Lo, Fi? Bukankah Lo yang sering nasihati kita?” jelas Zizou sambil menepuk pundak Luthfi yang tertunduk dalam.

Hening, saat Zizou, laki-laki berdarah Indonesia-Belanda itu berhenti berbicara. Luthfi semakin menunduk dalam. Berusaha memperkerjakan otak dan hatinya untuk mencerna ucapan Zizou dengan cepat.
Zizou ikut terdiam. Masih dengan menepuk-nepuk pundak Luthfi dan mentransfer kekuatan padanya.

Tiba-tiba, isakan tangis Luthfi menggema. Mengisi seluruh penjuru ruangan. Zizou yang melihat Luthfi, dengan cepat berusaha menenangkannya.

“Jangan kek gini lagi, Fi. Sayangi diri Lo. Allah sayang sama Lo. Allah memberikan semuanya sama Lo. Lo harus bersyukur dengan menjaga pemberiannya. Dan kita, kita cuma manusia. Tak berkuasa. Maka, saat seseorang yang kita sayang di ambil oleh-Nya, kita cuma harus ikhlas. Keep spirit. And don’t forget, pray to Allah. Ok?” hibur Zizou.

SORBAN JIHAD (ON GOING)Onde histórias criam vida. Descubra agora