Caught in a Lie

1.7K 266 29
                                    



Jika semalam Jimin terus mengomel kesal, pada fajar ini, bahkan disaat tubuh lelahnya dipaksa untuk bangun pukul 04.00, dia hanya menurut. Memakai sarung tangannya pelan, lalu merapikan jaket tebalnya, tak lupa memakai beanie untuk mengurangi rasa dinginnya suhu pegunungan.

Taehyung yang melihat itu justru takut, tidak biasanya Jimin diam. Ia bertanya pada Jungkook, tapi lelaki itu pun tak tau sebabnya. Pelan-pelan dia menghampiri Jimin, kekhawatirannya ia tutupi dengan senyum kotak, lalu bertingkah kekanakan seperti biasanya. Semata-mata agar Jimin merasa tenang karena semuanya biasa saja.

"Jimin!" seru Taehyung, berdiri di hadapan Jimin seraya menyondorkan sarung tangan bermotif garis. Jimin menatapnya tak mengerti, membuatnya mendengus, "pakaikan! Kau tau kan, jika aku memakainya pada tangan kananku, aku tidak bisa memakaikannya pada tangan kiriku. Sarung tangan ini membatasi gerak jari-jariku." Adu Taehyung bak anak berusia 5 tahun yang mengadu pada kakaknya.

Jimin terkekeh samar, bisa-bisanya alasan itu keluar dari mulut sepupunya. Tidak masuk akal. Namun, itulah Taehyung. Sudah Jimin bilang kan, Taehyung itu unik. Jadi, ia dengan telaten memakaikan sarung tangan itu, kemudian berdiri untuk sekedar menutup zipper jaket Taehyung. Ia menepuk-nepuk pelan kedua bahu Taehyung, dengan matanya yang tak berani menatap manik cokelat sepupunya. Ia tersenyum tanpa sebab, tapi senyum yang kentara menyakitkan, bahkan Taehyung dapat mengetahui itu.

"Jimin? Kenapa?"

Jimin tiba-tiba memeluknya, meletakkan dagunya pada bahu Taehyung, tangannya diam-diam mencengkram bagian belakang jaket Taehyung.

"Hei, Jimin, kau itu kenapa sih, jangan membuatku takut!" Taehyung melepas paksa pelukannya, kemudian dilihatnya wajah Jimin, sepupunya itu tersenyum lebar sampai matanya melengkung. Taehyung tak mengerti.

"Wajahmu jelek sekali kalau terkejut ya, Tae," Jimin tertawa kecil.

"Aku tidak main-main, kau itu kenapa? Kenapa memelukku? Kau sakit?" Tangan Taehyung sudah nyaris menyentuh Jimin, tapi sepupunya dengan cepat menghindar.

Jimin tersenyum, memajukan tubuhnya dan berbisik, membuat Taehyung merasa beku saat itu juga.

"Iya. Aku sedang sakit, Tae. Sangat sakit."

Setelahnya, Jimin berlari kecil keluar tenda, menyusul Jungkook yang sedang menyeting handcam, sudah siap kembali merekam.

"Jam berapa matahari terbit, Jungkook-ah?" tanyanya, keberadaannya yang tiba-tiba sedikit membuat Jungkook terlonjak.

"Oh, hyeong mengagetkan saja. Emm... sekitar setengah jam lagi. Ayo, kita harus cepat agar mendapatkan gambar terbaik,"

Jimin mengangguk, kemudian kembali berteriak, "Kim Taehyung! Cepat keluar atau aku akan menyeretmu!"

Tiga sekon berikutnya, Taehyung keluar. Rautnya kentara kacau—antara bingung, panik, dan canggung—tapi dengan mudahnya ia tutupi. Ia tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan giginya, senyum kotak andalannya.

"Ayo berangkat!!" serunya tak kalah heboh. Ia merangkul Jungkook, sedangkan Jimin sudah berjalan mendahului.

Dalam senyum cerah itu, Taehyung menutupi kesedihannya. Ia menatap punggung Jimin, sedikit buram karena genangan air matanya. Tanpa ia tahu, bahwa Jimin, di depan sana, juga tengah menahan sakit yang tak berhenti menghujam dadanya. Jimin sakit, sampai air matanya mengalir tanpa sepengetahuan siapapun. Sedangkan Jungkook, adalah saksi bisu kepahitan semua. Saksi bisu atas kebohongan Taehyung. Saksi bisu atas kesakitan Jimin. Pun, saksi bisu atas tindakan keji seorang Jeon Sungjin.

~~~

Menghabiskan waktu hampir 3 jam, hanya untuk menikmati hangatnya pancaran sinar mentari pagi. Sebenarnya, Jimin tidak suka berlarut-larut, jika terlalu lama terpapar dengan pakaian mereka yang tebal, bukannya merasa hangat alih-alih menguras keringat. Namun, perlu Jimin akui, pemandangan Hallasan saat cerah sungguh membuat siapapun berdecak kagum. Tak heran, jika sepupunya yang setengah mati mengajaknya kemari itu berkali-kali memerintah Jungkook untuk merekam sekitar. Ia heboh seperti biasa.

SO FAR AWAYWhere stories live. Discover now