Wajahnya terlihat seperti orang baik. Dengan rambut sehitam malam, dan mata yang berwarna senada. Dibawah matanya, kantung mata terlihat samar.

Nara menyentuh bahu Daniel pelan, "ini Daniel. Anak laki-lakiku," ujarnya.

Pria baru tadi, menatapnya lekat. Seulas senyum tipis terpajang di wajahnya. Tatapan Daniel turun. Pria itu menggunakan kemeja hitam garis-garis putih tipis, celana kain berwarna hitam, dan sepatu bagus yang mengkilap. Tangan kirinya memegang sebuah jas berwarna putih, dengan tangan kanan yang memegang sebuah tas.

Tas itu, ia letakkan di lantai. Lalu, mengulurkan tangannya ke arah Daniel.

Manik biru itu menatapnya curiga. Tapi, tangannya tetap menyambut uluran itu karena bahunya yang sudah diremas oleh Nara.

"Raza," ujarnya memperkenalkan diri.

"Niel," bisik Daniel pelan.

Tautan tangan mereka terlepas. Ah, si Raza-Raza ini pasti sama saja dengan yang lainnya. Datang kemari, untuk membuat Daniel menderita dan membayar Nara atas penderitaannya itu.

"Jadi?" Nara bertanya tak sabar.

"Saya oke. Tapi, saya mau di sini, gimana?"

Bahu Daniel terasa semakin berat. Seolah ada beban baru yang menimpanya. Ia melirik ke luar rumah, mendapati Gyatri yang tengah curi-curi pandang ke arah mereka.

"Tidak masalah," ujar Nara.

"Baiklah. Uangnya sudah saya kasi ke Vahri," ujar Raza sembari menunjuk pria di sampingnya dengan dagu, "kamu bisa ambil langsung atau mau senang-senang dulu sama dia, bebas."

Nara mengangguk.

Tuh, kan. Ujung-ujungnya pasti begitu.

Nara memeluk lengan Vahri-si pria menyeramkan itu-dan melangkah keluar dari rumah. Meninggalkan Daniel begitu saja.

Tatapan Daniel kembali tertuju ke pria itu. Dia tersenyum. Senyuman yang tampak ganjil sekali di mata Niel.

Dan..

"..ugh.."

...ini berbeda dari biasanya. Ini pertama kalinya, tubuhnya dimasuki oleh cairan yang tak ia tau apa, menggunakan suntikan yang Raza bawa.

Tubuhnya lemas.

Dari tas itu, barang-barang menyeramkan keluar. Pria ini menyakitinya.

Sakit sekali.

Mengapa harus dirinya yang merasakan ini semua?

Mengapa Nara tidak menyodorkan dirinya sendiri saja?

Ah..

"..cu...kup.."

Pria itu menjilat bibir atasnya. Ia menyentuh rambut kecokelatan milik Daniel dengan pelan.

"Kalo di rumah sakit, saya ngga bisa nyentuh anak manis kayak kamu sembarangan. Jadi, saya mau puas-puasin di sini," ujarnya.

Rumah sakit?

"Jadi, anak manis, jangan melawan, atau semuanya akan semakin buruk."

Ah.. tidak..

Pria itu mengambil sesuatu dari tasnya, dan kembali pada Daniel dengan senyum menyeramkan. Tangannya menyentuh pelan punggung Niel yang terekspos karena baju yang dirobek paksa.

"Kau punya kulit yang lembut sekali. Indah."

Daniel merinding. Sesuatu yang dingin menyentuh punggungnya.

"Membuatku ingin sekali merusak kulit putihmu ini."

Lalu, sakit.

Pria ini orang gila. Daniel yakin sekali.

Kemana Nara? Kenapa dia belum pulang? Sampai kapan Daniel harus bersama pria ini? Sampai kapan dia harus merasakan sakit? Sampai kapan? Sampai kapan? Sampai ka-

'bruk!'

Daniel hanya membuat suara terkesiap. Ia mendongak menatap Vahri yang meletakkan tubuh Nara dengan kasar.

"Dia merepotkan sekali. Menyebalkan," gerutunya.

Raza tertawa pelan, "aku kira kau sungguh menyukainya?"

"Kau gila? Jalang seperti ini mana mungkin-"

"Ya, ya, ya, terserah. Kau dapatkan semua tumpukan uangnya?"

"Tentu saja! Itu tujuanku, mana mungkin aku tidak mendapatkannya!"

"Terserahlah. Bagianku anak ini."

"Tentu saja, kau Dokter. Mana mungkin kau tidak punya uang."

Lalu, ia menatap Daniel yang terpaku pada tubuh wanita itu. Dia duduk menegak, tak peduli pada tubuhnya yang banyak diperban. Empat hari ia ditinggalkan oleh Nara, tapi keadaannya sudah mengenaskan seperti ini.

"Mama?" bisiknya pelan.

Nara tak bergerak sama sekali.

Raza tersenyum tipis, dan menghampiri tubuh wanita itu dengan pisau ditangannya.

"Dia berontak?" tanya Raza begitu melihat beberapa bekas luka ditubuh Nara.

Vahri mengangguk.

Dan Daniel terperanjat saat pisau itu menembus kulit Nara dengan kasar. Apa-apaan?! Sudah jelas. Dia memang gila. Mereka orang gila!! Sakit mental!

Napasnya memburu. Tubuhnya bergetar melihat apa yang baru saja terjadi di depan matanya.

"Aww~ lihat, dia gemetar. Lucu sekali," ujar Vahri sambil tertawa kecil.

Dia semakin memundurkan tubuhnya. Menarik kedua kakinya dan menatap mereka dengan takut.

"Dengar, kalau kau tidak memberontak seperti dia, kami tidak akan melakukan hal buruk padamu," ujarnya lagi dengan tangan yang menunjuk ke arah tubuh tak bernyawa yang bersimbah darah di sana.

Si kecil itu menggeleng. Takut. Dia tidak percaya. Nyawanya pasti tetap terancam. Lalu, ia mendorong pria tersebut sekuat tenaga. Berlari sekencang yang ia bisa. Biarpun masih ada efek dari cairan entah apa dari Raza, namun Daniel tetap berusaha. Tangannya terulur ke arah pintu yang membocorkan sedikit bias mentari dari bolongan kayunya.

Dan...

Raza berhasil menghentikannya.

Menarik tubuh kecil penuh luka itu, dan memberinya pelajaran lagi. Bahkan, jauh lebih parah.

Daniel hampir mati kala itu.

Darah yang terus mengalir dari luka-lukanya membuat dia sekarat.

Si kecil itu sudah berharap dia akan bebas. Pergi dari dunia yang begitu kejam ini.

Tapi, tidak.

Seperti difilm-film yang ia tonton saat berada di rumah Gyatri, polisi mendobrak masuk. Menghentikan kegiatan mereka.

Daniel tak sanggup lagi.

Jadi, dia memejamkan kedua matanya. Membiarkan kesadarannya hilang begitu saja.

Tbc.

Sampai jumpa di masa lalu El! (3)

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now