Kegigihannya mulai terbayar. Ia mulai bisa memasuki ruang rawat inap Daniel tanpa harus mendapat teriakan. Walaupun, saat pertama kali, Daniel menatapnya seolah dia adalah virus mematikan, tapi Raka mulai berhasil masuk. Yah, hanya masuk. Daniel tetap tidak ingin didekati olehnya. Harus ada jarak dua sampai tiga meter di antara mereka. Jika Raka melanggar, Daniel akan mengamuk.

"Dia butuh teman bicara," ujar psikolog itu, "dia harus bicara pada orang selain kami. Ah, dan sebaya kalau bisa."

Raka memutar otaknya, lalu tersentak, "saya punya anak. Saya rasa mereka sebaya."

Dia sudah menikah, ngomong-ngomong. Yah, tapi, mereka tidak bisa dikaruniai seorang anak. Jadi, mereka memutuskan untuk adopsi. Nama anak adopsinya adalah Bara. Dia anak yang nakal sebenarnya. Senang sekali merusak barang dan membuat kekacauan. Raka harus merogoh kocek lebih dalam untuk merayu anak itu agar mau menemani pasien spesialnya. Untungnya, itu hanya untuk hari pertama. Karena dihari selanjutnya, dia datang atas kemauan sendiri.

Lebih dari apapun, Daniel membenci tubuh kotornya. Di sana ada bekas yang tertinggal akibat peristiwa itu, dan tak akan pernah hilang selamanya. Terus berada di sana, sampai ia mati.

Mati.

Kenapa dia tidak mati kemarin?

Semua ini membebaninya. Dia juga tidak memiliki apa-apa lagi. Setelah ini, dia harus kemana juga dia tidak tau. Daniel tidak memiliki siapapun lagi. Bukankah lebih baik dia mati? Dia hidup pun hanya menjadi beban orang lain.

"Saya tau, kamu sudah mengalami hal yang buruk sekali. Tapi, saya mohon. Jangan menyerah semudah itu. Kamu pasti bakalan nemuin kebahagiaan suatu saat nanti."

Itu kata Dokter penanggung jawabnya. Pria itu memeluknya tadi. Awalnya tidak apa-apa. Daniel juga sempat membalas ucapan itu. Tapi, begitu ia mendongak. Menatap paras wajah yang mirip dengan si Raza-Razaan itu, otaknya tidak bisa diajak berkompromi dan membuatnya refleks memutar ingatan beberapa waktu lalu. Dia kambuh.

Lihat betapa merepotkannya dia.

Daniel tidak bisa berdekatan dengan Dokter itu. Biarpun dia ingin, tapi dia tidak bisa. Dokter itu pemicunya. Dia membuat Daniel terjerat di memori masa lalu. Dia membuat Daniel tak bisa sembuh.

Saat luka-luka ditubuhnya mulai memulih, Daniel memberanikan diri untuk berjalan keluar kamar. Awalnya mengerikan sekali dan mendebarkan, karena terdapat banyak manusia berjas putih seperti si Raza-Razaan. Ini menakutkan. Sungguh. Membayangkan kalau mereka semua sama gilanya dengan pria itu, membuat Daniel merinding.

Ia terus berjalan menunduk dengan tubuh yang bergetar pelan karena ketakutan. Bangunan ini juga bau sekali. Dia tidak suka. Dia benci. Karena tak tahan, Daniel kembali ke ruangannya. Di situ, Bara sudah menunggu. Anak ini yang menjadi temannya selama beberapa hari belakangan ini. Anak yang manis sekali menurut Daniel.

Kalau saja mereka dipertemukan dalam keadaan yang berbeda, mereka pasti bisa menjadi teman baik.

Lalu, saat hari mulai malam, dan jam semakin bergerak ke atas, barulah Daniel berkeliaran. Rumah sakit menjadi sangat sepi. Hanya beberapa perawat yang ada. Daniel mempelajari rumah sakit ini. Sesekali bersembunyi saat ada perawat yang mendekat. Kaki kecilnya membawa tubuh itu kemana-mana. Ia menemukan pintu keluar. Lebih dari satu pintu. Lalu, kakinya kembali melangkah. Menaiki tangga-tangga rumah sakit itu. Hingga ia sampai di tempat paling atas bangunan tersebut. Atap.

Angin malam langsung menyerangnya. Langit hitam di atas sana, dihiasi oleh banyak bintang yang cantik. Dia semakin berani melangkah ke depan, hingga kedua kakinya berhenti di ujung garis bangunan. Kepalanya menunduk. Tanah di bawah sana terlihat jauh sekali. Jika dia lompat, semuanya pasti akan selesai.

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now